Read Time:2 Minute, 10 Second
Peristiwa politik seperti peralihan kekuasaan, hingga pergantian pemimpin selalu disertai dengan pelbagai peristiwa mistik. Salah satunya, menjelang Pimilihan Legislatif (Pileg), banyak partai politik yang ziarah ke kuburan untuk mendapatkan barokah. Hal itulah yang melandasi diskusi publik yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Syahid di Auditorium Harun Nasution, Kamis (2/10).
Acara diskusi ini bertujuan, agar mahasiswa dapat merasakan keresahan dan kegelisahan yang dirasakan oleh masyarakat akibat perubahan budaya politik yang sudah tidak rasional lagi. Hal tersebut diungkapkan oleh Fajar Shiddiq sebagai Ketua Umum Teater Syahid.
Dalam diskusi publik yang bertema Rasionalitas dan Irasionalitas Budaya Politik di Indonesia, Teater Syahid mengundang beberapa tokoh dengan latar belakang yang berbeda, yaitu Burhanuddin Muhtadi selaku pengamat politik, Radhar Panca Dahana sebagai budayawan Indonesia, dan Ahmad Baso, intelektual muda Nadhatul Ulama (NU).
Ahmad Baso berpendapat, banyak sekali politikus yang berasal dari salah satu partai di Indonesia melakukan ziarah kubur hanya untuk melancarkan urusannya di dunia politik. Seperti, mendapatkan kursi di parlemen, menaikkan atau melanggengkan jabatan mereka, dan lain sebagainya.
“Saat Pileg, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melakukan ziarah ke makam wali. Namun, setelah Pileg selesai, mereka tidak mengenal ziarah lagi,” ujar Ahmad saat diskusi publik Pra-Pementasan Cannibalogy.
Senada dengan Ahmad, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhannudin Muhtadi menjelaskan, orang-orang yang berada di level elit partai, sering membuat sesuatu yang irasional. Salah satunya, koalisi permanent karena eksistensi politik itu dinamis dan tidak kekal, serta tidak ada hubungannya dengan permanent.
Selain itu, tambah pria yang akrab disapa Burhan itu, orang yang terdidik biasanya menempatkan jabatan tinggi di partainya. Hal tersebut merupakan rasionalitas partai. “Masuk akal, jika di partai politik, jabatan penting diisi oleh orang yang terdidik,” ujarnya.
Begitu pun dengan Radhar selaku budayawan Indonesia. Ia menjelaskan sebagian politikus di Indonesia sudah tidak lagi berasal dari pendidikan yang tinggi, dari mereka hanyalah lulusan Sekolah Dasar (SD). Namun mereka memiliki kemampuan irasional, sehingga menjadikan mereka orang penting di Indonesia bahkan dunia.
“Seperti halnya Adam Malik. Ia adalah contoh yang irasional. Ia bisa menjadi perwakilan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), padahal hanya lulusan dari Hollandsch-Inlandsche School, yang setara dengan SD,” tambah Radar.
Salah satu peserta diskusi, Rizky Begi Pratama, mengkritik apa yang telah disampaikan oleh Ahmad Baso selaku narasumber. “Kalau ada partai politik yang ziarah ketika ada kompetisi besar, seperti Pileg dan Pilpers, itu merupakan hal yang wajar, karena untuk melancarkan segala kebutuhannya,” Ujar mahasiswa Jurusan Filsafat, Universitas Indonesia (UI) itu.
Menanggapi hal tersebut, Ahmad Baso mengungkapkan, politikus yang mengadakan ziarah kubur seharusnya mendoakan orang yang telah meninggalnya. “Bukan malah dijadikan arena untuk politisasi, seperti hanya mengumpulkan banyak orang dan dijadikaan ajang pencitraan partai, “ tandasnya.
ITM
Average Rating