Penuhi Bulan Suci dengan Toleransi

Read Time:3 Minute, 10 Second

Oleh : Eka Agus Setiawan*

Indonesia memang bukanlah negara agama, akan tetapi sejak kemerdekaan, dulu disepakati bahwasanya Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi yang berideologikan pancasila. Ini bermakna, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun keberadaan dan hak hidup agama-agama lain juga diakui, dan mendapat tempat yang sejajar. Maka dari itu, semua ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku tetap merujuk pada hukum nasional.

Banyaknya perbedaan di Indonesia, dimulai dari aspek budaya, adat istiadat dan khususnya aspek keagamaan, ini benar-benar menjadi suatu kekuataan sosial yang berlangsung secara turun-temurun. Perbedaan agama dan keyakinan harus dipandang sebagai rahmat Allah yang maha kuasa, karena masalah itu bersifat sangat fitriyah dan kodratiyah.
Itulah sebabnya, dalam satu rumpun keluarga di negeri ini, bisa saja diisi oleh orang-orang yang berbeda agama, dan di Indonesia tidak menegakkan sistem diskriminasi terhadap suatu golongan. Terbentuknya konsep kerukunan hidup dan toleransi intra dan inter-agama di Indonesia, itu merupakan suatu wujud mempersatukan hubungan antara suatu golongan terhadap golongan yang lain.
Selama bulan suci Ramadhan, praktik-praktik dalam mewujudkan sikap toleransi di dalam kehidupan sehari-hari, benar-benar menjadi ladang sosial yang terus berbuah. Oleh karenanya sikap bertoleransi terhadap antar golongan umat beragama, sangat diutamakan untuk menuju kerukunan dalam bertetangga dan bernegara terhadap sesama maupun berbeda golongan.
Selain toleransi selama ramadhan ini, dianjurkan kita sebagai umat beragama, untuk saling menghormati dan menghargai baik orang yang berpuasa maupun orang yang tidak berpuasa. Orang-orang yang tak berpuasa, entah karena perbedaan agama maupun halangan-halangan lainnya, haruslah menunjukkan sikap toleransi dan tenggang rasa pada orang yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Persoalan mendasar yang sangat dirasakan dalam sikap  bertoleransi ini terkait urusan makan, minum dan merokok di siang hari pada bulan Ramadhan saat ini. Bisa dimaklumi apabila pihak pemerintah di hampir setiap daerah memberlakukan aturan larangan beroperasinya rumah makan dan restoran secara terbuka. Akibat nya, para pemilik rumah makan dan restoran yang sudah menjadi mata pencaharian sehari-hari biasanya memilih cara sembunyi-sembunyi menjalankan bisnis kulinernya.
Inilah yang kemudian dinilai publik sebagai warung makan remang-remang. Sebab, pandangan dari depan, rumah makan dan restauran itu seolah-olah tertutup tapi di bagian dalamnya beroperasi seperti biasa.
Konyolnya, konsumen yang melakukan praktik makan, minum dan merokok di rumah makan dan restoran, itu justru mayoritas dari kalangan umat Islam sendiri. Inilah cerminan kualitas iman sebagian penganut Islam yang justru tega membohongi diri sendiri, dan lebih-lebih lagi tak punya perasaan malu pada Allah yang semestinya ditaati segala perintah dan larangannya.
Di negara-negara lain termasuk Malaysia yang menyatakan diri sebagai negara Islam, justru pluralitas warga yang beragam agama, itu memberlakukan praktik hukum Islam secara progresif. Rumah makan dan restoran termasuk tempat hiburan, itu dibiarkan beroperasi seperti biasa tanpa ada larangan atau pembatasan. Namun, sikap tegas aparat pemerintah dan keamanan semata-mata ditujukan bagi umat Islam yang memasuki rumah makan, restauran dan tempat hiburan tanpa basa-basi.
Bagi umat Islam yang tertangkap tangan melanggar aturan agama Islam itu, justru dikenakan hukuman. Terbukti cara-cara penegakan hukum dan disiplin begitu cukup ampuh, dan dalam rentang waktu bertahun-tahun secara nyata memunculkan sikap malu melanggar aturan  agama Islam.
Begitu pula, orang-orang non Islam di negeri jiran itu sudah terbiasa pula bertoleransi dengan cara tidak melakukan praktik makan, minum dan merokok itu secara mencolok. Sikap dan rasa menghormati orang-orang berpuasa menjadi keniscayaan dengan mengedepankan sikap empati yang tinggi.
Sikap toleransi baik seagama maupun berlainan agama pada bulan suci Ramadan, sesungguhnya begitu mudah dilaksanakan. Sikap menahan lapar dan dahaga yang diperankan oleh umat Islam secara mudah dapat disikapi oleh orang-orang sekitar yang kebetulan tidak berpuasa. Sebaliknya, sikap emosi orang-orang berpuasa yang bisa saja mudah tersulut bisa pula disikapi dengan mengedepankan sikap dan rasa sabar sebagai batu ujian yang dapat mengantarkan diri menjadi orang-orang yang bertakwa kepa da Allah Subhanahu wataala.
*Penulis adalah Mahasiswa UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Lemahnya Penegakan Kode Etik Mahasiswa
Next post Tuntutan Tak Berujung di Hari Buruh