Read Time:4 Minute, 38 Second
DONGGALA – Kontras mengundang takzim kepada Ilahi, kesan yang ditinggalkan Masjid Jamik Pantoloan yang kini masih berdiri gagah di antara tumpukan puing dan lumpur kering. Masjid ini menjadi salah satu bangunan yang tersisa utuh di Kelurahan Pantoloan, Kecamatan Tawaeli, Kabupaten Donggala.
Muhammad Alif Firmansyah (18), Sang Muazin Masjid Jamik Pantoloan, mengisahkan detik-detik gempa dan tsunami menghantam pemukiman di sekeliling masjid tersebut. Kejadian yang hingga kini ia resapi, bagaimana kuasa Allah terlihat nyata.
Kala itu senja hampir menutup, jemaah mulai berdatangan. Barisan sandal jepit juga beberapa sepatu mulai ditata di halaman depan masjid. Ada yang sedang memulai wudunya, ada yang khusyuk berbaris di saf-saf mendengar azan Magrib selesai dituntaskan.
Tapi, di momen itu, semua jemaah masjid masih ingat bencana kecil yang terjadi beberapa jam sebelumnya, kala azan Asar berkumandang. Rasa takut masih menghantui mereka, mengingat gempa pertama mengguncang cukup kuat.
Sembari perlahan mencoba melupakan gempa pertama, Azan Magrib tetap bersuara lantang. Sampai akhirnya, pelantam suara Masjid Jami Pantoloan mengumandangkan kalimat “Hayya ‘alash sholah”. Suara tetap lantang meski sempat berjeda semenit dua menit.
Pasalnya, kala itu guncangan gempa susulan kembali datang dengan kekuatan yang jauh lebih besar. Semua jemaah berhamburan keluar. Namun tidak dengan Sang Muazin. Ia tetap menggenggam mikrofonnya melanjutkan azan yang terputus.
“Pas itu Magrib. So (sudah) azan. Kami ambil wudu semua. Pas ambil wudu dia goncang pertama ke samping. Lalu tanah bergoncang lagi naik turun. Semua lari, tapi azan tetap diselesaikan,” kisah Alif.
Tidak ada yang pernah menyangka, azan Magrib Jumat (28/9) sore itu bakal menjadi azan Magrib yang tak mungkin dilupakan. Alif, pemuda semester tiga jurusan sosiologi Universitas Tadulako itu bercerita, setelah azan diselesaikan, tanah masih bergoyang keras sekali.
“Gempa itu goncang begini naik turun. Kita taluncur, ada yang tasalto. Orang berjalan merangkak seperti bayi, yang naik motor itu jatuh semua. Rumah-rumah juga tidak ada runtuh ke samping, tapi runtuh ke bawah semua. Pas udah lama dari situ, baru air (tsunami) naik,” tutur Alif dengan logat To Kaili (orang Kaili) yang kental.
Tsunami Datang Membelah Masjid
Suara gemuruhnya masih diingat betul oleh Alif. Hanya berselang beberapa menit usai gempa besar mereda, Alif dan jemaah masjid lain yang berlari ke halaman luar masjid, menyadari suara gemuruh besar datang dari arah laut.
“Suaranya itu besar sekali. Gemuruh setelah gempa. Ternyata itu tsunami. Tingginya setinggi pohon kelapa,” ujar Alif mengingat momen-momen kritis di Jumat petang itu.
Dari kejauhan di arah utara, Alif menyimak betul, gemuruh tsunami datang mendekat. “Pertama itu air naik vertikal, berdiri. Air bergerak cepat sekali dari sana (utara) ke mari (ke arah Masjid Jami Pantoloan). Seketika itu kami lari ke atas gunung. Tapi kuasa Allah, tsunami itu dia belah ini masjid. Dia lompati itu masjid, tsunami tidak pernah menghantam masjid,” ujarnya selagi memisahkan kedua tangannya ke kanan dan kiri, menirukan bagaimana air tsunami membelah.
