Hewan-hewan berhenti berdialektika. Angin berhenti bercengkrama dengan ilalang liar yang menjulang tak tentu arah. Daun jati yang biasanya gugur, hari ini pun kokoh bertengger pada dahan-dahan. Hari ini sepi, serasa seluruh makhluk berhenti beraktivitas. Hanya suara burung camar yang sesekali memecah kebekuan alam.
Di gubuk kecil di tengah sawah, seorang lelaki paruh baya duduk termenung dengan ditemani secangkir kopi. Matanya sayu kemerah-merahan, bibirnya komat-kamit mengucap sesuatu yang tak bisa didengar telinga. Sesekali tangannya mengusap kening yang sudah terlihat berkerut itu. Hari itu memang semua diam, kecuali burung camar yang semakin berisik mengajak alam bercinta.
Lelaki paruh baya itu bangkit dari duduknya. Tangannya menenteng gelas kopi yang hanya tinggal ampasnya, kemudian meletakkannya di bawah padasan bersama piring-piring kotor bekas makan. Ia biarkan piring dan juga gelas-gelas kotor itu berintim ria. Dibukanya keran padasan yang sudah berlumut itu. Sontak, air jernih mengucur deras, indah laksana Grojokan Sewu di Solo.
Ia selesaikan syarat dan rukun wudhu, kemudian melangkahkan kakinya ke dalam gubung tua. Setelah sampai, tangannya merengkuh sajadah usang yang sedikit berdebu. Ia bercinta dengan Tuhan, sementara kebekuan alam menyaksikan beban besar masih terkunci kokoh dalam dadanya.
Seusai salat, ia tetap duduk di atas sajadah usangnya. Ia tatap langit-langit gubuk reotnya. Tak ada yang terlihat selain sarang laba-laba yang telah beranak pinak. Kemudian ia memejamkan matanya dan kegelapan pun dengan sigap mengambil alih. Ia menerawang jauh dalam kegelapan, hingga menemui memoar yang pernah terjadi beberapa hari silam, bercanda, mengajar, bercengkerama dengan keluarga, dan…
“Ini semua salahku, ini semua salahku!” teriaknya menggaung, menembus batas atmosfer kebekuan. Ia kembali sesenggukan.
Di tengah tangisnya yang semakin menjadi, telinganya menangkap suara ketukan pintu disusul salam.
“Assalamualaikum,” suara dari seberang pintu. Ia tak kuasa menjawab, suaranya tenggelam dengan tangis yang membuatnya semakin sesenggukan.
Lama tak ada jawaban mendorong sesorang itu untuk membuka pintu. Setelah pintu terbuka, terlihat jelas bahwa pengucap salam itu adalah seorang wanita yang seumuran dengan lelaki paruh baya tersebut. Ia terdiam tatkala melihat lelaki paruh baya itu tengah menangis sesenggukan. Perlahan, wanita itu meletakkan rantang yang dibawanya tepat di depan si lelaki paruh baya.
“Monggo Bah, dahar dulu!” ucap wanita itu sambil membuka rantang bawaannya. Lagi-lagi lelaki paruh baya itu tak membalas ucapan wanita tersebut.
“Bah, ayo makan Bah. Ini Umi masak semur mujair kesukaan Abah. Ada sambelnya lho, Bah. Umi sendiri yang masak ini, bukan abdi dalem,” bujuk si wanita.
Umi terus berbicara sendiri, membujuk suaminya. Tangannya dengan cekatan menyiapkan makanan di atas satu piring. Namun, suaminya yang dipanggil Abah itu tak ada reaksi selain diam menunduk dan mengucurkan air mata.
“Bah, ayo makan. Ini sudah siap,” ajak Umi.
Abah hanya diam, seakan tak menganggap istrinya tengah berada di dekatnya. Kecamuk yang mengendap dalam dadanya seketika membuatnya buta, tuli, bisu, dan mati rasa terhadap segala sesuatu. Melihat respon yang diberikan Abah nihil, Umi pun meletakkan piring makanan yang telah ia siapkan untuk suaminya.
“Bah, sudahlah Bah. Semua sudah digariskan oleh Yang Kuasa. Abah jangan selalu menyalahkan diri Abah sendiri. Jika Abah seperti ini terus, Allah akan murka kepadamu, Bah” ujar Umi mencoba menenangkan Abah.
Mendengar perkataan terakhir umi, Abah mengangkat kepalanya.
