Menakar Hasil Akreditasi Prodi

Read Time:3 Minute, 40 Second
Hasil akreditasi oleh BAN-PT terhadap beberapa prodi di UIN Jakarta dinilai tidak sesuai dengan faktanya. Sebagian mahasiswa mengeluhkan sarana dan prasarana, ketidaksesuaian dosen maupun kelayakan kurikulum.
 
Rusaknya earphone di ruang laboratorium bahasa membuat kegiatan belajar mengajar mahasiswa Program Studi (Prodi) Bahasa dan Sastra Inggris (BSI) tak berjalan maksimal. Tak jarang, dosen terpaksa memutuskan untuk belajar di kelas sambil membawa tape recorder sebagai pengganti fasilitas belajar..
Keluhan terhadap minimnya sarana prasarana tersebut diutarakan oleh Ardha Prima Tahier. Mahasiswa yang kini menginjak semester lima ini menyatakan, laboratorium yang terletak di lantai tujuh Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) tak menawarkan fasilitas yang mendukung kegiatan belajar. “Terpaksa dengar bahan pembelajaran secara manual,” keluhnya, Sabtu (19/6).
Sarana prasarana menjadi salah satu poin penilaian standar akreditasi institusi perguruan tinggi selain Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran serta Strategi Pencapaian. Selain itu, Sistem Pengelolaan, Sumber Daya Manusia, Kurikulum, Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama juga berpengaruh dalam meningkatkan kualitas prodi.
Ketidaksesuaian latar belakang dosen dengan mata kuliah yang diajar juga dipertanyakan oleh Ardha. Ia mengungkapkan, beberapa dosen yang mengajar di Konsentrasi Translation namun belum pernah menerjemahkan karya sama sekali. “Hanya tau teori saja,” ungkapnya.
Senada dengan Ardha. Revi Riawati mengatakan, minimnya tenaga pengajar di Prodi BSI juga membuatnya kembali diajar oleh dosen yang sama tiap semesternya. “Kita butuh dosen yang punya kompetensi khusus di satu bidang,” tambah Mahasiswa Semester lima, Prodi BSI, Kamis (24/9).
Tak hanya itu, ia juga mempertanyakan kurikulum yang diterapkan oleh prodinya. Pasalnya, mata kuliah agama yang diajarkan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada semester awal membuat mata kuliah pokok dari prodinya tertunda. Ia mencontohkan, mata kuliah Pengenalan Kesusasteraan di Universitas Indonesia diajarkan di semester awal, namun di UIN Jakarta baru dibahas pada semester empat.
Selain itu, berdasarkan data distribusi mata kuliah kurikulum 2008, Prodi BSI UIN Jakarta, mata kuliah pokok semester satu hanya terdiri dari pronuciation, structure I, reading I, speaking I. “Semester awal cuma belajar mata kuliah Bahasa Inggris biasa,” katanya. Sedangkan, Universitas Indonesia sudah menerapkan mata kuliah pengantar kesusasteraan di semester satu.
Menanggapi hal tersebut, ketua Prodi BSI Saefudin menyayangkan minimnya ruang laboratorium bahasa milik FAH. Ia pun mengakui, rusaknya fasilitas laboratorium bahasa karena digunakan oleh lebih dari satu prodi.“(Lagipula) laboratorium bahasa bukan satu-satunya fasilitas untuk mengukur kemampuan mahasiswa,” tegasnya, Kamis (17/9).
Saefudin juga mengungkapkan, tak ada masalah jika terjadi ketidaksesuaian antara gelar ijazah dosen dan mata kuliah yang diampunya. “Mata kuliah seperti listening, speaking, writing itu masuk mata kuliah kemampuan. Sedangkan mata kuliah dasar ya, diajar oleh dosen yang berlatarbelakang sastra,” ucapnya.
Pembagian distribusi mata kuliah juga, lanjutnya, dilakukan demi mengasah kemampuan awal mahasiswa. Lalu, mata kuliah berbasis kemampuan lanjutan mulai diaplikasikan pada semester berikutnya. Namun mulai tahun ajaran baru 2015, Prodi BSI UIN Jakarta sudah menerapkan kurikulum baru yang distribusi mata kuliahnya lebih komprehensif.
Ketidaksesuaian antara latar belakang tenaga pengajar dan mata kuliah pengampunya juga terjadi di Prodi Sistem Informasi (SI) Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Syahriga Syahrul mahasiswa semester sembilan menuturkan, terdapat dosen yang berlatarbelakang programming namun mengajar mata kuliah statistik.
Menurutnya, hal tersebut disebabkan karena jumlah dosen FST yang sedikit. Alhasil, tak jarang dosen lebih mementingkan teori dibanding praktik dalam melakukan pengajaran. “Ini yang membuat kegiatan belajar mengajar tak efektif,” katanya.
Selain itu, sarana prasarana yang sudah tersedia, lanjut Syahrul, hanya menjadi pajangan karena dosen yang mengampu hanya melakukan pengajaran di kelas saja. “Harusnya pengajaran tak hanya teori yang dibacakan di slide, tapi butuh uji coba langsung,” tandasnya.
Alhasil, lanjut Syahrul, sarana prasarana yang tersedia hanya menjadi pajangan saja. Dalam melakukan praktik, mahasiswa FST biasa menggunakan gedung Pusat Laboratorium Terpadu (PLT). Hal tersebut diungkapkan oleh mahasiswa semester tujuh Prodi SI Hafiz Alfiarga. Ia mengaku, biaya akomodasi dan operasional laboratorium PLT sebesar 100 ribu dibayarkan diluar biaya per semester. Sementara itu, Ketua Prodi SI Nia kumaladewi hingga berita diturunkan belum dapat dimintai keterangan.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) terdapat 22 prodi yang terakreditasi A, 21 prodi terakreditasi B, dan 5 prodi sisanya terakreditasi C di wilayah UIN Jakarta.
Wakil Rektor Bidang Akademik Fadhilah Suralaga menerangkan, BAN-PT memiliki beberapa indikator untuk melakukan proses penilaian terhadap prodi. “Mahasiswa mungkin hanya memberikan penilaian terhadap beberapa indikator saja,” ucapnya, Selasa (22/9).
Ia menuturkan, akreditasi tak hanya bermakna penilaian saja bagi prodi, namun dapat juga berarti bentuk pengakuan dari negara. Melalui hasil penilaian akreditasi, prodi dapat mengetahui beberapa indikator penilaian yang perlu dievaluasi sehingga perbaikan dapat segera dilakukan.
Rizky Rakhmansyah

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Membaca Aksara Semut
Next post Cerita Cinta Sekonyong Koder