Read Time:2 Minute, 15 Second
Sistem pemerintahan yang beda di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menuai banyak kritikan di masyarakat. Hal ini dikarenakan dalam sistem pemerintahan Yogyakarta diberi kewenangan sendiri dalam mengurus pemerintahannya termasuk pertanahan.
Selain itu, kepemimpinan pun berdasarkan turun temurun sebagaimana sistem monarki. Hal ini kemudian diperkuat oleh Undang-Undang (UU) No. 13 tahun 2012 tentang DIY yang juga mengatur pertanahan. Namun, adanya UU tersebut dianggap tidak sesuai dengan UU Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang menyatakan bahwa tanah kesultanan sudah dihapus dan beralih ke tanah negara.
Adanya perbedaan tafsiran antara pemerintah dan rakyat tentang UUPA pasal 5 juga kemudian menimbulkan ketidakjelasan mana yang sebenarnya mengatur. Pasalnya, apakah UUPA yang mengatur hukum adat atau sebaliknya hukum adat yang mengatur UUPA. Selanjutnya, persoalan ini lah yang kemudian dibahas dalam diskusi publik bertema Eksistensi tanah kesultanan dan tanah kadipaten pasca pemberlakuan UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY di Hotel Akmani, Jakarta, Rabu (5/10).
Dalam paparannya, ahli Hukum Agraria Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya Sri Setiyaji mengatakan anggapan masyarakat tersebut tidak benar. Menurutnya, UU No. 13 tahun 2012 merupakan produk politik yang sudah melalui kajian mendalam oleh para ahli, baik dari sisi filosofis, ideologis, maupun yuridis. Dalam konsiderans UU No. 13 tahun 2012 dan substansi dari pasal 5 jelas ada pengakuan eksisitensi DIY yang tidak bisa digangggu oleh siapapun.
Dalam pasal 2 ayat 4 UUPA 1960 kewenangan atas dasar menguasai bisa didelegasikan pada daerah swatantra (daerah tingkat II/kabupaten/kota). Namun ternyata menurut Setiyaji, DIY tidak termasuk daerah swatantra. Sehingga hak milik atas tanah DIY, lanjut Setiyaji, diperoleh atas keistimewaannya dan diakui sebelum kemerdekaan sampai dengan adanya UUPA.
Setiyaji melanjutkan bahwa keberadaan DIY terhadap kewenangannya di bidang pertanahan tidak bertentangan dengan UUPA sebagai hukum nasional. Begitu juga dengan UU No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY tidak bertentangan dengan UUPA, “Baik terhadap sisi perundang-undangan, maupun dengan UUPA,” tegas Aji, Rabu (5/10).
Sosiolog Hukum Universitas Negeri Surabaya Hari Purwadi menjelaskan kelahiran UU No. 13 tahun 2012 didasari atas asumsi mengenai keberagaman Bangsa Indonesia termasuk daerah adat. Atas dasar itulah DIY mendapatkan keistimewaan serta memiliki otonominya sendiri, termasuk dalam urusan pertanahan. Tetapi, sebagai daerah istimewa, terutama pertanahan, DIY membutuhkan pemaknaan ulang mengenai keistimewaan di bidang pertanahan.
Purwadi pun menjelaskan bahwa Sultan Ground (tanah sultan) jelas secara hukum, akan tetapi jika dihadapakan dengan UUPA maka banyak hal yang harus tinjau ulang, seperti persoalan subjek, batas kepemilikan, maupun distribusi tanah-tanah sultan. “Sementara UU tidak sampai menjelaskan persoalan tersebut,” tegas Purwadi.
Dalam simpulannya, Setiyaji merekomendasikan pemerintah DIY untuk segera membuat Peraturan Daerah (Perda) atas dasar kewenangan yang diberikan oleh UU No. 13 tahun 2012, dengan lebih menggali potensi, budaya, politik, sosial, ekonomi secara integrasi. Bertujuan agar menghasilkan sebuah Perda yang mengaktualisasikan Keistimewaan Yogyakarta.
MU
Average Rating