Ya, keajaiban terjadi. Tsunami tak sampai menyapu bersih Masjid Jami Pantoloan. Bahkan, hantaman keras tsunami tidak pernah bertemu dengan dinding Masjid Jami Pantoloan. Air tsunami itu membelah, membagi dua alirannya tapi menyapu habis pemukiman di sekeliling masjid.
Ketika gulungan tsunami datang, Alif dan jemaah lain berkisah, sempat mengungsi ke atas bukit. Jaraknya tak begitu jauh dengan pesisir pantai.
“Kami lari ke bukit. Selesaikan salat Magrib di atas bukit. Lalu kami kembali ke bawah. Kami kaget masjid nggak kena hantaman (tsunami) itu. Di dalam masjid hanya ada air laut yang pasang saja, setinggi dengkul. Tapi tidak ada yang hancur. Tembok tidak ada yang retak,” kisahnya.
Belasan jemaah Masjid Jami Pantoloan yang kembali turun dari bukit terhenyak melihat kontrasnya kondisi di depan mata mereka. Masjid utuh tanpa sedikitpun ada bekas terkena tsunami, tapi di sekeliling masjid rumah rata dengan tanah, jenazah korban tergeletak kaku dalam spasi tiap beberapa meter.
“Di sini, di sekeliling masjid, semua ada jenazah karena memang rumah padat sekali di sekitar masjid itu. Jemaah masjid yang bantu pertama kali evakuasi jenazah. Kami pinggirkan semua di halaman masjid. Tapi alhamdulillah tidak ada jenazah yang terlempar sampai ke dalam (masjid),” ujar Alif.
Berkisah serupa dengan Alif, Bahtiar (49) jemaah lain Masjid Jamik Pantoloan pun menyimak langsung, betapa tsunami hanya melintas di samping masjid. Meski selamat, Bahtiar harus mengikhlaskan ibundanya wafat diterjang tsunami.
Jumat (28/9) petang itu, setelah gempa besar, Bahtiar seketika mengingat kondisi ibunya. Dari masjid ia berlari ke rumahnya yang berjarak hanya puluhan meter. “Saya gendong ibu, tiba-tiba air tsunami mendorong tubuh saya sampai tenggelam. Saya terseret 200 meter. Ibu terlepas dari punggung. Di dalam air tsunami, saya diblender sudah. Saya hanya bisa berzikir,” kisahnya.
Bahtiar selamat setelah sebatang kayu menjepit kakinya. Hempasan tsunami tak sampai membuat Bahtiar hanyut karena kakinya tersangkut. Ketika tsunami surut, kakinya sempat terluka karena kuatnya jepitan kayu.
“Saya langsung salat Magrib di tempat kaki saya terjepit itu, tapi saya sudah tidak tahu lagi di mana ibu. Tiga hari kemudian jenazah ibu akhirnya ketemu di bawah runtuhan rumah tidak jauh dari masjid,” kenang Bahtiar
Jumat malam itu, Bahtiar, Alif, juga seluruh jemaah masjid percaya kalau Allah sedang tunjukkan kuasanya, melindungi rumah-Nya walau tsunami menerjang hebat pesisir Pantoloan. “Sudah saya tidak tahu lagi apa yang membuat air terbelah. Kenapa masjid ini bisa utuh sementara di sekeliling rumah padat itu semua hancur. Kuasa Allah sudah,” tutur Alif.
Seluruh jemaah salat Magrib Masjid Jamik Pantoloan selamat dari bencana besar itu, termasuk Ustaz Upik, imam tetap Masjid Jamik Pantoloan. Alif bahkan bercerita, kala kejadian tsunami itu, Ustaz Upik satu-satunya yang masih berada di dalam masjid, menunggu dan bertahan tanpa pernah terseret tsunami.
“Ustaz Upik itulah yang diam di masjid sini. Dia menyaksikan tsunami hingga surut kembali. Tapi Ustaz Upik sekarang ada di tenda pengungsian daerah Palu Utara bersama keluarganya,” tutup Alif.[] Shulhan Syamsur Rijal
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating