Malam ini sepi, tak ada angin, tak ada suara jangkrik, tak ada suara sapi yang memelas meminta makan. Hanya bulan yang menampakkan wujudnya, itupun hanya separuh wajah, tampaknya ia sedang dirundung kesepian, karena bintang-bintang tak tahu ke mana perginya.
Jika di atas bulan tengah gundah mencari bitang-bintangnya, di bawah seorang wanita berambut pirang tengah termenung memikirkan perkataan emaknya siang tadi. “Jangan kawin sama dia” kata-kata itu yang sempat membuat hatinya tersayat, kemudian jika teringat pungkasan kalimatnya ..”Kamu akan mati” sungguh betapa tersobek-sobek jantung wanita itu.
Ia terus termenung, sesekali memandang bulan yang juga tengah dilandah gundah, “Bulan apakah aku salah jika mencintainya?” batinnya dalam hati. Bulan tak menjawab, ia hanya diam dan sesekali menggeser posisinya.
Sudah sekitar lima jam ia duduk termenung, waktu pun menunjukkan kalau malam telah larut. Ia bergegas pulang dengan beban yang masih membebani pundak. Sesampainya di rumah ia lekas membuka pintu, “Waaaawwwww,,,,, tolong, tolong, tolong,” teriaknya sekuat tenaga ketika pintu terbuka.
Sontak keluraga dan tetangganya terbangun dari tidurnya, “Ono opo nduk?” Tanya emaknya sambil mengucek mata.
“Itu ada ular, ada ular, ada ular besar,” katanya panik.
“Mana, mana, mana ada ular?” sahut bapaknya dengan nada kencang.
Sambil memejamkan mata, wanita itu terus berteriak ketakutan. Hal ini semakin membuat panik keluarga dan tetangganya. Tak hanya panik, dari raut muka yang tengah berada di dekat wanita muda itu tampak kebingungan, ular yang ditakuti oleh wanita itu tidak ada, tidak ada wujud ular.
“Heh,,, tangi,,,, tangi,,, deleng ndak ada ular,” ucap kakak laki-lakinya sambil menepuk keras pundak wanita itu.
Ucapan kakak laki-lakinya tersebut tampaknya tidak ia hiraukan, ia malah semakin berteriak-teriak kencang, semakin histeris, dan menjadi-jadi. Matanya terbuka, melotot, rambutnya tak karuan, malam itu semua heboh, takut, dan dicampur kebingungan yang tak berujung.
Kejadian malam tempo hari itu menjadi bumerang dalam hati emak Surti. Apa yang terjadi dengan putrinya adalah hal yang tidak wajar. Apa sebab yang menjadikan putrinya bisa seperti itu. Emak Surti bingung, tatapannya kosong. Ia terus mencari-cari, hingga suara motor Pak Tomo (suami emak Surti), memaksa pencariannya terhenti di tengah jalan.
“Darimana Pak? Tanyak emak Surti ketika Pak Tomo memasuki rumah.
“Dari rumah Mbah Warso,” jawab Pak Tomo.
“Lah opo Pak,”
“Nanyain masalah kemarin malam, kenapa sebenarnya anak kita itu?”
“Terus jawab Mbah Warso apa?” Tanya emak Surti menyelidik.
Pak Tomo mendekatkan bibirnya ke telinga emak Surti. Beberapa detik kemudian, muka emak Surti berubah menjadi pucat pasi.
“Si Nida tadi pergi ke mana? Tanya Pak Tomo.
“Tadi katanya mau ke rumah calon mertuanya,” jawab emak Surti.
Mendengar hal itu, muka Pak Tomo memerah. “Anak itu memang tidak mengerti,” kata Pak Tomo pelan.
Di kampung seberang, Nida tengah bercengkerama dengan keluarga calon suaminya, Subhan. Saking asyiknya, ia sampai lupa kalau waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Nida bergegas meminta pamit. Subhan mengantaran sampai depan rumah Nida. Di depan rumah, kedua orang tuanya sudah menunggunya sedari habis isya tadi. Setelah mengucapkan terimakasih kepada Subhan, ia bergegas melangkahkan kakinya menuju teras rumah.
Ia tampak bimbang bercampur takut, bimbang apakah kedua orang tuanya akan memarahinya atau tidak dan takut jikalau kedua orang tuanya benar-benar memarahinya. Kebimbangan yang dirasakan Nida terjawab dengan ketakutannya, Pak Tomo benar-benar marah dengan Nida.
“Sudah diambang batas kesabaran bapak Nak, kami sayang denganmu, seharusnya kamu menjahuinya, biar kamu tidak mati sia-sia!” bentak Pak Tomo.
Nida menangis sejadinya, di seberang emaknya hanya terdiam melihat suami dan anaknya.
“Bagaimana saya bisa meninggalkannya, Pak. Saya sangat mencintainya, persetan dengan kematian? Apakah Allah sendiri pernah mengatakan jika menikah dan wetonnya tidak cocok akan meninggal? Disurat mana dan ayat berapa Allah pernah berkata?” Tanya Nida membentak.
“Plakk,,,,” tangan Pak Tomo menampar pipi Nida. Sontak emaknya yang sedari tadi duduk dan mengamati, mau tak mau harus bangun dari duduknya dan ngerem-ngerem Pak Tomo.
