Read Time:3 Minute, 1 Second
(Sumber: Internet)
Oleh; Dede Afrizal
Tanggal 21 Desember lalu, bisa disebut sebagai hari yang spesial bagi kebanyakan sivitas akademik UIN Jakarta, mengingat hari tersebut digelar “pesta demokrasi”. Perhelatan ini sering kita sebut sebagai Pemilihan Raya (pemira). Pemira menjadi agenda rutinan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang bagi kebanyakan mahasiswa dinantikan. Pemira ini menjadi arena bagi para mahasiswa untuk mencalonkan atau dicalonkan dalam “menahkodai”, baik ditingkat jurusan, fakultas maupun universitas.
Pesta demokrasi ini merupakan salah satu bentuk pembelajaran politik dan menjadi tempat untuk mengaktualisasikan potensi para mahasiswa. Setiap tahunnya, perhelatan ini selalu menarik. Mengingat para mahasiswa selalu antusias dalam momen ini. Pemira bisa juga dikatan sebagai salah satu proses mewujudkan bentuk demokrasi kampus. Disamping itu, mahasiswa diharapkan andil atau berpartisipasi dalam momen tersebut.
Namun fakta dilapangan berpunggungan. Seperti data yang bersumber dari Lembaga Pers Mahasiswa Institut, tiga tahun terakhir ini minat mahasiswa terhadap pemira masih minim. Hal ini berbanding lurus dengan angka golongan putih (golput) yang mencapai 5.947 atau 34,5% dari 17.254 jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) tahun 2014, aklamasi yang mencapai 52% tahun 2015 dan angka golput 6.361 atau 34% dari 18.613 jumlah DPT tahun 2016.
Alasan mereka tidak andil dalam momen ini pun beragam, mulai dari tidak adanya calon, tidak kenal dengan calonnya, tidak memiliki Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), dan bahkan lebih “ekstrim” lagi ada yang mengatakan “pemira rasa organisasi ekstra”. Sehinga mereka enggan berpartisipasi dalam proses pembelajaran demokrasi ini. Akibatnya, sikap yang demikian ini mengarah kepada apatis yang nyata.
Padahal jika melihat arti kata demokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya ikut serta memerintah dengan perantara wakilnya. Dengan kata lain, mahasiswa sebagai rakyat dalam sebuah kampus seharusnya terlibat untuk menetukan siapa nantinya yang akan menjadi wakil mereka.
Dalam perhelatan ini, seharusnya mahasiswa lebih memaknai istilah demokrasi sekaligus merealisasikannya dilapangan. Mengingat makna demokrasi, “dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat”. Artinya, mahasiswa sebagai rakyat dalam sebuah kampus, harusnya berpartisipasi dalam hajat ini. Hal yang demikian ini merupakan perwujudan nyata dari makna demokrasi.
Pemira; dari mahasiswa, oleh mahasiswa, untuk mahasiswa
Memang kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan sikap mahasiswa yang enggan berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini. Mengingat mereka juga memiliki hak dalam menentukan sikap, baik ikut berpartisipasi maupun tidak sama sekali tanpa ada ancaman dari manapun dan siapapun. Namun hal semacam ini menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa yang acuh tak acuh (apatis) terhadap proses perkembangan demokrasi kampus.
Meminjam istilah seorang tokoh sosiolog Prancis, bahwa norma tertinggi demokrasi bukan jangkauan kebebasan atau jangkauan kesamaan tetapi ukuran tertinggi partisipasi (A. D. Benoist). Hal ini menunjukan kepada kita bahwa, salah satu nilai (ukuran, norma) dalam proses demokrasi (dalam hal ini kampus) diukur dari partisipasi mahasiswa terhadap pemira.
Di samping itu, kita tidak perlu cemas siapa saja nantinya yang akan terpilih, baik dari kelompok “hijau, biru, merah”, atau yang lainnya. Toh, kampus atau pemira ini bukan milik pihak manapun, baik itu rektorat, dosen, maupun organ ekstra tapi milik kita semua. Oleh karena itu, seharusnya pola berpikir kita adalah bagaimana membuat pemira ini menjadi bagian dari wadah pembangunan karakter mahasiswa.
Bukan berpikir bahwa pemira hanya sebagai arena politik belaka, melainkan ada hal yang lebih besar dan penting, bahwa pemira merupakan salah satu cara memilih pemimpin yang mumpuni dan berkualitas. Sehingga dapat mengakomodir seluruh mahasiswa untuk memberikan kontribusi terhadap institusi (kampus).
Terlepas adanya ungkapan bahwa “pemira rasa organ ekstra” atau banyaknya kepentingan kelompok-kelompok mahasiswa, yang terpenting adalah dengan adanya pemira, organisasi intra mahasiswa akan kontinu sehingga bermuara pada proses pengembangan almamater. Hal yang demikian merupakan makna pemira, “dari mahasiswa, untuk mahasiswa, oleh mahasiswa”.
*Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Pegiat Forum Kajian Piramida Circle Jakarta
Average Rating