Read Time:3 Minute, 3 Second
Ingin serba cepat, ‘Jalan Belakang’ menjadi pilihan masyarakat saat ini. Kerap membudaya, ini dituangkan Hanafi dalam karya-karyanya.
Sebuah bangunan menyerupai piramida nampak dipenuhi berpasang-pasang bakiak. Beberapa bakiak itu tersusun seakan berusaha mendaki bangunan piramida yang terbuat dari baja dan merupakan prototipe makam-makam raja Imogiri. Tiap bakiak tertera nama-nama berbeda yang menjadi simbol manusia sedang bertarung mendapatkan kekuasaan.
Setelah dibuat merinding dengan banyaknya bakiak yang ada di sekeliling piramida baja, pengunjung diajak bernostalgia lewat lukisan domba-domba di padang rumput hijau. Tepat di samping lukisan itu, terdapat dinding berwarna putih polos yang memisahkannya dengan deretan setrika arang yang dipajang membentuk setengah lingkaran.
Pemandangan berbeda terlihat ketika menengok ke luar gedung, mata kita akan disuguhkan bangunan sumur tanpa air berbahan batu bata menghiasi pelataran depan Gedung A Galeri Nasional Indonesia. Layaknya bagian belakang rumah-rumah Jawa, sumur tersebut merupakan bagian belakang dari rumah imajinasi Hanafi.
Pada karyanya yang lain, Hanafi melukiskan Gunung Merapi yang ia beri judul Wedhus Gembel dan Tubuh Jawa. Merapi–Keraton–Laut Selatan, Hanafi ingin menjabarkan sebagai pusat tubuh mistis Jawa. Merapi direpresentasi sebagai Keraton bagi makhluk-makhluk tak kasat mata. Keluarnya wedhus gembel dari letusan Merapi dianggap sebagai makhluk Banaspati yang memperingati tentang kemerosotan Jawa. Makhluk tersebut hanya bisa lenyap ketika manusia kembali menyerap sifat-sifat bumi, seperti tanah, air, dan api.
Tak jauh dari lukisan Gunung Merapi, Hanafi juga menampilkan karya instalasi berbentuk deretan 60 buah kenong, alat musik Jawa dengan judul Sakit Kepala – Masuk Angin. Karya itu mencerminkan derau dari kemajuan ilmu medis yang disadari atau tidak telah menggerus tradisi minum jamu masyarakat Jawa.
Kenong tersebut menjadi simbol seolah tradisi Jawa telah mulai ditinggalkan. Dibuktikan dengan banyak masyarakat yang beralih dari jamu ke obat modern untuk menghilangkan sakit kepala ataupun ketika masuk angin. Tak perlu menenguk segelas jamu, cukup menelan pil obat.
Karya bakiak berjudul Clogs and a Baby Stroller ini menceritakan betapa besarnya hasrat manusia untuk mendapatkan kekuasaan. “Hanafi melihat gejala yang hidup di tengah masyarakat saat ini banyak yang terjun ke politik karena bisa menjanjikan kekuasaan,” kata kurator pameran bertajuk Pintu Belakang, Derau Jawa, Agung Hujatnikajennong, Kamis (10/3). Nafsu kekuasaan yang tergambar dalam instalasi karya Hanafi pun benar-benar menceritakan keadaan manusia Indonesia saat ini.
Pameran yang berlangsung sejak awal hingga pertengahan Maret ini mengartikan pintu belakang merupakan imajinasi lain tentang Jawa. Pintu belakang dalam kehidupan masyarakat Jawa, berhubungan dengan budaya yang terkait dengan istilah “Jalan Belakang” untuk berbagai hubungan informal, misalnya membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Hanafi sekaligus mengajak penikmat seni untuk berpikir, masihkah Jawa menjadi faktor penentu dalam politik identitas yang berlangsung di Indonesia. Karena Jawa merupakan mayoritas di mana proses politik kebudayaan masih terus menggeliat hingga kini.
Karya-karya instalasi Hanafi berupa sembilan instalasi, sebelas lukisan, dan dua video ini banyak mengangkat tema sosial yang tengah dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pameran ini mengejutkan, karena seniman asal Purworejo, Jawa Tengah ini menjadikan pintu belakang galeri sebagai pintu utama untuk masuk dalam ruang pameran.
Intinya, sambung Agung, melalui karyanya, Hanafi ingin mengalami perjumpaan kembali dengan Jawa. “Seperti ingin menghubungkan Jawa yang dulu ia alami, dan Jawa yang sekarang yang tidak ia rasakan secara utuh,” tutur Agung.
Perbedaan Jawa dahulu dan kini pun turut dirasakan Agnia Astuti. Mahasiswi Program Studi (Prodi) Seni Murni Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini mengaku adanya perbedaan yang signifikan, baik dari manusianya, maupun perilakunya.
Sebagai dara asli Jawa Tengah, Astuti terkadang merasa seperti selalu berada di Jakarta meski sudah berada di tanah kelahiran. “Karya-karya Hanafi ini benar-benar mengingatkan seperti berada di rumah nenek dengan instalasi setrika arang yang berderat ditambah lukisan domba di rumput yang hijau. Fantastis!,” ujar Astuti disusul gelak tawa, Kamis (10/3).
Arini Nurfadilah
Average Rating