Ayat-ayat Binatang

Read Time:6 Minute, 9 Second
Oleh: Uus Muhtar*
Aku tak punya alasan untuk hobiku yang sekarang. Seringkali istriku marah-marah melihat perubahan yang terjadi pada diriku. Katanya, belakangan ini sikapku banyak berbeda, tidak perhatian lagi seperti biasanya, sekarang dingin dan lebih cuek. Berulangkali kubilang padanya, itu karena suamimu ini adalah manusia. Dan sebagai manusia waras, tentu harus memerhatikan banyak hal selain istrinya. Alam sekitar, sosial, lingkungan hidup, termasuk binatang-binatang kudu pula mendapat perhatian.
“Kasian mereka, sayang. Kalau bukan kita manusia, siapa lagi?”
“Terserah!”
Istriku memang kurang suka binatang, alergi katanya, terlebih pada kucing. Padahal Ia doyang banget makan ayam di KFC, dikira ayam bukan sejenis binatang, barangkali?Dan, hal itu jelas kontras dengan kepribadianku yang penyuka binatang, apa pun sepesiesnya.
Tak jarang, perbedaan itu memantik konflik antara aku dan istriku, namun dengan piawai aku segera meredamnya, sehingga semua aman terkendali, kami pun tetap harmonis dalam perbedaan kegemaran.Akan tetapi, perlahan-lahan dengan penuh kesabaran, kuberi ia penjelasan-penjelasan akan pentingnya menyayangi binatang.
“Mamih, Nabi kita adalah penyuka kucing, Sayang..! dan kucing adalah binatang.”
“Papih peliharalah kucing kalau begitu, mamih mau belajar merawatnya”
“Dengan senang hati, biar papih seperti Abu Hafsin ya, sayang”
Tidak ada hasil yang menghianati kesabaran, begitu pun buah kesabaranku dalam memberi pengertian pada istriku.Tentu saja perubahan istriku itu bukan sepenuhnya buah usahaku, melainkan dibantu ustadz Azwin, pengisi kajian rutin sabtuan di masjid komplek rumahku. Aku berbisik kepadanya, karena istriku adalah jama’ah setia pengajiannya. Dari itu, dalam setiap wejangannya, Ustadz Azwin selalu menyisipkan pesan perihal perikebinatangan, tentu saja dari sudut pandang agama.Belakangan, istriku pun mulai menerima kehadiran binatang-binatang koleksi peliharaanku di rumah.
Memenuhi keinginan istriku, aku memelihara seekor kucing.Bukan kucing Persia asal iran, juga bukan Himalayan, atau pun Russian blue, bukan! Bukan pula Turkish Anggora, atau Miane Coon si kucing tertua di dunia asal negeri paman sam itu yang kuadopsi,  melainkan kucing domestik atau kucing kampung liar yang kutangkap di gang belakang dan membawanya kerumah, karena bagiku tak perlu mahal untuk sebuah niatan baik.
“Kenapa tidak himalayan, Pih? Hasil persilangan Siam dan Persia, bentuknya unik dan lucu. Bulunya tebal, halus dan menggemaskan. Unyu-unyu, Pih!” melihat apa yang kubawa, istriku bertanya. Dari pertanyaannya, kutahu ia banyak mencari-cari referensi dan belajar mengenal kucing. Kalau tidak, darimana Ia tahu himalayan?
“Hidungnya pesek” jawabku.
“Papih juga pesek, mamih suka.”
“Tapi dia pilih-pilih makanan, gak suka.”
“Papih juga pilih-pilih menu makan kalau pesan di restoran”
“Tapi papih bukan kucing, mih! Beda lah..”
“Sama kok, papih pesek”
“Emang mamih mancung?”
“Enggak!”
“sudahlah, mih! Tak usah diperdebatkan. Karena, pesek ditambah pesek sama dengan anak-anak banyak yang pesek”
“he.he, Papih bisa aja!”
Kemudian aku mulai menjelaskan kepadanya. Aku katakan kepada istriku bahwa kucing kampung memiliki banyak kelebihan.Pertama, ia tidak kalah terkenal dari kucing-kucing luar lainnya di dunia. Kedua, ia memiliki karakter dan sifat bawaan yang cukup baik, seperti mandiri, ingatan yang tajam, fisik yang kuat, energik, aktif, liar, pemburu dan tidak manja, itu yang penting. Dan terakhir, ia mudah dijinakan dan bisa menjadi sahabat yang baik.
“Karakter liar dan naluri pemburunya dapat membantu kita menjaga simpanan padi dari serangan tikus di gudang, Mih” istriku pun mengangguk tanda sepakat. Entah kenapa alergi akutnya seketika hilang, aku tak tahu. Mungkin wejangan-wejangan  ustadz Azwin setiap sabtu memiliki efek menyembuhkan penyakit alergi yang diidapnya selama ini.
“Bombom?” istriku berkdip mata kepadaku.
“Nama yang bagus” aku balas megedip sebelah mata, setuju.
Bombom, Tak dinyana istriku sangat menyukainya. Kehadirannya kini menjadi pelengkap koleksi peliaharannku lainnya di rumah. Sebelumnya aku sudah banyak memelihara binatang, dan kebanyakan ‘out of the box’ atau tidak biasa. Diantarnya aku memelihara, Bearded Dragon, semacam iguana asal Australia, tarantula, burung macaw asal Amerika, landak mini, kecoa madagaskar, Sugar Glider yang mirip tupai terbang, kura-kura air, dan Leopard Geckoatau tokek macan tutul. Kesemuanya aku merawatnya sendiri, kecuali bombom, biar istriku yang akan merawatnya.
