Read Time:5 Minute, 48 Second
Oleh: Faisal M*
Melihat di televisi para mahasiswa berdemonstrasi jadi teringat masa lalu. Ketika aku sama seperti mereka, yang pada waktu itu aku tidak pernah ada didepan ketika berdemonstrasi, apalagi untuk berorasi. Aku termasuk orang yang agak pendiam dibanding teman-teman seangkatanku yang lain di kampus.
Aku ingat sekali saat itu ketika di kelas ada diskusi, aku hanya menjadi pendengar setia, hanya melihat teman-teman yang nyerocos berbicara yang menurutku mereka hanya berspekulasi dan racauan belaka. Tapi itu sudah bagus, sudah berani bicara didepan teman-teman mahasiswa dan dosen. Aku sendiri, padahal dalam hati ingin sekali berbicara untuk menampik argumen-argumen spekulatif mereka. Tapi syaraf malu dan gugupku terlalu kuat untuk dilawan hanya dengan semangat dalam hati.
Akupun bingung pada waktu itu, sebenarnya apa yang kutakutkan dan membuat aku gugup. Kalau alasannya takut salah, itu sudah membantah pikiranku yang menganggap argumen mereka hanya spekulatif. dan kalau alasannya tidak percaya diri, itu malah tambah tidak logis, karena tidak ada alasan untuk itu.
“Coba dulu Ren, coba buang jauh-jauh pikiran itu dari kepalamu, ungkapkan saja apa yang mau kamu bicarakan, masalah benar atau salah, itu belakangan.” Kata jono ketika kuceritakan hal itu padanya.
“Tapi Jon, itu tidak mudah, padahal sudah merangkai kata, tapi ketika mulai bicara mulut ini serasa susah untuk dibuka, apalagi untuk mengeluarkan suara.” Jawabku dengan memendan perasaan bingung.
“Ah, itu kan karna kamu belum coba,” protesnya. Pokoknya, “besok kamu harus bicara.”
“Tapi besok kan tidak ada diskusi,” aku mencoba beralibi sambil sedikit tersenyum hambar.
“Mahasiswa harus mengerti Reno, itu bukan alasan namanya” tukas Jono dengan menaikkan nada bicarannya. Begitulah Jono , selalu menggebu-gebu dalam hal apapun yang sudah menjadi ambisinya, dan kali ini Ia ingin membuat aku tidak jadi anak pendiam yang kerjaanya jadi pendengar setia saat diskusi. temanku keturunan jawa satu ini selalu menjadi teman baikku saat apa saja. Saat sedih, bahagia. Suka maupun duka.
Saat bertemu lagi dengan diskusi di kelas, aku berniat ingin mencoba untuk berbicara diantara banyak teman-teman dikelas, tapi tangan yang akan kuangkat mendadak kaku dan tidak bisa di gerakkan, rasa gugup dan rasa lainnya yang campur aduk itu datang lagi. Dari belakang serasa ada yang mencolek punggungku, dan aku menoleh ternyata itu jono sambil mengerlingkan mata sebelah kirinya kearahku, tanda aku harus menepati janjiku yang sudah kubuat tempo hari padanya.
Akhirnya meskipun berat, kucoba mengankat tanganku dan berhasil, dengan suara bergetar dan tidak selengkap kata-kata yang sudah disusun dalam pikiran, tapi itu sudah membuatku senang. Dan kurasa aku harus berterimakasih kepada Jono.
“Nah, itu yang kumaksud Ren”, katanya seakan memberikan pembuktian. “Tidak ada masalah kan Ren, dan apa yang kau pikirkan kemarin-kemarin hilang kan!!” tambahnya memberi keyakinan. Aku hanya sedikit tertawa.
“Tadi gimana, waktu aku ngomong sudah bagus belum Jon?”
“Untuk masalah bagus sih belum, tapi kamu berani berbicara itu sudah bagus menurutku, tinggal sering-sering dilatih saja,” papar Jono sok dewasa.
“Iya, siap , dan terimakasih Jon, ini berkat kamu” jawabku.
(Hal seperti itu, yang ku anggap kecil sekarang, ternyata dulu harus butuh dorongan dari seseorang dulu baru aku bisa).
Sejak saat itu dan hari berikutnya, aku terus belajar dan sampai ketagihan untuk berbicara di depan banyak orang, satu bulan, dua bulan, sampai aku lancar berbicara didepan. Sekali lagi ini berkat Jono. Yang Selain kisah yang ini, masih banyak sekali pelajaran yang ku ambil dari mulut yang kadang-kadang sok dewasa itu.
****
Dering telefon menyadarkanku dari lamunan lamunan jaman dulu ketika di kampus. Kuangkat gagang telefon yang berdering itu yang tampaknya ada hal penting. Aku berbicara panjang lebar dengan orang dibalik telefon itu dan pada akhirnya telefon itu kututup.
