Read Time:4 Minute, 3 Second
Situs Batujaya menjadi bukti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Walau tak semewah Borobudur, Candi Jiwa dan Blandongan menjadi objek sejarah yang cukup berkesan.
Ketika mendengar kata ‘candi’, banyak orang akan menggambarkan batu-batu yang bertumpuk menjadi suatu bangunan besar. Nyatanya, sebuah candi tidak harus seukuran layaknya Borobudur dan Prambanan serta berbahan dasar batu. Walau tak banyak terdengar tentang peninggalan candinya, Jawa Barat memiliki suatu situs sejarah yang cukup unik.
Situs Batujaya namanya, berlokasi di Kabupaten Karawang. Menurut informasi yang Institut dapat dari salah seorang pengelola Situs Batujaya—Sunarto, sampai saat ini, telah ditemukan 62 titik sebaran candi di situs tersebut. Terdapat dua candi yang menjadi perhatian utama. Mereka adalah Candi Segaran I dan Candi Segaran V—tumpukan bata yang berdiri di tengah bentangan sawah luas di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya.
Candi Segaran I pertama kali diekskavasi oleh Tim Arkeolog Fakultas Sastra (saat ini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia pada 1985. Pada 1992, Candi Segaran V pun dieksvakasi oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Selanjutnya, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (saat ini Balai Pelestarian Cagar Budaya) memugar hasil temuan eksvakasi. “Pemugaran dimulai tahun 1996 untuk Segaran I dan tahun 2000 untuk segaran V,” ujar Sunarto, Minggu (10/11).
Candi-candi tersebut juga memiliki nama lokal yang diberikan oleh masyarakat sekitar, Jiwa dan Blandongan. Keduanya masih pada tahap pemugaran. Seperti halnya Candi Jiwa, tampak beberapa bata dibongkar dan diberi nomor. Bata-bata tersebut kemudian akan disusun kembali semula urutan aslinya. Beberapa gundukan candi yang masih terkubur pun bisa dilihat di area Candi Blandongan.
Berdasarkan informasi yang tertera, Candi Jiwa berukuran seluas 324 meter persegi dengan tinggi kaki dan badan candi sekitar 3,5 meter. Candi ini tidak memiliki tangga atau pintu untuk masuk ke dalamnya. Namun, ia memiliki jalan yang mengelilingi candi—biasa disebut patha atau pradaksina)—selebar 1,2 meter. Hal tersebut menjadi indikasi adanya ritual berjalan memutari bangunan searah jarum jam.
Dinding candi menggunakan pelipit rata—disebut ulttra—dan pelipit setengah lingkaran—disebut kumuda. Tersusun bata bergelombang bak bunga teratai pada bagian atas badan candi. Di tengahnya, terdapat bangunan yang merupakan susunan bata melingkar—disebut rolak—dengan panjang 10 meter. Bentuk rolak tersebut menjadi dasar kemungkinan bahwa bagian puncak candi yang sudah rubuh berbentuk stupa.
Candi Blandongan lebih besar adanya, berukuran seluas 625 meter persegi dengan tinggi sekitar 4,3 meter. Candi Blandongan memiliki tangga atau pintu masuk dengan langkan pada setiap sisi candi. Gayanya tak sama, mengindikasikan tangga-tangga tersebut tidak dibangun dalam satu masa. Relief badan candi juga memiliki ulttra dan kumuda, lengkap dengan pelipit bergerigi. Di bagian tengah, terdapat sebuah bangunan seluas 100 meter persegi dalam kondisi tidak utuh.
Jauh mundur ke masa lalu—menurut seorang ahli arkeologi Hasan Djafar, Candi Jiwa dan Candi Blandongan merupakan candi tertua di Pulau Jawa, bahkan se-Nusantara. Percandian Batujaya diperkirakan berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara pada sekitar abad V hingga VI masehi. Pembangunan kembali dilakukan pada abad VII hingga IX, kemudian ditinggalkan karena banjir yang tidak bisa ditanggulangi.
Walau bercorak agama Buddha, Candi Jiwa dan Candi Blandongan tak persis sesuai dengan Tripitaka. Di negara asal agama Buddha—India, sisi-sisi candi dibangun searah empat mata angin utama. Candi pun tidak dibangun di tempat pemakaman karena dianggap tidak suci dengan adanya bangkai manusia.
Sedangkan Candi Jiwa dan Candi Blandongan, sisi-sisinya menghadap diagonal mata angin utama. Arah tersebut sesuai dengan hadap kubur nenek moyang mereka—barat daya-timur laut. Di beberapa titik candi, ditemukan pula kerangka manusia protosejarah. Hasan Djafar mengatakan, perbedaan tersebut menunjukkan kekuatan genius lokal yang sangat tinggi. “Menerima unsur luar, tetapi juga menyesuaikan prinsip religi nenek moyang mereka,” pungkas Hasan, Minggu (10/11).
Meskipun pemugaran belum kunjung rampung, banyak pengunjung yang kerap kali mendatangi Percandian Batujaya. Seperti halnya warga dari Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten Karawang. Bella Amelia bersama ketiga temannya mengunjungi Situs Batujaya untuk sekadar berwisata. “Sudah tiga kali ke sini, pertama kali tahu juga dari warga sekitar Karawang,” ungkap Bella, Minggu (10/11).
Tak hanya fungsi rekreasi yang dimiliki, Situs Batujaya juga menjadi objek tujuan pendidikan oleh sekolah dan universitas. Pada Minggu (11/10), rombongan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Jatisari, Kecamatan Cikampek mengunjungi Situs Batujaya untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Sejarah Indonesia. “Ngga menyangka ada candi di tengah-tengah sawah,” kata salah satu siswinya, Nita Rahmawati.
Selain rombongan Siswa SMKN 1 Jatisari, rombongan Mahasiswa Pendidikan Sejarah Univeristas Indraprasta (Unindra) juga turun langsung ke lapangan untuk belajar. Mereka dibimbing langsung oleh Hasan Djafar—seorang Dosen Unindra sekaligus arkeolog yang turut berperan dalam penemuan Situs Batujaya. “Dalam rangka pembelajaran Mata Kuliah Arkeologi,” ujar Thajudi, salah satu Mahasiswa Pendidikan Sejarah Unindra.
Berada di utara Kabupaten Karawang, tak ada kendaraan umum yang dapat menjangkau Situs Percandian Batujaya. Perjalanan dari Jakarta membutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga jam menggunakan mobil. Terdapat beberapa alternatif jalan yang dapat ditempuh. Pengunjung dapat melewati jalur non-tol Kabupaten Bekasi sampai ke Karawang, ataupun melewati Tol Bekasi Timur hingga Tol Karawang Barat.
M. Silvansyah Syahdi M.
Average Rating