Read Time:3 Minute, 9 Second
Selamat menempuh gelar Starata Satu (S1) di kampus tercinta UIN Jakarta. Dalam menempuh jenjang S1 tak ubahnya seperti menempuh janjang pendidikan lain. Bahkan, banyak yang mengatakan mendapat gelar sarjana hanya seremonial bagi orang tua yang telah berhasil melihat anaknya lulus menjadi tukang insinyur. Namun, menurut data Badan Pusat Statistik per Feruari 2015 ada sekitar 400 ribu jumlah pengangguran yang mempunyai gelar S1.
Sedikit melihat UIN Jakarta pabrikakademis yang tiap tahunnya mengolah 5.000 produk siap sajidankonsep McDonalisasi (McD). Pertama dari konsep efisiensi bagaimana cara yang terbaik mencapai tujuan. Salah satunya dengan mengulurkan sajian melalui jendela untuk mempertinggi efisiensi dalam mendapatkan makanan. Ada sekitar 5.000 mahasiswa baru yang terus memadati gedung perkuliahan dan “mengobral” mahasiswa yang sudah lawas agar cepat lulus atau bahkan dipermudah untuk pindah (kepabrik lainnya).Tak pelak, pendidikan hanya diisi oleh gedung gedung bertingkat untuk terus menambah barang siap sajinya.
Salah satu caranyadengan menjadikan ruangan jurusan atau mungkin ruangan lainnya untuk menyelenggarakan sidang skripsi, bukan tidak adanya ruangan sidang melainkan membeludaknya ruangan yang dipergunakan untuk sidang skripsi tersebut. Menjadikan jadwal wisuda 4 kali dalam setahun. Dan tips agar diberikan kemudahan adalah dengan mengikuti saja kehendak pembimbing untuk mengubah skripsi yang disukainya agar cepat mendapat ijazah. Cepat saji.
Kedua, Predictability(kemampuan yang dapat diprediksi). Perkuliahan yang hanya 6 tahun dapat di prediksi sama halnya dengan kemudahan kartu kredit – orang dapat berbelanja tanpa uang di tangan – yang membuat konsumsi menjadi lebih diprediksi. Mahasiswa hanya akan disibukkan dengan membuat makalah yang kemudian berorientasi kepada nilai. Padahal dalam dunia kerja, hal yang dipelajari belum tentu akan linear dengan apa yang menjadi pekerjaannya tersebut.
Perkulihan 6 tahun tersebut keluaran dari kementrian lalu bagaimana dengan UIN? Tahun 2010 sistem Student Government (SG) dihapuskan. Diganti dengan sistem Senat. Gampangnya, dahulu UIN menjadi barometer universitas lain dalam hal berorganisasi. Hal itu karena seluruh kegiatan dilakukan dari, oleh dan untuk mahasiswa. Mahasiswa dapat berdikari atas keuangan, pemilihan umum, dan minimal membuat runtutan acara pada Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK). Berbeda dengan sistem Senat yang keuangan bahkan runtutan acara OPAKdibuatkan oleh Wakil Rektor bahkan Wakil Dekan (Wadek).
Bisa jadi mahasiswa saat ini diprediksi pandir oleh pemangku kebijkan, hingga hal tersebut dianggap tidak mampu membuatnya dan mesti dibuatkan. Kemampuan produk tersebut tentu dapat diprediksi akan selalu pandir.
Di tambah pembatasan ruang gerak, misalnya dengan adanya jam malam yang tidak memperbolehkan melakukan kegiatan hingga larut malam.Hal tersebut sama ketika saat proses pembelajaran dibatasi sekitar 3-4 jam perhari. Pembatasan ruang gerak dengan jam malam sudah terbukti dengan banyaknya mahasiswa yang anomi.
Terakhir cenderung menekankan pada kuantitas, biasanya lebih menekankan kuantitas ketimbang kualitas. Kapasitas produksi yang sangat minim tentu keuntungan akan minim pula, maka dari itu harus ada peningkatan dalam proses produksi. Pembangunan yang di gadang-gadang “master plan” yang saat ini berlangsung misalnya gedung parkir sementara harus menghancurkan ruang terbuka hijau (RTH) dan dengan memperluas parkiran tentu akan memperbanyak orang yang akan dan terus parkir.
Lalu apa yang membuat penekanan dalam kualitas? Setidaknya saat ini sedang berlangsung dan terus berupaya membuat fakultas baru yang legal, membuka jurusan-jurusan baru, dan terpenting adalah dengan harapan UIN Jakarta yang terus menerus menaikkan jumlah pemasukan keuangan. Lucu ketika tenaga pengajar yang kurang, ruang belajar tidak memadai, dan bahkan yang menjadi permasalahan saat OPAK adalah ketidaktersediaan lahan yang menampung mahasiswa baru dalam pegelaran tahuanan tersebut namun masih tetap tiap tahunnya menerima jumlah peserta didik yang sama.
Panggang jauh dari api. Bahkan memanusiakan manusia menjadi utopis. Pendidikan akan dan ke mana arah tujuannya hanya berada di tangan pemangku kebijakan (penguasa). Pendidik menerima dan mengajarkan apa yang telah diterimanya—walau dengan gaya yang dianutnya baik konservatif atau tidak—dari penguasa. Saya tahu penguasa sedang membuat atau menciptakan pola pendidikan untuk memenuhi pasarnya masing-masing.
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Average Rating