Aku duduk dan melihat ruangan ini, seakan tidak percaya akan bisa seperti ini. Pikiranku Lagi-lagi teringat Jono, aku tersenyum ketika terlintas ingatanku yang lain tentang jono waktu status kita masih mahasiswa.
Kala itu aku mengenal makhluk indah bernama rina, anak fakultas ekonomi yang tuhan mempertemukan kami di perpustakaan universitas. Memang ini seperti sangat didramatisir layaknya sinetron, tapi ini memang benar-benar terjadi. Ketika aku sedang berjalan, Ia juga berjalan didepanku dengan arah berlawanan, karena kita saling tidak melihat ke depan, kita jadi bertabrakan dan buku yang sedang Ia bawa semuanya terjatuh ke lantai. Tanganku dengan refleks langsung membereskan buku-buku itu, dan aku berikan kepadanya.
“Maaf ya!!” kata dia, dan mulutku juga mengeluarkan kata-kata yang sama secara bersamaan. dari bibirnya yang tipis terbit senyuman yang juga ku sambut dengan senyuman. Dalam hati sudah membayangkan jika Ia bisa kumiliki.
“Heiii…” ucapnya mengagetkanku dari lamunan utopisku.
Aku hanya tesenyum malu dengan hal itu. kita berkenalan dan tak terasa sampai ngobrol ngalor ngidul.
Esoknya kuceritakan hal itu keteman baiku jono dan reaksinnya seperrti biasa, ia selalu mendukung.
“Bagus itu Ren, tapi aku tidak nyangka kau bisa jatuh cinta juga rupanya” responnya agak ngeledek.
“Ah kamu Jon, gini-gini aku lelaki juga” ucapku membela diri.
“Iya..iya.. aku cuma bercanda.”
Dia menyarankan untuk terus mendekati Rina, dan jangan berhenti sebelum mendapatkan apa yang ku inginkan.
“Tapi aku tidak pede Jon”
“Ah kamu, coba saja dulu, nanti masalah diterima atau tidak, itu belakangan” jelasnya yang sok menggurui.
Kudekati Rina. Aku dan Rina sering ada kontak lewat telefon genggam punyaku merk nokia yang bernyala kuning, dan serasa semakin dekat. Satu, dua, tiga hari, seminggu dan seterusnyasampai suatu saat kudapati rina sedang jalan dengan Jono, seakan ku tak percaya. Yang aku tahu Jono punya pacar bernama wulan. Rina tidak pernah bercerita kalau dia sudah punya pacar.
Sejak saat itu, aku dan rina lepas kontak, dan tidak pernah kuceritakan lagi tentang Rina kepada Jono. Teman baikku kali ini memupuskan angan-angan tinggiku. Aku tidak tau kalau perempuan yang kumaksud adalah pacarnya yaitu wulan. Tapi belakangan aku tau kalau nama pacarnya sebenarnya Rina Wulandari.
****
Aku tersenyum lagi untuk kesekian kalinya di ruangan ini. Aku mengingat-ngingat lagi kenangan bersama Jono. Pikiranku tertuju ketika kita sedang menempuh semester akhir. Aku memutuskan untuk mengikuti tes beasiswa ke luar negri. Jono tidak berminat untuk hal itu, Ia ingin konsen menjadi penulis di negri ini.
Momen saat wisuda adalah saat-saat terakhir melihat Jono. Karena ku melanjutkan studiku ke Inggris, kita jadi lepas kontak. Sampai sekarang, sampai aku duduk di kursi ini. Aku ingin sekali bertemu dengan orang yang menurutku sangat spesial, selalu mengajariku hak-hal baru, belajar untuk hidup, dan belajar menerima keadaan.
“Tok…tok…tok…” terdengar suara ketukan pintu ruangan kantor tempatku bekerja. Aku melihat sosok wanita yang kutahu itu staf kantorku. Ia tersenyum sambil menyerahkan kertas agak tebal berwarna merah jambu yang belakangan kutahu itu adalah undangan pernikahan.
Di depan undangan itu tetulis “Kepada Yth. Direktur Utama PT. Bangun Internusa, Bpk. Reno Agus hilman di tempat.
Kubuka undangan itu, dan aku tersentak ketika membaca isi undangan pernikahan itu, di situ tertulis “Soedjono setiadi menikah dengan Rina Wulandari.”
Dalam hatiku bergumam, ya Tuhan terimakasih telah mempertemukanku dengan sahabat baikku yang mungkin dulu engkau utus kedunia ini untuk bisa membimbingku sampai bisa seperti ini.
Ciputat, 25 mei 2013
*Penulis adalah mahasiswa smester 2 SKI, dan bagian dari komunitas Oretan Liar.
Average Rating