Read Time:4 Minute, 39 Second
Berdasarkan hasil survey Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), sejak tahun 2012, telah terjadi 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Terkait jumlah kasus kekerasan tersebut, terdapat 810 kasus pemerkosaan, 880 kasus pencabulan, dan 14 kasus pemerkosaan beramai-ramai yang dikenal dengan nama gang rape. Usia korban kekerasan pun beragam, tetapi usia paling dominan adalah 13-18 tahun.
Hal itu disampaikan oleh Komisioner BPKN RI, Susianah Affandi pada Diskusi Publik bertajuk Tantangan dan Prospek Perempuan Dalam Menjaga Toleransi, Anti Kekerasan, dan Perdamaian Dunia yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI). Susianah melanjutkan, pelaku-pelaku dari tindakan kekerasan terhadap perempuan terbagi menjadi tiga jenis.
Pertama, pelaku dari ranah personal, seperti suami, saudara kandung, atau kerabat dekat. Selanjutnya, pelaku dari ranah komunitas. “Misalnya, pelaku adalah majikan, tetangga, guru, atau tokoh masyarakat yang dikenal oleh korban,” papar Susianah, Jumat (25/4).
Sementara itu, pelaku yang cukup sering disorot oleh media masa belakangan ini berasal ranah negara, seperti aparatur negara dan masyarakat yang pasif. “Masyarakat membiarkan kekerasan terhadap perempuan terus terjadi juga merupakan pelaku dari tindakan kekerasan,” ucap perempuan yang juga bekerja sebagai sosiolog ini.
Di akhir diskusi publik tersebut, Susianah berpesan kepada seluruh masyarakat Indonesia, terutama untuk generasi muda, semua kekerasan adalah pelanggarn Hak Asasi Manusia (HAM), apapun alasannya. Jadi, masyarakat tidak boleh membiarkan kekerasan terus terjadi. “Ibaratnya, masyarakat marah ketika majikan menikah dengan pelayan perempuan dan memperlakukan pelayan tersebut sebagai istri. Namun, masyarakat diam saja ketika suami sedang memperlakukan istrinya sebagai pelayan,” ujarnya.
Perempuan dan Politik
Pada acara Diskusi Publik di aula lantai 1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) tersebut, para pembicara tak hanya menyampaikan mengenai kekerasan terhadap perempuan. Namun, peran perempuan dalam kancah politik pun ikut dikupas.
Menurut aktivis perempuan, Fahira Fahmi Idris, gerakan feminisme di Indonesia berhasil mengangkat kedudukan perempuan di kancah politik secara legal. “Buktinya, kini dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu, sekurang-kurangnya harus ada keterlibatan perempuan minimal 30% dalam mengisi alokasi kursi legislatif,” jelas anggota Dewan Perwaklan Daerah (DPD) ini, Jumat (25/4).
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum bisa menerima perempuan terjun ke ranah politik dan kelak menjadi pemimpin masyarakat di masa depan. “Bagi saya, keterlibatan perempuan dalam kehidupan politik bukan semata pada ukuran kuota keterwakilan, tetapi yang lebih penting adalah kualitasnya yang dapat mentransformasikan spirit feminisme ke dalam kebijakan regulasi yang pro rakyat,” tegas alumi Universitas Indonesia (UI) ini.
Senafas dengan Fahira, Pakar Feminisme Indonesia, Husein Muhammad menyampaikan, hak-hak politik kaum perempuan telah termaktub dalam Al-Qur’an, salah satunya At-Taubah ayat 7. Ayat tersebut dapat dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan. Salah satu bidang kehidupan tersebut bisa berupa pekerjaan politik.
Direktur Institut Fahmina ini melanjutkan, kepemimpinan seharusnya tidak ditentukan oleh jenis kelamin, namun ditentukan oleh kualitas pemimpin tersebut. “Jangan memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua, karena mereka sesungguhnya makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan,” tutupnya.
(Gita Juniarti)
Average Rating