Read Time:4 Minute, 58 Second
Oleh Ade Prasetio*
Saat ini, kesadaran politik masyarakat Indonesia akan pentingnya hakikat berpolitik semakin menunjukan kemajuan. Mulai dari sisi pemikiran ataupun daya kritik terhadap fenomena politik Nasional. Terbukti dari sebagian masyarakat yang tidak lagi berasumsi bahwa politik itu kotor, harus dijauhi, tikung sana tikung sini dan lain sebagainya. Sikap apatis tersebut agaknya sudah sedikit dihilangkan, jargon-jargon kuno dan terkesan tendensius yang menyatakan jika proses politik hanya menguntukan untuk orang-orang yang memegang kekuasaan dan elit saja, lambat laun sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat kala persoalan terkait situasi nasional yang terjadi beberapa pekan terakir. Masyarakat dengan cepat langsung merespon isu tersebut dengan mendiskusikannya.
Tahun 2016 telah terlalui, banyak peristiwa penting yang menjadi sejarah baru bagi bangsa dan negara, namun rupanya banyak meninggalkan bekas dan permasalah baru hingga pergantian tahun. Puncaknya di awal-awal tahun 2017 ini kita disibukan dengan desas desus kondisi perpolitikan nasional yang menyebabkan solidaritas kita sebagai bangsa terganggu. Tentu ada faktor yang menjadi penyebab, di antaranya pilkada serentak yang dilaksanakan tahun ini, isu agama, sara, dan lainnya. Ini pertanda bagi kita bahwa kewaspadaan Indonesia sebagai bangsa dan negara sedang di uji.
Hal tersebut dikembangkan dengan maraknya berita bohong alias HOAX dimuka publik yang dinilai sangat membahayakan situasi nasional saat ini. HOAX atau bohong adalah sesuatu pesan yang disampaikan untuk khalayak namun tidak sesuai dengan hal dan keadaan yang sebenarnya. Isu disinformasi yang kian tidak jelas menjadikan kondisi politik nasional semakin panas dan banyak memunculkan prasangka negatif yang dapat menimbulkan perpecahaan antar ras bangsa di tanah air dan tak lain mengancam keutuhan NKRI.
Terlintas mengingatkan kita pada Hitler yang mengatakan bahwa “kebohongan akan menjadi kebenaran jika dilakukan secara terus menerus”. Tak pelak kebohongan yang massif justru membawa petaka baru untuk kita. Seseorang mampu melakukan dengan mudah upaya-upaya agitasi ketika wacana yang dibangun sudah berhasil memperdaya masyarakat. Tentu agitasi tersebut berupa hasutan kepada orang banyak (untuk mengadakan huru-hara, pemberontakan, dan sebagainya), dan biasanya dilakukan oleh tokoh atau aktivis partai politik dengan gaya pidato yang berapi-api untuk mempengaruhi massa.
Adapun awal mula duduk permasalahan yang terjadi adalah ketika adanya dugaan kasus penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahya Purnama (Ahok) ketika menggunakan ayat-ayat dalam Alquran seperti surat al-Maidah ayat 51 sebagai bagian dalam kampanye pemilihan gubernur, yang itu justru menuai respon negatif oleh sebagian kalangan umat Muslim. Dengan cepat umat Muslim yang merasa telah dihina agamanya melakukan protes keras terhadap Ahok (sapaan akrab Gubernur DKI) tersebut. Tidak berhenti dalam sekali protes, aksi umat Islam sampai berjilid-jilid, bahkan sempat bergaung dengan sebutan Aksi “Bela Islam” yang pada gilirannya mencapai Aksi “Bela Islam” jilid tiga. Tentu hal ini betul-betul menyita perhatian publik secara luas, baik dalam kalangan akar rumput maupun di kalangan elite.
Selang beberapa hari, masyarakat disibukan lagi dengan berita HOAX lainnya, yaitu kebangkitan akan komunis atau PKI. Kekeliruan sebagian media misalanya, yang sudah ngawur sengawur-ngawurnya ketika menyebutkan bahwa referensi untuk melihat kekajaman PKI adalah dalam film G30S/PKI versi pemerintahan Soeharto. Rangkaian demi rangkaian peristiwa terus dijahit seolah kaus ini dilakukan dengan cara cocokologi (menghubung-hubungkan). Dengan deskripsi mengenai realitas bangsa kita yang sedang terancam perpecahan ini mengisyaratkan bahwa selama ini, praksis relasi sosial ekonomi, politik dan budaya masih mudah digerakkan oleh pemain-pemain yang lisannya berbau kotor, sementara tangannya sibuk mengagregasikan kekejian.
