Dilema Pemangkasan APBN

Read Time:3 Minute, 12 Second


Oleh : Erika Hidayanti*


Demi menutupi defisit negara, tahun ini pemerintah melakukan dua kali pemotongan APBN. Pemangkasan ini dilakukan bagi sektor-sektor yang dianggap tidak produktif dan efisien. Namun, nyatanya pemangkasan anggaran tak hanya berdampak pada sektor tak produktif yang disebutkan Presiden Joko Widodo. Banyak lembaga yang merasakan pangkasan ini berdampak pada sektor operasional utamanya.

Dalam rangka pengendalian dan pengamanan pelaksanaan APBN 2016, Presiden Joko Widodo pada tanggal 12 Mei 2016, telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) nomor 4 tahun 2016 tentang Langkah-langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016.

Dalam Inpres tersebut telah ditegaskan, penghematan dan pemotongan belanja (K/L) dilakukan utamanya terhadap belanja perjalanan dinas dan paket meeting, langganan daya dan jasa, honorarium tim/kegiatan, biaya rapat, iklan, dan operasional perkantoran lainnya. Serta pembangunan gedung/kantor, pengadaan kendaraan dinas/operasional, sisa dana lelang atau swakelola, anggaran dari kegiatan yang belum terikat, dan kegiatan-kegiatan yang tidak mendesak atau dapat dilanjutkan ke anggaran tahun berikutnya.

Menurut saya, keputusan pemotongan APBN ini diambil memang dikarenakan adanya target pendapatan negara yang tak terpenuhi. Maka dari itu, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan yang sekiranya dapat membantu menutup kekurangan penerimaan negara yang tidak mencapai target.

Kebijakan pemotongan anggaran ini pun sebenarnya bisa efektif. Apalagi sasaran pemotongan adalah benar bagian atau sektor yang memang tidak produktif dan tidak efisien bagi pendapatan negara. Tengok saja seperti anggaran untuk rapat dan perjalanan dinas. Saya setuju jika anggaran ini memang akhirnya dipangkas, karena alibi rapat dan perjalanan dinas banyak hanya dimanfaatkan pejabat sebagai ajang berlibur.

Namun kenyataannya, tak hanya sektor itu saja yang terkena imbas. Seperti yang kita ketahui, Kementerian Agama (Kemenag) pun tahun ini mengalami dua kali pemotongan anggaran. Terakhir, anggaran Kemenag dipotong hingga Rp1,4 Triliun, mendapat keringanan setelah awalnya direncanakan akan dipotong sebesar 2,5 Triliun.

Kemenag yang memiliki dua fungsi utama yaitu agama dan pendidikan kemudian mesti memutar otak untuk menyiasati adanya pemangkasan ini. Begitu pula dengan lembaga pendidikan yang berada di bawahnya. Dikutip dari berita Tabloid Institut edisi September 2016, UIN Jakarta sempat kesulitan untuk membayar listrik dan terpaksa menunda beberapa penelitian karena tak adanya anggaran.

Miris sebenarnya ketika melihat dampak pemangkasan tersebut di kampus. Tentu, listrik adalah operasional utama bagi sebuah institusi. Lalu bagaimana bisa sampai sebuah kampus kesulitan membayar listrik karena ketiadaan anggaran? Apakah ini menjadi salah satu sektor yang tak produktif juga?

Tak hanya itu, UIN Jakarta yang ingin menjadi World Class University (WCU) pun nyatanya mesti memangkas anggaran penelitian. Padahal, kegiatan ini merupakan bagian dari tridharma perguruan tinggi serta jalan menuju WCU. Apa ini juga merupakan sektor yang dianggap tak produktif?

Entah bagaimana sebenarnya kementerian dan lembaga pemerintahan menerjemahkan sektor yang tak produktif ini. Bagi saya, imbas pemotongan anggaran pada UIN Jakarta nampaknya tak begitu bagus. Alih-alih pemotongan anggaran kegiatan operasional utama jadi taruhan.

Hal ini tentu bertolak belakang dengan tujuan utama pemangkasan anggaran. Saya pun sempat bertanya-tanya siapa yang sebenarnya salah menerjemahkan kebijakan ini? Lalu bagaimana dengan perjalanan dinas, rapat, workshop, dan kegiatan lain yang justru tak begitu produktif ini? Semoga saja kegiatan yang biasanya akan banyak bermunculan di akhir tahun ini tak ada lagi sekarang.

Jika sampai masih ada, jelas pemotongan anggaran tak tepat sasaran. Karena seharusnya jika sudah sampai mengorbankan kegiatan operasional utama tentu karena  sektor lain sudah dipangkas habis-habisan. Bagi saya, pemangkasan anggaran ini perlu dibarengi dengan penerjemahan teknis yang benar. Pemerintah mesti cerdas memilih dan mengawasi mana sektor yang tak produktif. Mana kementerian yang hanya buang-buang anggaran untuk jalan-jalan.

Di akhir tulisan kemudian saya ingin mengajak teman-teman mahasiswa untuk melihat dan mengawal imbas pemangkasan anggaran ini. Coba tengok di fakultas kalian masing-masing, apakah masih ada kegiatan ‘jalan-jalan’ yang menghabiskan anggaran akhir tahun ini? Jika sudah tahu jawabannya, kemudian kita bisa menjawab siapa yang salah menerjemahkan pemangkasan anggaran ini.

*Mahasiswi Kesehatan Masyarakat, FKIK, UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Orasi Damai Berujung Ricuh
Next post Di Balik Pemangkasan Anggaran