Read Time:4 Minute, 50 Second
Judul : Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan
Penulis : Abdurrahman Wahid, Mustofa Bisri, dkk.
Editor : Akhmad Sahal dan Munawir Aziz
Penerbit : Teraju Indonesia-Mizan, Jakarta
Cetakan : I, Agustus 2015
Tebal : 389 hlm
Belakangan ini, diskusi dan perdebatan tentang konsep Islam Nusantara diselenggarakan oleh berbagai komunitas Islam, baik dalam halaqah maupun seminar internasional. Menariknya, dinamika Islam Nusantara ini hadir untuk menyambut Muktamar dua organisasi Islam terbesar di Indonesia; Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pada 1-5 Agustus 2015, NU menyelenggarakan Muktamar di Jombang, Jawa Timur. Sementara, pada 3-8 Agustus, Muhammadiyah menghelat muktamar di Makassar.
Apa yang menjadikan Islam Nusantara begitu menarik diperbincangkan sebagai sebuah diskursus pengetahuan? Secara geostrategis dan geopolitik, Islam Nusantara menjadi tawaran konsep keislaman global yang saat ini membutuhkan rujukan. Ketika kondisi politik dan diplomasi di Timur Tengah mengalami ketegangan, identitas Islam di kawasan ini juga bercitra negatif dengan pertikaian antar kelompok dan radikalisme yang memuncak.
Diskursus Islam Nusantara menjadi sangat strategi di tengah perkembangan dunia saat ini. Karena, secara genealogis Islam Nusantara juga tidak terputus dalam jaringan pengetahuan dengan Islam di Timur Tengah (Hijaz), terutama pada masa Walisanga pada kisaran abad 16 dan 17.
Buku “Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan” (terbitan Teraju-Mizan) menjadi salah satu buku penting dalam merumuskan konsepsi teoretik dan genealogi Islam Nusantara. Buku ini disusun, dari 18 penulis yang memberikan pandangan masing-masing tentang rumusan hukum Islam, tradisi Islam, hingga konsep hubungan antara Islam dan nasionalisne. Inilah yang menjadi nyawa buku ini.
Kiai Musthofa Bisri, dalam sambutan atas buku ini, menegaskan bahwa konsepsi Islam Nusantara, dapat dilacak dari pemahaman atas tarkib (kaidah) dalam bahasa Arab, yakni tentang format idhafah. Dimana, Islam Nusantara, menyimpan makna fi, yang berarti “di”. Dengan demikian, Islam Nusantara dapat dipahami dengan konsep Islam di Nusantara. Atau, dalam bahasa lain, Islam Nusantara juga menggunakan konsep shifat maushuf, yang berarti “Islam yang menusantara”, atau Islam Nusantarawi.
Dalam pandangan KH. Said Aqil Siroj, Islam Nusantara merupakan Islam yang ramah terhadap tradisi lokal. “Islam Nusantara bukanlah agama baru, bukan juga aliran baru. Islam Nusantara adalah pemikiran yang berlandaskan pada sejarah Islam yang masuk ke Indonesia tidak melalui peperangan, tetapi melalui kompromi terhadap budaya.”
Islam Nusantara: Fiqh dan Nasionalisme
Dalam historiografi Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi pelopor perjuangan kebangsaan. NU dan Muhammadiyah selalu berusaha terletak di garis moderat untuk memperjuangkan kemerdekaan serta menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdirinya NU, tidak lepas dari peran Kiai Hasyim Asy’arie (1875-1947), Kiai Wahab Chasbullah (1888-1971) dan Kiai Bisri Syansurie (1886-1980). Sementara, Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923) berjuang untuk menjemput kemerdekaan dengan gerakan organisasi yang dipimpinnya. Secara genealogis, Kiai Hasyim Asy’arie dan Kiai Ahmad Dahlan memiliki guru yang sama: Kiai Saleh Darat Semarang (Bruinessen, 2007). Dengan demikian, basis pengetahuan dan perjuangan NU dan Muhammadiyah sebenarnya dalam garis yang sama.
