Pergub DKI, dan Ancamannya Terhadap Mahasiswa

Read Time:3 Minute, 27 Second

Sumber: Internet

Oleh Azami Nur Muhammad*

Lagi, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih sering disapa Ahok kembali menjadi sorotan warga Jakarta. Beberapa hari yang lalu Ahok membuat geger para aktivis dengan membuat kebijakan mengenai pengendalian pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang tertuang dalam Pergub DKI Jakarta nomor 228 tahun 2015. Bagi para aktivis, Pergub DKI 228 ini merupakan regulasi yang tidak mengandung unsur-unsur demokrasi dan melanggar hak asasi manusia dalam hak menyampaikan pendapat di muka umum. Sakralitas inilah yang menjadi dasar untuk melakukan penolakan terhadap regulasi Ahok tersebut.
Kini Pergub DKI 228 tersebut telah direvisi menjadi Pergub DKI 232. Meski berbeda, namun spirit untuk mengerdilkan penyampaian pendapat di muka umum masih sama. Setidaknya ada tujuh pasal yang dahulu ada di Pergub DKI 228 yang ditiadakan pada Pergub DKI 232 tahun 2015, dua di antaranya yakni:
Larangan
Pada Pasal 9, berbunyi: dilarang menyampaikan pendapat di muka umum pada ruang terbuka di luar lokasi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 4. Sementara di pasal 10 berbunyi: dilarang menyampaikan pendapat di muka umum pada ruang terbuka di luar kurun waktu sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 5 (pukul 06.00-18.00).
Sementara pada pasal 13 mengatur sanksi jika ada pelanggaran di pasal 9 dan 10. Pasal tersebut berbunyi: Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 akan dibubarkan oleh anggota Satpol PP dan atau bersama kepolisian dan atau TNI.
Pergantian Pergub DKI 228 yang direvisi menjadi Pergub DKI 232 sampai hari ini masih menuai polemik. Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 sangat jelas telah melegitimasi hak menyampaikan pendapat di muka umum, lengkap dengan peraturannya. Menurut hemat saya, Ahok tak perlu gengsi mencabut Pergub 228 tersebut. Tenang saja Pak, nggak bakal diejek kok. Saya yakin bapak Ahok pasti diapresiasi.
Ada yang menarik ketika isu penolakan Pergub DKI 228 sedang menghangat di masyarakat Jakarta. Kala itu, para aktivis dari berbagai elemen merespons dengan keras dan cepat ketika Pergub tersebut keluar dan disahkan. Mulai dari buruh, miskin kota, LSM, dan mahasiswa berbondong-bondong merapatkan barisan. Yang menarik adalah antusiasme kalangan aktivis mahasiswa yang kalah semangat dengan elemen lainnya.
Semangat mereka kalah dengan elemen buruh, miskin kota, LSM, dan beberapa serikat buruh khususnya. Ini mungkin karena musim UTS (Ujian Tengah Semester) yang sedang berjalan di mayoritas kampus di Jakarta. Daripada saya sok menganalisa dengan teori-teori sosial, budaya, ekonomi-politik atau intelejen, lebih baik saya menganalisa secara kongkret kondisi yang terjadi. Kalau alasannya UTS kan keren, tinggal bilang “Maaf saya ada UTS, akademis agar cepat lulus jadi sarjana adalah prioritas,” selesai perkara. Namun lain hal dengan buruh dan rakyat miskin kota, sangat jelas Pergub DKI 228 ini berkaitan dengan hajat hidup mereka.
Bagi elemen buruh, menyatakan pendapat adalah senjata mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai kelas pekerja. Pengupahan yang belum layak, sistem outsourchingyang mengikat, dan pabrik yang semena-mena terhadap buruh merupakan tuntutan yang masih harus disuarakan oleh mereka. Tentu saja Pergub DKI 228 dianggap sebagai tembok penghalang mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Para pemilik modal dianggap telah mengontrol pemerintah untuk membuat regulasi yang mempersempit ruang aksi dan demonstrasi demi menjaga kondusivitas iklim penanaman modal mereka.
Belum lagi kalangan miskin kota yang sering menjadi korban pembangunan di Jakarta. Nasib mereka yang selalu termarjinalisasi oleh kepentingan pembangunan, dengan adanya Pergub DKI 228 tersebut hak mereka untuk bersuara akan sama nasibnya dengan bangunan rumah mereka yang dirobohkan. Maka, memang elemen buruh dan miskin kota yang didampingi oleh LSM bersemangat melawan Pergub DKI 228.

Bagi saya, sebenarnya isu ini amatlah penting bagi para aktivis mahasiswa. Kawan-kawan aktivis mahasiswa harus bersatu-padu rebut ruang kebebasan berpendapat sebagai amanat berdemokrasi di Indonesia. Jadi, bukan cuma nyanyi ‘buruh tani mahasiswa miskin kota’ aja yang lantang, tapi ketika buruh, tani, dan masyarakat miskin kota bersatu-padu, eh mahasiswanya hilang. Memang Pergub DKI 228 itu telah direvisi, namun ada baiknya jika kawan-kawan mahasiswa ikut terus mengawal Pergub DKI 228 yang telah direvisi menjadi Pergub DKI 232 itu dicabut total. Bukankah jika usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif, dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata : LAWAN!

*Penulis adalah mahasiswa semester 7 Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post WCU di Mata Mahasiswa
Next post Pemerintah Lamban Revisi Sanksi Kasus Paedofil