Read Time:3 Minute, 4 Second
Berdasarkan Rancangan Undang-undang (RUU) tahun 2014 tentang sistem perbukuan, ketentuan pembaca ahli adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang bertugas memeriksa substansi naskah buku cetak sesuai dengan keahlian atau kepakarannya. Pembaca ahli biasanya terlibat dalam sebuah penerbitan.
Sebagai lembaga penerbitan, UIN Jakarta Press tidak memiliki pembaca ahli yang terstruktur. Hal ini dikeluhkan oleh salah satu dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Rosida Erowati. Pada 2011, ia dan rekannya sesama dosen menerbitkan buku ajar berjudul Sejarah Sastra Indonesia. Namun, setelah proses penerbitan, ia menemukan banyak kesalahan ketik.
Rosida menuturkan, dirinya kapok dan kecewa atas penerbitan yang memakai nama kampus itu. “Setelah selesai menulis, ternyata salah ejaan, salah judul. Dibandingkan dengan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Bayangkan, kampus ini tidak menggunakan tim pembaca ahli,” katanya, Selasa (16/9).
Selain karena persoalan pembaca ahli, proses penyuntingan hingga per-cetakan buku ajar di UIN Jakarta Press memakan waktu selama enam bulan. Selama kurun waktu itu, Rosida merasa tidak maksimal, karena tidak ada komunikasi saat proses penyuntingan dari pihak penerbit terkait kelayakan naskah yang ia tulis. “Kita sudah berusaha menulis sebaik mungkin, tapi pertanyaannya apakah layak kalau dipublikasikan secara lebih luas. Aku jadi enggak bangga kalau diterbitin sama UIN Jakarta press,” tukasnya.
Tidak adanya pembaca ahli diakui oleh editor UIN Jakarta Press, Hamid Nasuhi. Ia menyatakan, pada tahun 2000-an, tim pembaca ahli telah dibentuk sesuai Surat Keputusan (SK) Rektor. “Editor yang dulu itu bekerja secara sukarela, karena enggak ada dana dari kampus, jadi mana mau orang bekerja secara sukarela. Harusnya sih ada editor, tapi di sini enggak ada,” keluhnya, Kamis (26/9).
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ini merasa kewalahan karena tidak ada editor. Untuk meminta pembaca ahli dari luar, ia ragu karena proses penyuntingan akan berlangsung lama dan membutuhkan dana sendiri. Hamid juga menyayangkan tidak adanya pembaca ahli dari berbagai bidang. “Untuk buku-buku yang khususnya bidang eksak, kita langsung layout saja tanpa edit,” ungkapnya.
Saat ini, hanya ia dan Direktur UIN Jakarta Press, Idris Thaha yang menjalankan penerbitan. Biaya penerbitan buku berasal dari kantung pribadi penulis yang ingin menerbitkan buku ajarnya. Selain itu, dana lainnya berasal dari hibah universitas.
Menanggapi kualitas buku ajar, salah satu pengamat pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rusydi Zakaria memaparkan, mekanisme untuk pembakuan buku ajar di UIN belum begitu baik. Salah satunya tidak ada pembaca ahli dalam penerbitan di UIN Jakarta Press. Oleh karenanya, ia menilai kualitas buku ajar yang diterbitkan pun perlu dipertanyakan.
Tambahnya, info dan nilai buku ajar yang diterbitkan tidak akurat tanpa melewati proses validasi dan penyuntingan. Jika hal ini terus terjadi, mahasiswa akan terkena dampak negatif. “Ketika mahasiswa membuat skripsi dan buku sumbernya belum tervalidasi, ya nanti kalau ditanya pendapat sahih dari mana, bagaimana? Secara keilmuan pun, mutu skripsinya menjadi rendah,” tutur Rusydi, Rabu (1/10).
Lain hal dengan UIN Jakarta Press, staf redaksi UIN Malang Press, Abdul Halim menyatakan proses penyuntingan naskah dilakukan oleh tim konsultan dan selanjutnya oleh editor. Tim ini bertugas mendiskusikan sebuah naskah yang memiliki potensi untuk diterbitkan tanpa edit, diterbitkan dengan proses edit, atau tidak diterbitkan sama sekali.
Proses penerbitan di UIN Malang Press diawali dengan pengajuan naskah pada bagian redaksi, lalu dibahas oleh tim konsultan mengenai kelayakan naskah untuk diterbitkan. Setelah diuji kelayakan, penulis mengirimkan kembali naskahnya pada penerbit untuk diedit oleh editor.
Manajer redaksi penerbit Mizan, Suhindrati Sinta menuturkan vitalnya pembaca ahli atau yang disebut editor ahli di sebuah penerbitan buku. Ia menentukan apakah sebuah naskah layak untuk disunting, diterbitkan, atau malah ditolak. Untuk menjadi editor ahli diperlukan ketelitian, penguasaan Ejaan yang Disempurnakan (EyD) yang baik, serta pengalaman. “Selain itu, editor juga disesuaikan dengan naskah yang masuk. Jadi dilihat juga latar belakang orangnya,” ungkapnya, Jumat (26/9).
Nur Hamidah
Average Rating