Read Time:3 Minute, 19 Second
Menjadi salah satu kampus Islam di Indonesia, UIN Jakarta tak luput dari kata ‘radikal’. Atas stereotip yang muncul, UIN Jakarta menyanggah pandangan tersebut dan mengupayakan tindakan preventif.
Akhir-akhir ini ramai cetusan Menteri Sosial Juliari Batubara yang menyebut kemiskinan merupakan akar dari radikalisme. Nyatanya, isu radikalisme tak hanya berada di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Dilansir dari CNN Indonesia—menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj—radikalisme telah terpapar di universitas seluruh Indonesia.
Hal tersebut senada dengan riset Potensi Radikalisme di Perguruan Tinggi oleh Alvara Research Center pada 2017 silam. Dari 1800 mahasiswa yang menjadi sampel, 25 perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 23,4% responden manyatakan siap berjihad untuk menegakkan Negara Islam atau Khilafah. Di samping itu, sebanyak 17,8% responden menyatakan Khilafah akan menjadi bentuk pemerintahan yang lebih baik dibanding Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penelitian lain dari Setara Institute menyebutkan, perguruan tinggi menjadi ranah konteks umum perihal intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme kekerasan. Setara Institute pun mengkaji mengenai Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa, di mana Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi lingkup penelitian dan fokus pada ancaman terhadap Pancasila.
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi salah satu dari sepuluh PTN objek penelitian tersebut. Terdapat tiga narasi yang berkembang—menjalankan amalan Alquran dan hadis merupakan satu-satunya cara mencapai keselamatan, bersatu melawan penindasan Islam oleh kafir atau musuh-musuh Islam, dan menekankan bahwa Barat menaklukan Islam atas pemikiran dan kebudayaan. Dari situ, terbentuk sebuah komunitas yang mencurigai, memusuhi, dan menutup diri dari kalangan lain.
Atas stereotip masyarakat yang sering kali menganggap UIN Jakarta sebagai kampus yang terpapar radikalisme, Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis memilih menanggapinya dengan hati-hati. Menurutnya, penelitian-penelitian dari pihak tertentulah yang menyebabkan stereotip masyarakat terhadap radikalisme UIN Jakarta berkembang. Padahal, tidak serta merta semua penelitian dapat dipercaya kebenarannya.
Amany juga mengatakan, sebuah penelitian dapat menggiring orang pada pemahaman tertentu. Ada pun intoleran dan konservatif sebenarnya tidak berbahaya. Karena hasil riset yang menunjukkan angka-angka dan presentase secara gamblang, akhirnya muncul tuduhan radikalisme. “Kementerian Agama juga sudah mengatakan bahwa radikalisme itu tidak masalah, yang masalah adalah esktremisme,” ujarnya, Kamis (28/11).
Lebih lanjut perlu dipahami bahwa lembaga pendidikan adalah ajang untuk membahas semua wacana. Amany mengimbau untuk membaca, membahas, serta mendiskusikan segala aliran pemikiran di era keterbukaan ini. “Dugaan saya, kajian-kajian mahasiswa masih dalam taraf wajar, belum ada yang dituduhkan radikal,” pungkas rektor yang belum genap menjabat satu tahun tersebut.
Selaras dengan Amany, isu radikalisme tidak terlalu mengkhawatirkan bagi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Masri Mansoer. Walau generasi muda memang rentan—menurut Masri—tidak ada dari Mahasiswa UIN Jakarta yang anti NKRI atau pun menggunakan kekerasan yang inkonstitusional. “Stereotip yang ada terlalu berlebihan,” anggap Masri, Rabu (20/11).
PBAK Plus Upaya Preventif
UIN Jakarta yang terletak di ibu kota membuka kemungkinan paham-paham radikalisme berkembang di dalamnya. Maka dari itu, dibuatlah program preventif untuk memperkenalkan literasi beragama yang benar. Dengan memperkenalkan Islam yang moderat kepada mahasiswa baru, Masri berharap agar mereka tidak terkontaminasi dengan segala pandangan sempit dan bersifat satu arah.
Menurut Direktur Center for the Study of Religion and Culture Idris Hemay, kampus menjadi target kelompok-kelompok radikal untuk menginfiltrasi ideologi mereka. Kampus perlu membangun benteng agar tak terpengaruh paham radikalisme. “Termasuk kritisisme, kontra narasi ekstremisme, dan pemahaman keagamaan yang moderat,” ungkap Idris, Rabu (20/11).
Upaya tersebut direalisasikan dalam Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) Plus. Maba Bahasa dan Sastra Inggris Syafina mengatakan, PBAK Plus yang diadakan di fakultasnya cukup efektif dalam mencegah radikalisme. “Sangat tepat untuk tindakan preventif dan edukasi bagi maba,” tutup perempuan yang akrab dipanggil Ina tersebut, Sabtu (7/12).
Terkait stereotip UIN Jakarta terkait radikalismenya, Syafina mengaku sering mendengar hal tersebut. Menurutnya, UIN Jakarta merupakan PTN yang berlabel Islam dengan lokasi yang strategis, sehingga mudah untuk disebarkan paham radikal. Hal tersebut berbeda dengan pendapat Maba Hukum Keluarga Huda Almadani yang belum pernah mendengar jika UIN Jakarta terpapar radikalisme. “Saya tidak setuju akan hal tersebut,” pungkasnya, Minggu, (1/12).
M. Silvansyah Syahdi M, Nur Fadillah, &Nuraini
Average Rating