Read Time:2 Minute, 35 Second
Oleh: Fauzan Nur Ilahi*
Nama kegiatan kampus yang tak berguna dan merugikan itu adalah PBAK. Iya, PBAK.
Kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kampus atau yang lebih akrab dengan akronim PBAK ini, sejatinya adalah suatu kegiatan yang diadakan, sesuai dengan namanya, atas dasar pemikiran untuk memperkenalkan serba-serbi dunia akademik dan kampus kepada para mahasiswa baru. Kegiatan ini biasa dilaksanakan saban tahun sekali di berbagai sekolah dan kampus-kampus Indonesia. Tidak terkecuali di kampus tercinta ini, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tetapi dalam penerapannya, kegiatan tahunan ini sepertinya masih jauh panggang dari api. Terjadi semacam pergeseran orientasi dari yang semula diadakan sebagai ajang pengenalan seluk beluk kampus, menjadi ajang pembodohan dan pemangkasan akal sehat kepada para mahasiswa baru (selanjutnya akan disebut “Maba”) oleh para panitia pelaksana. Oleh sebab itu, untuk membahas fenomena inilah tulisan ini kemudian lahir. Penulis menilai, regulasi PBAK yang kian tahun bukannya kian membaik malah semakin tidak jelas ini, tidak bisa kita biarkan begitu saja. Dalilnya sederhana: Kegiatan apapun yang terindikasi memangkas kebebasan dan akal sehat kita, sudah seharusnya kita lawan.
Memaksa Pikiran Seragam (Militeristik)
Kita mungkin sudah sama-sama tahu bahwa salah satu fungsi perguruan tinggi, universitas, atau kampus yaitu untuk memaksimalkan potensi akal dari para mahasiswanya. Jika kita menggunakan parameter psikologi, maka kita akan paham bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kemampuan dan potensi yang beragam. Begitu pun dengan pikiran-pikiran yang mereka miliki.
Tetapi regulasi dalam kegiatan PBAK sepertinya tidak peduli terhadap premis ini. Buktinya sederhana. Dalam prakteknya, banyak aturan yang terdapat dalam PBAK mengharuskan para mahasiswa untuk seragam dalam segala hal. Dimulai dari hal sederhana seperti warna pakaian atau atribut, jargon atau slogan, barang-barang yang tidak jelas fungsinya apa, hingga akhirnya mencakup hal yang substansial: pemikiran pun dipaksa untuk seragam.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam penerapan PBAK sangat kental dengan aroma milteristik. Keberagaman seringkali diberangus oleh para pelaksana itu sendiri. Alasan para panitia atau yang akrab disapa “senior” ini pun begitu klise. Dengan dalih melatih mental dan juga fisik, mereka menganggap sah memberi hukum yang aneh-aneh apabila para maba tidak mengikuti instruksi atau komando yang diberikan. Jika demikian, bagaimana pikiran-pikiran yang kreatif dari para mahasiswa mau muncul, jika di tahap awal perkuliahan saja mereka dipaksa untuk sama dalam semua hal. Aneh, bukan?
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, tepatnya di Universitas of New Mexico, alih-alih mahasiswa mendapat aturan-aturan di luar nalar seperti di atas, justru mereka mendapat pelajaran berharga semisal ilmu keuangan, konsultasi, atau kasus pelecehan seksual, selain tur mengelilingi kampus. Dalam waktu beberapa hari, maba di sana mempelajari tema-tema positif tadi dan saling berinteraksi dengan kawan-kawan mereka (lih: santafenewmexican.com). Pun di kampus Hamsphire College, Amerika Serikat. Para maba justru diajak duduk melingkar di taman kampus guna berdiskusi dan membahas isu-isu penting yang tengah terjadi. Dengan pola kegiatan yang seperti ini, maba tentu lebih terlihat sebagai manusia yang dihargai keberagaman potensi akalnya dan bukan dianggap bagai binatang peliharaan yang siap ditarik ke sana dan ke mari.
*Penulis adalah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam, Prodi Studi Agama-Agama Semester 7 dan Pegiat Kajian di Indonesian Culture Academy
Average Rating