Segeram di Balik Pesona Alam Natuna

Segeram di Balik Pesona Alam Natuna

Read Time:2 Minute, 23 Second

Segeram di Balik Pesona Alam Natuna
Menawarkan pesona alam yang menawan. Natuna, menyimpan kisah kampung tertinggal.

Pesona laut identik dengan keindahan alam Natuna. Tampak alami dengan pasir putih yang menghampar, belum terjamah sebagai wisata populer masyarakat. Batu besar yang menjulang menjadi ciri khas tepi pantai Natuna.

Dari Jakarta, perjalanan menuju wilayah yang berbatasan langsung dengan Thailand ini dapat ditempuh dengan jalur udara  menuju Bandar Udara Hang Nadim, Batam. Tak ada transportasi langsung menuju Natuna dari ibu kota, perlu melanjutkan dengan pesawat perintis ke Bandara Raden Sadjad, Ranai.  Bandara itu  juga dijadikan pangkalan TNI Angkatan Udara.

Atmosfer berbeda dari ibu kota amat terasa sejak langkah pertama turun dari pesawat. Terik matahari terasa, tapi semilir angin tepi laut mebiaskan panas. Ranai, Ibu Kota Natuna menjadi tujuan kami, mahasiswa Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Riset Aksi tahun 2018 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Debur air laut di pantai dan sapuan pasir putih tidak menjadi tujuan.

Masih tiga jam perjalanan harus ditempuh lewat jalur darat. Menyusuri jalanan naik-turun dan berkelok. Tak jarang mobil pun harus terhenti karena medan yang berlumpur.  Guyuran hujan membuat air menggenangi badan jalan yang berlubang. Rimbunnya pepohonan menjadi penghias sepanjang perjalanan. Tujuan kami ialah Kampung Segeram, Kelurahan Sedanau, Bunguran Barat, Natuna.

Perjalanan belum usai. Perahu yang masyarakat lokal sebut dengan pompong telah menunggu di bibir sungai Segeram. Butuh waktu satu jam untuk menyusuri hitamnya air sungai untuk mencapai tujuan. Pepohonan yang mengapit kedua sisi sungai masih lebat. Tanaman bakau tumbuh liar. Tak mustahil jika buaya muara bersarang di sana.

Pelan laju pompong akhirnya membawa kami sampai di dermaga Kampung Segeram. Terlihat dua buah rumah berdiri di pinggiran sungai. Sepi-senyap, tak ada keramaian. Bak kampung di tengah belantara hutan, masyarakat Segeram hidup tanpa aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara. Guna mengatasi permasalahan itu, terik matahari dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber listrik tenaga surya. Tak besar daya yang dihasilkan, tapi paling tidak dapat menyalakan lampu untuk menerangi kampung dari gelapnya malam. Bukan saja akses jalan, akses informasi pun tak kalah sulit karena tiadanya sinyal telepon.

Tak banyak penghuni yang tinggal di sini. Penduduk asli Segeram memilih bermigrasi ke desa lain untuk mendapat penghidupan dan pendidikan yang lebih layak. Di Segeram, hanya ada satu sekolah dasar, SDN 010 Sedanau. Dengan guru dan fasilitas yang terbatas, 14 orang muridnya harus tetap belajar. Namun kini, Sekolah Menengah Pertama 01 sedang dirintis yang bertempat seatap dengan SD.

Jumlah penduduk di Segeram tercatat hanya 27 kepala keluarga saja. Itu pun dengan jarak antar rumah yang jauh, terpisah hutan dan kebun warga. Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga Segeram mengandalkan hasil kebun dan pasokan dari Sedanau. Itupun, harus berpindah pulau, menyeberangi lautan selama satu jam menggunakan Pompong.

Kental dengan budaya melayu, masyarakat Segeram penuh keramahan. Sambutan hangat diberikan warga ketika ada orang dari luar kampung datang. Tak hanya adat melayu yang masih terjaga, konon Natuna juga dipercaya masyarakat sekitar sebagai tempat nenek moyang memulai kehidupan.
Atik Zuliati

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Rohingya di Myanmar Tak Lagi Sulit Dapatkan Air Bersih Previous post Rohingya di Myanmar Tak Lagi Sulit Dapatkan Air Bersih
Perhelatan di Ajang Demokrasi Mahasiswa Next post Perhelatan di Ajang Demokrasi Mahasiswa