Mempertanyakan Kaderisasi Perempuan pada Parpol

Read Time:2 Minute, 12 Second
Foto ilustrasi

Isu hangat kembali mewarnai euforia pemilu 2014. Namun kini, datangnya mengenai kuota 30% perempuan dalam partai politik yang bersumber dari UU No 8 Tahun 2012 pasal 55 tentang Pemilu DPRD, DPD dan DPR.

Hal ini yang kemudian membuat Komunitas Perempuan Seroja bersama BEM Jurusan Ilmu Politik, FISIP UIN dan Komite Mahasiswa Pemuda Anti Kekerasan (KOMPAK) membicang isu tersebut dalam agenda diskusi mingguan Komunitas Perempuan Seroja, Jumat (25/4) dengan tema Perempuan dan Politik: Pro Kontra Kuota 30% Perempuan dalam UU Pemilu.

Achmad Fanani Rosyidi dari KOMPAK, memberikan pengantar mengenai pro kontra yang timbul akibat kuota 30% Perempuan dalam UU Pemilu. Menurutnya, meski UU tersebut telah membuka kesempatan bagi perempuan turut serta dalam politik, tapi nyatanya baik perempuan maupun partai politik belum siap memenuhi kuota yang telah diatur UU.

Kemudian Fanani menambahkan, adanya keluhan-keluhan yang datang dari partai politik karena tidak bisa memenuhi kuota legislatif sebanyak 30% bagi perempuan. Meski pada akhirnya partai-partai tersebut sanggup memenuhi kuota ini, namun Fanani meragukan tindakan yang bersifat formalitas.

Fanani menjelaskan, pada tahun ini akan diberlakukan sanksi dari KPU bagi partai politik yang tidak bisa memenuhi kuota 30% perempuan di daerah pemilihan (dapil), tidak diperkenankan mengikuti pemilu pada dapil tersebut. Meski ia tetap optimis, UU ini merupakan bagian dari pendidikan politik.

Dalam diskusi perempuan dan politik,  turut menghadirkan Ema Mukarramah dari Komnas Perempuan sebagai pemateri dalam diskusi tersebut. Mengenai masalah tersebut ia memaparkan, bahwa dibuatnya UU tentang kuota 30% perempuan bukanlah muncul secara tiba-tiba. Karena pada tahun sebelumnya telah diberlakukan secara bertahap.

“Bukan perempuan minta diistimewakan,” tegas Ema. Kuota 30% perempuan guna mengoreksi sistem kesalahan masa lalu, angka tersebut  berasal dari data BPS dimana jumlah perempuan 49% dibanding dengan jumlah laki-laki. Dan Ia juga mengatakan pengaruh jenis kelamin juga dapat mempengaruhi adanya warna ideologi atau dominasi dalam penentuan keputusan.

Bagi Ema, untuk memenuhi kuota tersebut masih terdapat keraguan atas kualitas dari perempuan. Ia juga menyampaikan ketidaksiapan partai dalam memenuhi kuota tersebut. menurutnya hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi partai supaya mampu mendidik kader perempuan.

Selain itu tambahnya, kuota perempuan yang telah dipenuhi, dianggap hanya mampu melengkapi syarat administratif, dan belum tentu kualitasnya dapat sama dengan apa yang telah diperjuangkan oleh Komnas Perempuan. Karena melihat perempuan yang diusung oleh partai kebanyakan masih dari kalangan keluarga pejabat yang diikut sertakan dalam pencalonan dewan legislatif.

Mengenai masalah ini, ia menyayangkan pemberian nomor urut buntut kepada kader perempuan. Seharusnya, dalam hal ini partai harus lebih mampu dalam melakukan kaderisasi bagi kaum perempuan. Hal yang penting untuk diperhatikan, misalnya setelah perempuan terpilih sebagai anggota DPR, mereka tidak hanya ditempatkan ditataran anggota, namun juga bisa ditataran pengambil kebijakan, seperti ketua komisi. (Dewi Maryam)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Debat Kandidat DMU, Ajang Adu Gagasan Para Calon
Next post Pentas Tunggal Postar Suguhkan Perpaduan Budaya