Read Time:3 Minute, 46 Second
Oleh Cendhy Vicky*
Belum selesai kasus suap di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjerat Patrialis Akbar (yudikatif), mencuat bancakan kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik yang melibatkan anggota dan elit partai di lembaga legislatif dan eksekutif. Kasus baru ini menyempurkan anggapan bahwa negara ini sedang dalam kondisi bahaya melawan korupsi. Mengapa? Karena tiga lembaga negara “ketahuan” korupsi secara dalam waktu yang relatif bersamaan. Dan hampir semua yang terjerat korupsi adalah anggota partai politik.
Dalam konteks di Indonesia, semua partai politik menjadikan pembukaan/mukadimah Pancasila sebagai cita-cita, tujuan dan arahnya. Dan dengan jelas semua partai memasukan penggalan pembukaan tersebut,”bahwa cita-cita luhur untuk membangun dan mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan makmur serta beradab dan berketuhanan yang berlandaskan Pancasila.” Sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan cita-cita bersama seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu jika melihat sila kelima yang berbunyi,”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan dikontektualisasikan dengan gejala hari ini amatlah kontra-produktif. Laporan terbaru dari INFID dan Oxfam menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara keenam dunia dalam hal ketimpangan ekonomi atau kesejaterahan publiknya. Bagaimana tidak, 10 persen orang terkaya mengusai 77 persen dari kekayaan nasional. Bagaimana sisanya? 23 persen kekayaan “sisa” harus dibagi pada 90 persen penduduk. Dan sudah tentu 90 persen dari pendudukan termasuk para politisi. Artinya fenomena korupsi pejabat tinggi negara akan menggerus kekayaan 23 persen. Terlebih pembangunan yang selama ini berjalan hanya menyentuh kelas menengah, tanpa sedikitpun “bersapa” dengan masyarakat bahwa. Kaya makin kaya dan miskin makin miskin sampai detik ini tidak asing di telinga kita. Keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan jauh dari rakyat Indonesia.
Dalam mengkategorikan ideologi partai politik setidaknya kita dapat membagi menjadi dua: nasionalis dan Islam. Nasionalis seperti partai Golkar, Gerindra dan PDI-P. Islam seperti PKS, PPP, dan PBB. Memang seharusnya partai politik mengejewantahkan cita-citanya. Tapi sekalipun partai tersebut berasaskan—agama—Islam pada kenytaannya tidak menjamin bersih dari korupsi.
Pada faktanya dengan terlibatnya anggota dari sembilan partai politik—Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Gerindra, PKS, PDI-P, PAN, PPP dan PKB—baik dalam kategori partai Islam dan Nasionalis dalam kasus korupsi tersebut, semakin menguatkan tesis Kuskridho Ambadi mengenai politik kartel (dalam bukunya Mengungkap Politik Kartel).
Bagi Ambardi sejak reformasi koalisi partai politik, di tingkat nasional, di Indonesia selain bertujuan untuk memenangkan pemilu, adalah sarana untuk menjaga kelangsungan hidup kolektif partai, sehingga diperlukan untuk membentuk kartel. Kartel yang dimaksud Ambardi adalah persekutuan antara partai politik bukan dengan tujuan memenangkan pemilu, tetapi menjaga semberdaya ekonomi dari negara.
Artinya fenomena koalisi adalah penampakan di depan panggung politik, yang tidak kurang dari persekutuan rente. Dengan demikan kelangsungan hidup partai ditentukan oleh sumber keuangan yang diperoleh dengan cara, bukan dari uang pemerintah yang dialokasikan untuk partai politik, melainkan melalui perburuan rente (2009: h. 4).
Selama ini melihat wacana anti korupsi seolah wacana tersendiri dari wacana-wacana lain mengenai politik dan negara. Seolah isu korupsi tidak berkaitan dengan isu lainnya. Padahal isu korupsi adalah isu berhubungan dengan isu lainnya—apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak.
Misalnya dengan rumus umum bahwa korupsi adalah diskresi ditambah monopoli dan minus akuntabilitas/transparansi artinya, semua, tidak terkecuali, kasus korupsi adalah contoh dari suatu perbuatan melawan hukum dengan nol publikasi.
Dengan minus transparansi itulah korupsi juga berkaitan dengan keterbukaan informasi publik, hak asasi manusia, demokrasi, dan good government. Sebagaimana bunyi konsideran poin b UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik,” bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik.”
Selain itu korupsi juga menyangkut diri kita pribadi, karena umumnya uang korupsi adalah uang hasil pajak yang diperoleh dari rakyat, dimana rakyat selalu melunasi pajaknya secara tunai, sedangkan negara sebaliknya: abai.
Untuk itu sudah saatnya kita untuk mengatakan katakan ‘tidak’ pada korupsi. Serta melihat korupsi sebagai bencana sosial terbesar di negara yang katanya nomor tiga di dunia sebagai negara paling demokratis ini.
Dengan status bahaya korupsi di negara ini, artinya persoalan tersebut bukan hanya wewenang dan fokus dari KPK atau ICW. Tapi persoalan kita semua. Jadi, sebelum semua orang masuk dalam sebuah agama yang sama bernama uang, kita harus bergegas mencegah, mengawasi, mengawal, mengembangkan, dan mempertahankan wacana anti-korupsi yang selaras dengan wacana lainnya secara ketat. Sebagaimana korupsi yang tidak akan pernah berhasil jika dilakukan sendirian, kitapun harus bersama menjaga negara ini dari dekadensi moral pada pejabatnya yang “bengis”.
*Pegiat Sosial-Budaya di Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) dan Pegiat Anti Korupsi di Tangerang Transparency Public Watch (TRUTH)
Average Rating