Read Time:2 Minute, 17 Second
Judul: Hari-hari Terakhir Soekarno
Penulis: Peter Kasenda
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan: Mei 2013
Tebal: 274 halaman
30 September 1965, Indonesia gempar dengan peristiwa penculikan Dewan Jendral yang terdiri dari tujuh perwira Angkatan Darat (AD), oleh Gerakan 30 September (G30S) menuju Lubang Buaya. Dipimpin langsung Letnan Kolonel (Letkol) Untung, G30S ini bertujuan mencegah penggulingan Soekarno oleh Dewan Jendral.
Presiden Indonesia kala itu, Soekarno menilai dalam era revolusi aksi G30S merupakan peristiwa yang lazim terjadi. Namun sebaliknya, bagi Mayor Jendral (Mayjen) Soeharto, peristiwa semacam itu adalah pengkhianatan dan kejahatan terhadap Soekarno. Tak cukup sampai disitu, ia juga menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI)-lah dalang dari peristiwa G30S.
Melihat kondisi pemerintahan yang kian memanas, Soeharto pun memanfaatkan kelengahan Soekarno untuk menumpas PKI. Tak pandang bulu, mulai akhir 1965 sampai pertengahan 1966, Soeharto bersama AD menangkap dan membunuh siapapun yang pernah terlibat dengan PKI. Walhasil, pembantai simpatisan PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur tak dapat terelakkan.
Mengetahui perbuatan Soeharto, Soekarno mengalami konflik batin. Di satu sisi ia tak mau ada perang saudara antara PKI dan AD. Terlebih gagasan ia tentang Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) akan gagal jika salah satunya tak andil dalam pemerintahan. Oleh karena itu, Soekarno tetap bersikeras mempertahankan PKI.
Hal tersebut membuat sebagian rakyat Indonesia menduga Soekarno-lah otak penculikkan tujuh jendral. Dengan dalih meredam keadaan, Soeharto mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Soekarno. Setahun kemudian, sidang terbuka menghasilkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Serikat (MPRS) nomor XXXVII/MPRS/1967 yang isinya menuntut Soekarno mundur dan menyerahkan jabatan Presiden Indonesia kepada Soeharto.
Imbasnya,Soekarno dilarang menggunakan bendera kepresidenan, julukannya sebagai presiden, panglima tertinggi angkatan bersenjata, serta mandataris MPRS turut dicabut pemerintah. Tak hanya itu, pemerintah juga melarang foto bergambar Soekarno berada dikantor pemerintahan.
16 Agustus 1967, Soekarno diusir dari Istana Negara dan mengasingkan dirinya di Istana Bogor. Di sana, ia didampingi sang istri (Hartini) serta anak-anaknya. Namun kondisi ini tak bertahan lama, ia kembali diasingkan ke Wisma Yaso. Di sana, pemerintah membatasi izin kepada siapapun yang menjenguk keadaan Soekarno.
Semenjak statusnya jadi tahanan rumah, kesehatan Soekarno semakin memburuk, dokter menyatakan ia mengalami masalah di ginjal dan paru-paru. Tim dokter yang dulu merawat Soekarno turut dibubarkan. Pemerintah menggantinya dengan menunjuk Soerojo seorang dokter hewan untuk menjaga kesehatan Soekarno. Kondisi bertambah sulit, fasilitas pengobatan yang dibutuhkan tak sesuai dengan kesehatan Soekarno.
22 Juni 1970, Soekarno menghembuskan nafas terakhir. Dalam surat wasiat, ia menginginkan jenazahnya dimakamkan di Priangan, Jawa Barat. Namun, Soeharto menolak permintaan terakhirnya itu, dan ia memutuskan untuk memakamkan Soekarno di Blitar, Jawa Tengah.
Buku Hari-hari Terakhir Soekarno menceritakan peristiwa peralihan kekuasaan dari Soekarno menuju Soeharto. Dengan kejeliannya, tulisan Peter Kasenda ini dapat membangkitkan emosional pembaca. Namun cukup disayangkan, buku ini jelas berpihak pada Soekarno. Terlihat dari banyaknya karya Peter Kasenda yang bertemakan Sang Revolusioner Indonesia tersebut.
Dicky Prastya
Average Rating