Konstelasi dan panorama politik yang sedang berkembang, melahirkan pesejarah dan babak baru drama politik Indonesia. Walaupun demikian momentum politik seperti apapun, mengharuskan kita untuk tetap dalam bingkai “etika kemanusiaan” yang mengutamakan tegaknya advokasi hak-hak publik seperti keharmonisan berelasi sosial dibandingkan nafsu memburu target-target individual dan kelompok.
Di samping itu, kita harus pantang memilih jalan jahat dan khianat yang merugikan rakyat, hingga mengakibatkan bangsa kehilangan martabat dan hidup dalam atmosfer kiamat. Menolak keras untuk menjadi agen provokasi, pembisnis, dan penabur fitnah atau perakit modus kriminalisasi politik dengan corak devide et impera (adu domba antara satu pihak dengan pihak lainnya). Tentu tidak mudah untuk dikapas-kipasi, dipanas-panasi, atau dijadikan sasaran tembak penyebaran fitnah. Lanjutnya, yang terpenting kita harus memulai untuk membiasakan melakukan check and recheck dan mendiskursuskan suatu berita atau rumor yang membahayakan kedamaian hidup berbangsa.
Kita disadarkan untuk menjadi nasionalis sejati dan anak negeri yang saleh, yang tak sebatas saleh individual dan sosial, namun harus juga saleh dalam berekonomi, berbudaya, berpolitik. Kita diajak menjadi menjadi dewasa dalam menerjemahkan keragaman (perbedaan) adalah rahmat, dan bukan menjadikannya sebagai akar kriminogen yang menghatarkan Indonesia diujung kehancuran. Kita juga akan tetap menjadi pribadi yang reformer sepanjang zaman, tak bisa ditaklukan dan didesain menjadi apa yang disebut oleh Lewis Yablonsky “robopathatau sosok manusia yang kehilangan jati diri, tercemar nuraninya, tereduksi kebebasan berfikir dan independensinya dan hanya membudakkan dirinya pada seseorang dan kekuatan yang berhasil membeli atau “menjajahnya”.
Sudah sewajarnya kita tidak mudah menjadi bangsa pemarah dan mudah terpancing oleh rumor yang menyesatkan dan menyulut radikalisme sosial, sebab kita didik oleh agama yang mengunggulkan kesetiakawanan dan cinta kasih. Sebagaimana penyair sufi kenamaan Jalaludin Rumi, “tanpa cinta, dunia akan membeku. Cinta adalah ibarat lautan luas nan dalam. Cintalah yang semestinya menjadi pilar utama bagi bangunan hubungan antar manusia, antar bangsa, antar kebudayaan dan antar sistem hidup yang berbeda”
Sekiranya deskripsi puitis Rumi diatas mengisyaratkan keagungan makna cinta yang dapat memediasi keragaman menjadi soko guru kebersamaan yang dapat mencairkan kebekuan dan membedah kultur eksklusifitas. Dengan begitu masing-masing pribadi akhirnya dapat hidup saling berdampingan, tidak alergi menggalang etos kebersamaan, tak memandang inferior atas kekurangan sesame, giat berlomba guna mengintegrasikan kelebihan privasi dan komunitasnya demi pembebasan derita sebagian saudaranya.
Masihkah kita sanggup berdialog demi mencapai tujuan bersama? Kebiasaan berdialog rupanya masih sedikit orang yang paham dan tak jarang ada yang mempraktekannya. Sungguh bukan suatu kemustahilan untuk menjalin dan membumikan kebersamaan dalam bangunan dan keragaman (pluralitas) etnis, ras, agama dan antara golongan jika kita tidak gampang termakan oleh emosi, ketamakan, provokasi-provokasi dan ambisi destruksi serta beragam fitnah keji. Kita harus melihat dan menyajikan berbagai sudut pandang yang berbeda agar sejarah tidak salah mendongeng.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, UIN Jakarta
Average Rating