Mitos Si Perawan Tua

Read Time:6 Minute, 43 Second
*Oleh Nurlaela

Malam ini tepat malam jumat kliwon. Menurut orang tua dulu, di malam jumat kliwon biasanya setan-setan bergentayangan.  Tentu saja mitos itu dipercayai warga kampung Dusun. Setelah adzan magrib berkumandang semua warga mengunci rapat-rapat rumahnya. Menurut kepercayaan mereka, jika seorang gadis atau anak kecil berada di luar rumah, mereka akan diculik Klewang-sebutan untuk hantu kepala tanpa tubuh- dan makhluk itu akan memakan jantung manusia yang diculiknya.

Di atas balai-balai, tengah duduk seorang wanita. Rumahnya yang berhadapan dengan sawah tak membuat ia takut dan mempercayai adanya hantu Klewang. “Linggih, masuk Nak, sudah magrib” seru Emak dari dalam rumah. Rumah linggih memang jauh dari penduduk lainnya. Rumah tersebut hanya terbuat dari bilik-bilik bambu dan berlantai tanah. Lampu templok yang sedari tadi menemani redupnya senja terus bergoyang-goyang tertiup kencangnya angin. Suara jangkrik menjadi lantunan melodi yang indah untuk Linggih.

Emak Linggih bekerja menjaga sawah Pak Lurah. Sehari-hari Linggih hanya membantu Emak mengurus sawah, serta mengangon kambing-kambing warga. Dari hasil bekerja itulah kehidupan Linggih dan Emak tercukupi. Bagi Linggih yang hanya lulusan SD, untuk bekerja yang lebih layak dari itu sangatlah sulit. Untuk memutuskan bekerja sebagai pembantu rumah tangga saja Linggih harus berpikir-pikir karena ia mesti meninggalkan Emak yang sudah tua seorang diri.

Usia Linggih kini sudah hampir 32 tahun. Tapi, tak ada satu pria pun yang mau menikahinya. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan Linggih. Sudah miskin, tak ada pria yang mau menikahinya. Warga kampungnya pun selalu mengolok-olok Linggih sebagai perawan tua.

***

Saat usia 17 tahun, Linggih merupakan gadis yang manis. Pria kampung Dusun pun selalu menanti-nanti kedatangan Linggih yang ketika itu menjadi penjual gorengan. “Gorengan-gorengan” jargon jitu itulah yang menandakan kalau Linggih telah datang. Dalam sekejap, gorengan yang dijualnya pun habis. Tak membutuhkan waktu lama, Linggih sudah pulang dengan baki kosong. Sorenya, Linggih bekerja sebagai tukang setrika keliling, dari satu rumah ke rumah lainnya.

Setiap malam minggu tiba, rumah Linggih selalu ramai didatangi beberapa pria. Tak hanya pria dari kampung Dusun, tapi dari kampung tetangga pun berdatangan. Sebagai gadis yang baik, Linggih menjamu semua tamu-tamunya itu. Pria-pria tersebut berlomba mendapatkan hati Linggih. Segala cara pun dilakukan. Sampai akhirnya tersisa seorang pria tampan, namun sudah agak berumur. Kira-kira usianya saat itu 45 tahun. Seperti para penggemar Linggih lainnya, dia juga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan ‘si kembang desa’. Linggih yang awalnya tidak tertarik dengan pria yang usianya selisih 28 tahun, lambat-laun menaruh hati kepada kebaikan dan kegigihan pria itu. Namun, ternyata Linggih tidak tahu maksud dibalik kebaikan pria tersebut. Pria yang ia sukai ternyata tipe pria yang suka bermain-main dengan wanita-wanita muda. Tentunya ‘si kembang desa’ tak terlewatkan menjadi korbannya.

Sampai suatu hari Abah mendengar kebusukan pria yang sering mengunjungi gubuknya tersebut dari para tetangganya. Mereka mengatakan, pria itu telah menjadikan putri semata wayangnya sebagai bahan taruhan.

Hingga suatu hari kemarahan Abah berada puncaknya. Omongan sana-sini dari tetangga akhirnya mempengaruhi pikiran Abah. Saat sepasang kekasih itu tengah duduk di balai dengan ditemani lampu templok yang apinya terus menari-nari. Abah langsung menarik lengan Linggih, kemudian mengusir pria itu. “Berani-beraninya kau mempermainkan putriku, dan menjadikannya sebagai bahan taruhan. Tak sudi aku melihat mukamu lagi dikampung ini, dasar kau berengsek !!!” Linggih tak berani melawan omongan Abah. Ia hanya bisa menangis  dipelukan Emak. “Saya tidak terima perlakuan Abahmu. Lihat saja hidupmu tidak akan pernah bahagia.!!!” Sambil terus menyumpahi, pria itu meninggalkan rumah Linggih.

***

Setiap pagi ada saja yang melempar rumah Abah dengan batu-batu. Abah sempat melihat beberapa kali pelakunya adalah pria-pria yang pernah menyambangi rumah Abah. Abah semakin kesal, namun Emak selalu menenangkan Abah. “Sepertinya mereka itu orang-orang yang pernah tersinggung sama sikap Abah, kalau punya anak perawan jangan seperti itu Bah, pamali” seraya Emak menyuguhkan kopi pada Abah.