Semenjak ada bombom, istriku jadi suka semua binatang, dan padi di gudang aman dari tikus. Bukan hanya itu, ketertarikannya pada binatang membuat ia giat mempelajari dan mengenal berbagai watak dan karakter binatang-binatang lainnya. Selain arisan dan kajian sabtuan, kini ia pun aktif dengan komunitas-komunitas pencinta binatang. Sesekali, kalau ada waktuluang dan uang, kami jalan-jalan ke kebun binatang, baik di dalam ataupun di luar negeri.
Lagi-lagi, perubahan kebiasaan isteriku itu tidak lepas dari campur tangan ustadz Azwin. Rupanya, beliau masih intens menyuarakan peri kebinatangan dalam setiap kajiannya.Perihal itu, aku mengetahuinya sendiri.
Sabtu yang lalu, kebetulan aku sedang berada dirumah, off day. Seperti biasa, sekitar jam delapan pagi, istriku berangkat mengaji. Letak rumahku yang tak jauh dari masjid komplek membuat ceramah Ustadz Azwin terdengar jelas. Suaranya lantang dan menggebu-gebu keluar dari corong speaker masjid, terbawa angin dan masuk ke telingaku. Begitulah memang gaya ceramah beliau.
“Takbir!” Tampaknya Ustadz Azwin tengah menyeru jama’ah yang hadir di masjid untuk mengagungkan Tuhan.
“Allahu Akbar!” susul para jama’ah.
“Takbir!” sekali lagi.
“Allahu Akbar!” seruan Ustadz Azwin dan jawaban para jama’ah bertautan, begitu berulang tiga kali. Lalu terdengar beliau melanjutkan materi ceramahnya.
“Hadirin, yang dirahmati Allah! Bahwasanya Ayat-ayat Allah ada dua. Pertama, ayat yang tersurat, yang tak lain adalah Al-Quran. Kedua, ayat yang tersirat, yakni alam semesta ini, bumi, langit dan seisinya, termasuk binatang!” Jelasnya. Beliau lanjut bicara.
“Secara tidak sadar manusia telah menjadi binatang. mereka tidak sadar, sifat kebinatangan tengah melekat pada diri mereka, kenapa? Tanya beliau, lalu menjawab sendiri pertanyaannya.
“Karena, manusia tidak mau mengenal binatang! Mereka tidak mau mengkaji binatang! Sehingga banyak dari mereka yang gelap mata, buta, dan tak tau apa-apa saja sifat binatang! karena kebodohannya itu, tanpa sadar mereka mengadopsi sifat-sifat kebinatangan itusehari-hari, betul apa betul, Ibu-Ibu?!” bernada orasi, menggebu-gebu, Ustadz Azwin bertanya kepada jama’ahnya. Namun tak terdengar satu pun suara yang menjawab, jama’ah hening. Barangkali, semua yang hadir tersihir oleh retorika dan ajian Publik Speaking Ustadz Azwin yang mumpuni.
“Binatang itu tidak shalat! Yang suka menindas yang lemah? macan namanya! Para pemalas yang tidur diwaktu kerja di kantor? persis koala di dahan pohon! Yang suka menjilat para atasan? itu kucing garong! Yang rakus dan perebut hak yang lain? Monyet! Para binatang saling membunuh demi menjadi yang terkuat di hutan rimba! Mereka tidak peduli bahwa status mereka pada hakikatnya sama, binatang!” Tambahnya tegas.
Sebenarnya ceramah Ustadz Azwin panjang dan lebar. Tetapi aku ketiduran. Sampai di situ saja yang aku dengar dari rumah. Dan, Aku baru kembali terbangun setelah memasuki sesi tanya jawab.
“Maaf, Ustadz! saya mau tanya!” terdengar kembali suara dari corong speaker masjid, kali ini perempuan. Aku kenal betul suara itu, Ia istriku. Hendak bertanya apa gerangan istriku itu.
“Boleh, silahkan! Silahkan! Ibu Rahmiwati, silahkan!” jawab Ustadz Azwin bijak.
“Binatang kecil yang banyak itu tempatnya di mana ya, Ustadz” tanya istriku.
“Tentu saja di bumi, Bu! Bumi adalah tempat aneka binatang hidup” Jawab beliau, Jelas, singkat dan padat.
“Salah, ustadz!” Sanggah isteriku.
“Lho?” Kuyakin Ustadz Azwin terheran-heran. Aku yang mendengar dari rumah, pun tak habis pikir. Tak lama istriku kembali bicara.
“Yang benar, Binatang kecil itu adanya di langit yang biru, tadz! Kan ada lagunya: “Binatang kecil dilangit yang biru, amat banyak menghias angkasa, Aku ingin terbang dan menari, jauh tinggi di tempat kau berada….syalala la la la la.”
Ustadz Azwin: “Allahu Akbar..” sedih.
Istriku: “Takbir, tadz!” senang.
“Oaalaah…! Sekarepmu, Bu!” Gumam Ustadz Azwin dalam hati.

Ciputat, 28/04/2016 15.55 WIB 

*Pegiat Madrasah Qohwah; Ciputat Cultural Studies, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab. 

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Upah Tragis Pegawai Parkir UIN Jakarta
Next post Minim Ruang, FITK Oper Mahasiswa