Deforestasi Hutan Indonesia Meningkat

Read Time:2 Minute, 37 Second
Laju deforestasi atau penggundulan hutan semakin hari semakin meningkat di Indoesia. Bahkan, menurut Hartono, Sekretaris Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), luas hutan Indonesia pada 50 tahun ke depan akan berkurang dari 130 juta hektare (ha) menjadi 70 juta ha. Hal itu membuktikan Indonesia kehilangan 1 juta ha hutan setiap tahunnya.

Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menunjukan adanya peningkat laju deforestasi terutama semenjak 2001.  Laju deforestasi pada 2001 sebesar 4,1 juta ha/tahun. Lalu, sepuluh tahun kemudian, meningkat menjadi 5,4 juta ha/tahun. Bahkan, data terbaru menyatakan deforestasi pada 2014 menjadi 5,6 juta ha/tahun. Deforestasi ini paling besar disumbangkan oleh penebangan liar dan perkebunan kelapa sawit.

Menanggapi hal tersebut, Hartono menuturkan, deforestasi memang hal yang sulit untuk dihindari. Sampai saat ini pembukaan lahan secara ilegal oleh warga atau pun pengusaha masih menjadi masalah. Banyak di antara mereka yang membuka lahan seenaknya dengan alasan untuk kesejahteraan masyarakat. “Serba salah jika kami terlalu tegas karena banyak yang mengatakan hutan adalah hak masyarakat juga,” jelasnya, Kamis (10/7).

Menurut Hartono, izin pembukaan dan pembagian fungsi lahan atau tata ruang tidak bisa ditentukan sendiri oleh Kementrian Kehutanan. Pihaknya mesti bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) yang memiliki kewenangan untuk mengatur tata ruang daerah. “Jadi, jumlah hutan lindung, hutan produksi, dan jenis hutan lainnya pada tiap daerah itu berbeda,” ujarnya.

Sedikit berbeda dengan Hartono, Muhammad Islah, Manajer Kampanye Pangan dan Air WALHI mengungkapkan, banyaknya hutan tetap yang beralih fungsi menjadi Hutan Tanam Industri (HTI) menyebabkan  deforestasi  di Indonesia. Hal ini disebabkan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan pemerintah secara terus menerus pada pengusaha untuk dijadikan lahan bisnis.

Menurut Islah, pihaknya sudah mengusulkan pada pemerintah untuk melakukan  moratorium loging atau jeda tebang sejak tahun 2003. Namun, hal itu baru direalisasikan langsung oleh presiden pada 2012.

Dalam moratorium loging seharusnya tidak boleh ada penebangan dan penerbitan izin untuk membuka lahan. “Tetapi pada kenyataannya sampai sekarang masih banyak hutan yang ditebang dan izin  HPH  yang dikeluarkan,” ungkap Islah, Senin (1/7).

Terkait hal itu, Hartono menuturkan, pihaknya telah menjalankan program moratorium loging. Namun, penebangan masih boleh dilakukan jika pengusaha sudah mendapatkan izin sebelum adanya program tersebut. “Izin HPH juga masih kita terbitkan selama pengusaha membuka lahan pada hutan konversi yang memang tidak dipertahankan sebagai hutan tetap,” paparnya.

Kementrian Kehutanan, kata Hartono, telah menetapkan standar untuk tiap daerah harus memiliki minimal 30% daerah yang tertutup pohon. Sayangnya, ada daerah yang belum memenuhi standar minimal, seperti Jawa dan Bali. Sedangkan untuk Sumatera, Kalimantan, dan Papua masih berada di batas standar.

Melihat keadaan hutan Indonesia yang seperti ini, menurut Islah, WALHI menginginkan semua izin lahan dibenahi (reforma agraria). Dalam reforma agraria juga diatur bahwa setiap petani harus memiliki lahan sendiri dan tidak boleh adanya penguasaan lahan oleh orang-orang tertentu. “Misalnya, penduduk di Pulau Jawa itu tidak boleh memiliki lahan lebih dari 5 ha,” paparnya.

Sehubungan dengan itu, Hartono mengungkapkan, pihaknya butuh dukungan berbagai pihak mulai dari Pemda hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melestarikan hutan. “Seharusnya ada kebijakan yang paralel, dimulai dari menekan jumlah penduduk sehingga kebutuhan lahan pun bisa berkurang dan kita bisa mengembalikan fungsi hutan,” pungkasnya.

Erika  Hidayanti

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Hijabographic, Seni Sekaligus Dakwah
Next post ‘Dairy Product’ Jadi Alternatif Konsumsi Susu