Bilik-bilik rumah Abah menjadi tambah bolong. Abah semakin kesal pada orang-orang itu. Hingga pada suatu hari saat Abah tengah membetulkan sepeda ontel tuanya, ia  melemparkan sesuatu yang ada di dekatknya. Tanpa ia sadari yang dilempar ternyata mangkok yang berisi air keras yang biasa Abah gunakan untuk menyalakan radio type. Di luar dugaan lemparan abah meleset, malah terkena putrinya. Abah tak melihat ada Linggih di samping semak-semak, muka manis Linggih pun terkena air keras tersebut. Abah panik, hanya dengan bahan secukupnya ia mengobati luka putrinya. Abah menyesali perbuatannya, Emak hanya bisa menangis melihat kondisi Linggih. Karena kejadian tersebut, Linggih menjalani akivitas sehari-harinya, dengan kondisi muka yang setengahnya terkena siraman air keras. Linggih yang tadinya primadona kampung Dusun, kini sebaliknya. Ia diolok-olok menjadi gadis buruk rupa. Pria yang dulu menjadi para penggemar Linggih, satu persatu mulai mundur. Mereka merasa jijik dengan kondisi Linggih.

***

Kini usia Linggih sudah masuk ke angka 32 dan kini ia hanya hidup berdua dengan Emak. Abah dipanggil oleh yang Mahakuasa akibat penyakit TBC 10 tahun silam . Linggih si buruk rupa ini semakin lama semakin terasing dari kampungnya. Di usianya yang sudah 32 tahun, budaya menuntutnya untuk memiliki sebuah keluarga, begitupun dengan Emak. “Gih, Emak sekarang sudah tua, kapan kamu mau menikah? Menikahlah, biar ada yang ngurus kamu kalau Emak sudah nggak ada.” Linggih hanya mesem menjawab pertanyaan Emak.

Saat ia mengambil bahan setrikaan, ada saja omongan para tetangga yang membuat kuping Linggih panas. Tapi, Linggih tidak menghiraukan omongan mereka yang mengatainya perawan tua.

Dalam setiap sujudnya, Linggih mengadu kepada Tuhan. “Apa yang salah dengan status perwan tua ini, Tuhan? Apa salah jika diusiaku ke 32 tahun ini aku belum berkeluarga.” Pikiran Linggih pun semakin kacau. Lama kelamaan omongan para tetangga mengusik pikirannya. Namun, Linggih tetap berusaha tegar dihadapan Emak. Linggih tak ingin Emaknya ikut-ikutan sedih. Linggih tahu ibunya itu sudah banyak menanggung penderitaan karena dirinya.

Di sisi lain, orang-orang kampung Dusun percaya bahwa perawan tua itu pembawa sial. Bahkan, bisa jadi mangsa Klewang. Latar belakang pendidikan warga di Kampung Dusun yang hanya lulusan SD dan SMP membuat mereka mempercayai begitu saja tentang mitos-mitos yang beredar. Mereka pun percaya, ketika seseorang menolak pria yang mau melamar, maka hidupnya akan menjadi perawan tua. Namun, Linggih tak mempercayai berbagai mitos tersebut. Linggih selalu mencoba mengambil sisi lain dari setiap kejadian.

Suatu hari, Linggih mendengar cerita, bahwa perawan tua atau gadis akan menjadi sasaran Klewang di setiap malam jumat kliwon. Linggih tak mempercayai cerita tersebut. Meskipun ia tak percaya cerita yang sedang santer di kampunganya itu, ia tetap mencoba untuk mencari tahu, apakah cerita tersebut mengandung kebenaran atau hanya mitos belaka. Namun bagi Linggih, tak ada tempat untuk bertanya. Emak pun tidak bisa diharapkan karena ilmu pengetahuannya juga tak lebih tinggi dari Linggih. Di tengah kegaluannya itu, tiba-tiba Linggih tergerak untuk menuliskan sepucuk surat untuk Emak dan beberapa warga kampung Dusun.

Assalamuallaikum Emak…


Linggih sebenarnya tidak percaya kepada mitos, tapi nggak tahu kenapa pikiran Linggih jadi kacau menjelang malam jumat kliwon ini. Jika memang Klewang mau menjadikan Linggih mangsanya silahkan. Emak yang ikhlas, ya. Linggih sayang Emak selamanya. Dan pesen buat semua warga jangan pernah sia-siakan jodoh yang sudah ada.

Salam buat semuanya…

Linggih

Di depan surat tersebut, Linggih menuliskan “Tolong bacakan surat Ini untuk Emak”. Linggih tahu kalau Emaknya tidak bisa baca.

Saat malam jumat kliwon tiba, angin besar menerpa kampung Dusun, petir pun di sana sini, membuat malam saat itu tampak seperti siang. Karena memiliki rumah yang berada di dekat sawah, Linggih dan Emak harus ekstra siaga, takut-takut rumah mereka hancur diterpa angin. Ketika tengah melihat kondisi di luar rumahnya, tiba-tiba Linggih tersambar petir. Tubuhnya hangus. Emak yang tak bisa berjalan harus menerima anaknya yang sudah tak bernyawa dibawa oleh warga. Warga menemukan surat Linggih, semua warga semakin percaya akan mitos yang beredar. “Ini pasti ulah si Klewang” bisik salah satu warga ke warga yang lainnya.

Pada akhirnya, Linggih tidak berhasil membuktikan bahwa Klewang pemakan gadis dan anak-anak itu hanya mitos belaka. Kematian Linggih justru semakin membuat semua warga  percaya terhadap mitos tentang Klewang. Sayangnya, Linggih sudah tak bisa membela apapun karena sekujur tubuhnya terbujur kaku dengan kondisi hampir hangus. Mitos membutakan pikiran warga Kampung Dusun. Mereka tidak tahu, kalau kematian Linggih sebenarnya tersambar petir.

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
100 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Saat Pers Menafikan Keberagaman
Next post Cadillac Records: Musik Untuk Persamaan