“Biarkan Allah murka kepadaku, karena memang aku pantas untuk dimurkai-Nya!”
“Astagfirullah, istighfar Bah.”
“Istighfar saja tak cukup untuk membayar semua kesalahanku yang telah membunuh anak semata wayang dan santri kepercayaanku sendiri. Mi, kamu tahu kan kejadian itu?”
“Umi tahu, Bah. Waktu itu Abah mengajak Sayyid ke pengajian di kabupaten seberang yang dilaksanakan hampir seminggu lamanya. Tiba-tiba di hari kedua Abah dan Sayyid di sana, tiba-tiba Sayyid pulang ke rumah untuk mengambil isi kotak yang telah Abah titipkan kepada salah satu santri kepercayaan Abah, Ayub anak Nyai Ulfah dari Kasingan, Rembang. Tapi ketika anak kita ingin mengambil kotak yang Abah perintahkan, Ayub tak mau memberikan sehingga memicu pertengkaran mereka berdua hingga keduanya…..” Umi tak kuasa meneruskan ucapannya. Lidahnya terasa kelu dan matanya tak kuasa menahan air mata yang tiba-tiba mengucur deras.
“Kamu tahu kenapa hal itu bisa terjadi?” Abah kembali bertanya sambil memandang Umi yang gantian menundukkan kepalanya. Umi hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan suaminya.
“Itu semua gara-gara mulutku, Mi! Jika saja aku tak berpesan kepada Ayub dan Sayyid seperti itu, mungkin semua ini tak akan terjadi,” kata Abah sedikit parau.
“Apa, Bah? Apa yang Abah katakan pada mereka berdua? Cerita Bah, biar semua jelas dan Umi bisa mengikhlaskan dengan setulus hati kepergian anak semata wayang kita dan santri kepercayaan Abah!”
“Abah menitipkan kotak kepada Ayub dan berpesan agar ia tak memberikan kotak itu ke siapapun, kecuali aku sendiri yang mengambilnya. Kemudian Abah dan Sayyid berangkat mengisi pengajian di kabupaten sebelah. Setelah sampai di sana, Abah bertemu dengan rekan Abah sewaktu masih nyantri di Tebu Ireng dulu, yaitu Kiai Muawaan yang saat ini mengasuh pondok pesantren Miftahul Ulum, Serang, Banten.
“Seketika itu pula, Abah menyuruh Sayyid untuk pulang mengambil kotak yang telah Abah titipkan ke Ayub, karena memang, kotak itu adalah wasiat kakek yang sedianya akan diberikan kepada Kiai Muawwan. Abah juga tak mengira, hal yang demikian bisa membuat dua orang yang aku sayangi terenggut nyawanya,” papar Abah dengan penuh penyesalan.
“Sudah, Bah. Abah jangan menyalahkan diri terus,” ucap Umi sambil memandang wajah suaminya. Kemudian ia melanjutkan, “Bukankah Abah tahu, Allah adalah al-Alim, Yang Maha Mengetahui segalanya. Allah selalu tahu maksud Abah. Mungkin mereka berdua saat ini tengah mendapatkan tempat yang indah dari Allah, kerena mereka wafat dalam keadaan menjalankan dan mempertahankan amanah. Bukankah itu hal yang baik, Bah?
“Sudah Abah tak perlu sedih lagi. Jika Abah selalu menyendiri seperti ini, bagaimana nasib santri-santri pondok pesantren kita, Bah? Apa Abah mau kalah dengan Sayyid dan Ayub? Yang berani mempertaruhkan nyawanya demi menjaga amanah yang telah diterimanya?”
Usai Umi berkata panjang lebar, mereka terdiam. Alam hening menyimak percakapan antara Abah dan Umi. Mereka berdua saling berpandangan dalam diam. Abah mendekat dan memeluk Umi dengan kuat. “Terima kasih Mi, benar katamu. Aku tak boleh larut dalam kesedihan dan terus menyalahkan diriku,” bisik Abah di telinga Umi.
Pagi itu, alam seakan mencair di telinga Abah. Burung, jangkrik, dan belalang sayup-sayup bersenandung di tepian atap gubuk. Daun jati kembali berguguran, angin kembali bercengkerama dengan ilalang. Sementara itu, camar memekikkan suaranya, mengiringi langkah kaki Abah dan Umi. Di atas sana, Sayyid dan Ayub barangkali sedang bermain-main di taman firdaus, menengguk arak, menikmati wahana surga.
Average Rating