Kiai Wahab Chasbullah menginisiasi berdirinya NU setelah ia pulang dari mendalami Islam di Makkah dan Madinah. Sewaktu di Hijaz, Kiai Wahab mengikuti dinamika politik tanah air dan menggerakkan anak-anak muda dengan mengikuti organisasi Sarekat Islam. Sebagai orang pergerakan, Kiai Wahab mengerti bahwa tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan fondasi pemikiran, akan tetapi juga strategi organisasi dan jaringan pergerakan.
Kemudian, ketika Kiai Wahab kembali ke tanah air, terpikir untuk membentuk organisasi yang mewadahi aspirasi komunitas pesantren. Kiai Wahab mengerti bahwa, peta pergerakan pada masa awal sudah berada pada rel yang benar, akan tetapi masih penuh dengan gesekan kepentingan antar organisasi. Sebelum NU berdiri secara resmi, telah ada Budi Oetomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah dan beberapa organisasi lainnya. Ketika Kiai Wahab Chasbullah meminta restu guru sekaligus mentor pergerakan kepada Kiai Hasyim Asy’arie, tidak lantas disetujui untuk membentuk sebuah organisasi.
Akan tetapi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’arie mewanti-wanti untuk menguatkan konsep, membangun jaringan dan mensosialisasikan kepada seluruh ulama-ulama yang mengasuh pesantren dan Islam di kawasan Nusantara. Hasilnya, Kiai Wahab melakukan perjalanan selama dua tahun, sejak 1924 hingga 1926. Kiai Wahab menggerakkan teman seperjuangan dan jaringan pesantren di Lombok, Mataram, Banjarmasin, Sulawesi, Sumatera dan pelosok Jawa. Kawan-kawan Kiai Wahab semasa di tanah Hijaz (Makkah-Madinah) juga mendukung dengan penuh semangat, karena sebelumnya telah satu visi perjuangan. Bahkan, jaringan ulama Jawi yang menjadi tulang punggung Islam Nusantara, juga turut menjadi bagian dari lingkaran pengetahuan yang telah dibangun oleh Kiai Wahab. Setelah semuanya matang, NU dideklarasikan pada 30 Januari 1926, dengan persetujuan dan dukungan dari ulama Nusantara (Saifuddin Zuhri, 1999).
Dalam menggerakkan NU, Kiai Wahab dikenal sebagai Kiai yang menguasai ilmu ushul fiqh, strategi pergerakan dan diplomasi. Sementara, Kiai Bisri Syansurie berpegang pada dalil-dalil fiqh yang ketat, dengan kepentingan untuk menjaga kehati-hatian dalam beribadah maupun mu’amalah. Di antara keduanya, Kiai Hasyim Asy’arie yang sering mendamaikan pendapat-pendapat keduanya, dengan keleluasaan pandangan dan perspektif pergerakan untuk kebangsaan. Secara sederhana, Kiai Wahab berperan menginjak gas, Kiai Bisri berfungsi sebagai rem, sementara Kiai Hasyim Asy’arie memegang kemudi organisasi untuk menfungsikan gas dan rem pada waktu yang tepat.
Kiprah Kiai Hasyim Asy’arie, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansurie, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Abdurrahman Wahid, Kiai Sahal Mahfudh dan beberapa ulama lainnya memainkan peran penting dalam konfigurasi perjuangan kebangsaan. Sejarah Mukatamar Banjarmasin pada 1936 tentang Darussalam sebagai model negara Indonesia, Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 dan segenap perjuangan kebangsaan yang dipraktikkan para kiai pesantren menjadi wujud dari hadirnya ghirah untuk berjuang menegakkan bangsa, membela NKRI. Inilah kiprah dari kiai-santri dari komunitas pesantren yang mengukuhkan Islam Nusantara. Dalam konteks ini, Islam Nusantara menjadi tawaran atas referensi keislaman bagi kaum muslim di dunia.
Selamet Widodo, Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Average Rating