“Kamu disekolahkan tinggi-tinggi buat berani sama orang tua ya? Oh,,, silahkan kawin dengan si Subhan, kalo kamu benar-benar mati jangan salahkan bapakmu ini.” Ucap bapaknya.
“Oke,,, saya akan kawin dengan Subhan, dan akan saya buktikan kepada seluruh orang, bahwa yang dipercayai orang Jawa tentang weton hanyalah sebuah kebohongan sejarah,” jawab Nida sambil melangkahkan kakinya ke kamar.
Cinta tidak bisa dipaksa, baik dipaksa untuk mendekati atau dipaksa untuk ditinggalkan. Cinta Nida dan Subhan sekan menjadi magnet yang saling tarik menarik, semakin dekat maka daya tarik menariknya semakin kuat saja. begitupun kekuatan cinta, tidak ada yang bisa membendungnya. Akibat kekuatan cinta mereka berdua, kedua orang tua Nida melapangkan dadanya untuk merestui pernikhan mereka berdua.
Hari ini pesta besar-besaran diundang, semuanya tertawa riang, kecuali kedua orang tua Nida, semburat wajahnya menandakan kegelisahan yang tengah memuncak. Di tengah-tengah pesta perkawinan tersebut, tiba-tiba Nida mendelik sambil memegang tenggorokannya, semua orang yang tadinya bergembira kini berubah menjadi khawatir. Apalagi emak Surti, menangis histeris dan pingsan.
Bergegas, sesepuh desa yang selalu hadir dalam sebuah pernikahan langsung mendekati Nida. Ketika sesepuh desa itu mendekat, tiba-tiba Nida terbangun dan berteriak tak jelas.
“Ambilkan kembang boreh, kemenyan, dan buntut sapi!” Kata Mbah Warso.
Tak beberapa lama, orang yang disuruh Mbah Warso kembali dengan barang-barang yang diminta. Dengan cekatan Mbah Warso menata lapaknya, kemudian memulai ritual. Beberapa detik kemudian, tangan Mbah Warso berada di atas kepala Nida, jika tangan Mbah Warso bergerak, maka Nida pun ikut bergerak. Kemudian Mbah Warso mengunyah kemenyan dan kembang boreh, lalu ia semburkan ke muka Nida.
“Jrussss,,,,” seketika Nida ngosel-ngosel dan pingsan.
Kekekacauan penikahan Nida telah menajdi isu hangat yang selalu menjadi perbincangan para ibu-ibu rumah tangga. Bahkan ada yang menyebarkan isu Nida anak durhaka yang berani melawan kehendak orang tuanya. “Sebentar lagi paling dia juga mati,” kata salah seorang wanita setengah baya yang tengah aktif dalam forum diskusi.
“Kenapa kamu bilang seperti itu, apa maksud ucapanmu?” Tanya teman ngerumpinya.
“Wetonnya tidak cocok mbak yu, dia kan wetonnya Senen Legi, sedang suaminya Jumat Pahing. Pernikahan seperti itu sangat dihindari oleh leluhur kita. Kamu tau Pak Parno?”
“Tahu lah, yang anaknya tidak jadi kawin itu kan,”
“Iya bener, tidak jadi kawin kan karena wetonnya tidak cocok, dan kata Mbah Warso, kalau pernikahannya tetap dilangsungkan, salah satu dari pengantinnya akan mati.”
“Ih udah ah, serem, jngan ngomong kayak gitu.”
Di rumah Subhan, Nida tengah bermesraan dengan suami barunya tersebut. Di tengah saling mencumbu, tiba-tiba ada pikiran aneh yang mengganggunya. Kematian yang dikatakan bapaknya dulu. Seketika Nida terdiam.
“Kenapa sayang?” Tanya Subhan sambil membelai kepala Nida.
“Aku takut kita mati.”
Sontak Subhan kaget, kemudian mencium kening Nida.
“Sudahlah, bukannya kita sudah berkeyakinan, bahwa yang dipercai orang-orang itu hanyalah kebohongan semata. Ingat, mati hidup tidak ada yang tahu selain Tuhan. Sudahlah tidak usah dipikirkan, mendingan kita beli wedang jahe di warung Noerswantoro. Ayo Dek,” ajak Subhan.
Malam itu sepasang memepelai baru keluar rumah dan menonton bulang yang tengah tersenyum gembira karena bintang telah kembali mendekapnya.
Emak Surti tampak gelisah, keringatnya mengalir deras, tidak ada yang dipikirkan kecuali puterinya, Nida. Bagaimana keadaannya saat ini? Apakah ia hidup enak di rumah mertuanya? Pertanyaan-pertanyaan itu bergelanyut dalam otaknya. Hingga lelah memaksanya untuk memejamkan mata.
Pagi harinya mendung merundung seluruh keluarga besar Nida, Nida ditemukan terkapar di sungai perbatasan desanya dan suaminya. Dari kejauhan, mulut Nida sudah habis dimakan ikan-ikan ganas. Sedangkan suaminya, tak tahu di mana.
Dalam pancaran mata Nida, ia seakan berkata “Aku gagal membuktikan, weton tidak menjadi patokan matinya seseorang.”
Karya : Ibil Ar-Rambani
Average Rating