Read Time:2 Minute, 38 Second
Judul Buku : Lifestyle ecstacy
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Jalasutra
Tahun : 2005
Moralitas, etika, dimanakah ia saat ini? Demikian ungkapan pertama pada paragraf pertama dalam buku ini. Buku ini akan memaksa kita untuk melihat sebuah realitas kehidupan yang tengah berjalan saat ini. Sebuah realitas ketika moralitas dan etika tidak lagi dipandang sebagai identitas yang sudah melekat berabad-abad lamanya bagi bangsa Indonesia. Kita akan dipaksa untuk berkaca kembali tentang bagaimana budaya bangsa Indonesia yang sedikit demi sedikit termakan arus globalisasi.
Kebudayaan massa adalah kata kunci pembahasan dalam buku ini. Secara harfiah kebudayaan massa merujuk pada kebudayaan yang dibawa oleh arus komunikasi (media massa) yang semakin tak terbendung. Kendati membawa dampak positif, dampak negatif juga tidak bisa dihindarkan.
Kontak budaya memang tak bisa dihindarkan, tapi filterisasi budaya menjadi hal yang lebih penting. Yang menjadi permasalahannya, bangsa kita belum siap untuk menerima dampak dari kontak budaya yang telah dibawa oleh bangsa dunia pertama (Negara-negara maju). Faktanya, masyarakat Indonesia tak pernah membicarakan hal ini sebagai suatu permasalahan yang serius.
Kita lihat bagaimana gaya hidup masyarakat kota yang secara sadar kita anggap sebagai gaya hidup elit. Kemudian kita bandingkan dengan masyarakat desa. Tentu terlihat seperti sebuah paradoks yang begitu jelas. Hal itu menjadi paradigma yang lumrah di mata masyarakat, tanpa mengingat kembali bagaimana sejarah telah menciptakan semua kebudayaan itu.
Buku ini memberi kita pesan bahwa hari ini bangsa Indonesia tengah hidup dalam era imagologi (masa pencitraan) yang semuanya dilihat hanya dari gaya hidup. Masyarakat secara sadar menerima bahwa orang sukses adalah orang yang mempunyai banyak harta. Wanita cantik adalah wanita yang berkulit putih, tubuh mulus, seksi, tinggi, dan seterusnya. Simbolisasi menjadi identitas tentang siapa dia.
Pada akhirnya gaya hidup seperti ini menjadi tren di kalangan masyarakat kita. Status sosial pun tak lagi dilihat sebagai identitas seseorang. Siapa kah dia? Atau dari mana kah dia? Setiap orang dapat dengan sesuka hati mencitrakan dirinya. Dengan mode pakaian, makan, atau mungkin hanya dengan selera musik, semuanya bebas memilih sesuka hati.
Selain itu, buku ini juga membahas peran perempuan dalam media massa yang tereksploitasi. Lonjoran betis putih tanpa goresan, bibir ranum bak permata tersapu desiran ombak, atau lekukan tubuh bagai gitar Spanyol seperti menjadi daya tarik tersendiri bagi para juru kamera. Wanita dianggap sebagai alat paling ampuh untuk menarik perhatian pemirsa.
Dalam buku ini, Kuntowijoyo menyimpulkan kebudayaan terbagi menjadi dua, yakni budaya elite dan budaya massa. Budaya elite merujuk pada kebudayaan Barat yang tengah menghegemoni bangsa Timur. Sebaliknya, budaya massa adalah budaya Timur yang hari ini tengah berada dalam dominasi budaya Barat.
Lalu muncul pertanyaan, di manakah posisi bangsa kita sekarang? Pada pokoknya budaya elite dan budaya massa itu yang menjadi pesan dari hadirnya buku ini. Dengan harapan, kita dapat merefleksikan kembali kondisi kebudayaan bangsa kita yang tengah mengalami degradasi moral dan etika.
Buku ini layak untuk dibaca agar kita sebagai masyarakat Indonesia tahu kondisi bangsa sekarang. Sebagai masyarakat Indonesia, sejatinya kita tahu akan budaya kita sebenarnya. Kendati kontak budaya tidak bisa dihindarkan, kita juga harus jeli untuk memilah dan memilih mana yang semestinya mencerminkan identitas bangsa Indonesia. (Thohirin)
Average Rating