Sumber: Internet |
Read Time:2 Minute, 16 Second
Judul : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal El-Sadawi
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Isi : 157 Halaman
Terbit : 1989
ISBN : 979-461-040-2
“Seorang pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, danmenghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan,dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.”
Jika kita membaca sekilas paragraf tersebut, mungkin sebagian dari kita akan berteriak tidak setuju. Dilihat dari segi apapun, bagi sebagian orang, pelacur tetap tidak ada baiknya. Pelacur tetap diidentikkan dengan perempuan hina nan kotor.
Namun, pandangan kita akan pelacur akan berbeda karena kutipan di atas diucapkan oleh seorang perempuan yang bernasib kurang beruntung, Firdaus namanya. Sejak kecil, ia sudah dikenalkan dengan nasib buruk yang tidak ada hentinya. Mulai dari kelaparan, perlakuan kasar dari sang ayah, hingga pengalaman seksual yang dilakukan orang terdekatnya, pamannya sendiri.
Firdaus adalah perempuan Mesir yang hidup di era 1970-an. Di usianya yang menginjak masa remaja, ia harus merelakan hidupnya menjadi budak pemuas bagi kaum laki-laki. Melalui sudut pandangnya, Firdaus mengungkap sosok laki-laki Mesir. Kebanyakan dari mereka tidak mencerminkan diri mereka sebagai pemimpin. Padahal, pada masa itu, kaum laki-laki mendominasi menguasai negara dan perempuan. Terlebih, kaum laki-laki Mesir paham akan ajaran Islam.
Melalui buku ini, penulis ingin mengungkapkan kebobrokan kaum patriak. Penulis juga mengingatkan kita sebagai pembaca agar membuka mata lebar-lebar bahwa meskipun ajaran Islam sudah disyiarkan di Mesir. Sayangnya, meski telah mengalami modernisasi, masih ada perempuan di Mesir yang belum diperlakukan sebagaimana seharusnya yang diajarkan Islam.
Hal itu karena ketidakpahaman seorang perempuan terhadap hak dan kewajibannya sebagai perempuan muslim. Seharusnya, sebagai perempuan tidak baik jika kita hanya menuntut hak-hak kita terpenuhi, tetapi lebih bodoh jika kita hanya menjalankan kewajiban-kewajiban tanpa mengetahui hak.
Dalam bukunya, Nawal El-Sadawi juga menyadarkan kita tentang kekurangan dan ketidakadilan yang masih menimpa hak-hak dan kedudukan perempuan. Khususnya di negeri kita dalam masyarakat sekarang.
Meski telah dikemas dengan metafora yang indah dan bahasa yang mudah dimengerti, buku setebal 157 halaman ini tidak terlalu kaya diksi. Padahal, buku ini adalah buku terjemahan yang bisa dituangkan dalam Bahasa Indonesia dengan diksi berbeda tanpa mengubah makna.
Arini Nurfadilah
Average Rating