Meninjau Kembali Pusaran Radikalisme

Meninjau Kembali Pusaran Radikalisme

Read Time:3 Minute, 4 Second
Meninjau Kembali Pusaran Radikalisme

Secara luas istilah radikal mengacu pada pemahaman yang fundamental dan mengakar. Namun belakangan, radikal diidentikkan dengan agama oleh pemerintah padahal negara juga bisa berlaku radikal.
Sepanjang tahun 2019, isu radikalisme tak henti menjadi dilema oleh khalayak umum di Indonesia. Mulai dari media massa, politisi, akademisi hingga masyarakat biasa pun membahas perihal paham radikalisme. Lebih lanjut kata ‘radikalisme’ dalam kamus politik Indonesia kontemporer merupakan satu dari sekian istilah yang paling sering disalahpahami maupun disalahgunakan. Untuk itu, terminologi ‘radikalisme’ banyak yang mengalamatkan kepada pelaku kekerasan dan terorisme.
Selain itu, ketika dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).
Namun, belakangan frasa ‘radikalisme’ ingin diganti dengan istilah ‘manipulator agama’. Wacana ini pertama kali dikemukakan oleh Presiden Jokowi, seminggu setelah pelantikannya sebagai Presiden RI untuk periode kedua. Jokowi melempar wacana tersebut dalam rangka mencegah dan meluasnya paham radikalisme.
Dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heriyanto menilai sah-sah saja ketika diksi radikalisme diganti menjadi manipulator agama. Hal ini karena Jokowi melihat bahwa banyak masyarakat keliru terkait pemahaman interpretasi agama hingga kemudian menyebarkannya pun keliru. “Tidak ada masalah diganti dengan istilah manipulator agama.” tuturnya, Jumat (29/11).
Ketimbang menanggapi wacana diksi manipulator agama, ketua Jaringan Gusdurian Ciputat Muhammad Siswanto beranggapan pemerintah terlalu tergesa-gesa terhadap wacana tersebut. Seharusnya, pemerintah melakukan kajian yang mendalam untuk mengetahui makna radikalisme dan manipulator agama. Bagi Siswanto, makna radikalisme yang dipahami luas saat ini adalah suatu ideologi atau agama tentang adanya keinginan perubahan secara cepat. 
Sedangkan Aktivis Gema Pembebasn Komsat UIN Jakarta Muhammad Nicko Trisakti Pandawa melihat wacana tersebut lantaran pemerintah sadar bahwa kata radikal bukan dipakai untuk makna yang negatif. Namun dengan diganti istilah menjadi manipulator agama, Nicko menilai seharusnya pemerintah melihat terlebih dulu penempatan manipulator agama ditunjukkan kepada siapa. “Jangan-jangan pemerintah sendiri sebagai manipulator agama,” pungkasnya. 
Terkait pemahaman diksi radikalisme, Direktur Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Idris Hemay berpendapat bahwa radikalisme jangan hanya diidentikkan dengan agama. Namun secara konteks, saat ini agama diakomodir menjadi sistem politik. Dengan begitu, hal tersebut menjadi fenomena baru. Islam menjadi sistem politik yang dianggap oleh mereka itu perlu diperjuangkan. “Faktanya ada upaya kelompok tertentu untuk menjadikan khalifah ideologi yang dijalankan di era modern ini,” kata Idris, Rabu (20/11).
Menurutnya, pemerintah saat ini sangat serius mengatasi masalah radikalisme. Apalagi, menteri agama (Menag) yang baru ini tengah berusaha untuk meminimalisir radikalisme itu sendiri.
Di samping itu, konten radikalisme kerap beredar untuk menjelek-jelekkan pemerintah dan mengkafirkan orang lain. Peneliti Junior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Dirga Maulana dilansir dari laman ppim.uinjkt.ac.id, mengungkapkan banyak kasus di media sosial atau internet tersebut  muncul akibat pemahaman agama yang  literal terhadap teks-teks suci keagamaan. Apalagi paham radikalisme agama yang terjadi di ruang terbuka. Dan kini perhatian pemerintah untuk menangkal penyebaran tersebut.
Adapun menurut Idris, di pemerintahan sebelumnya misalkan dalam menangkal radikalisme yang menjadi fokus utama yakni di institusi pendidikan. Tapi, radikalisme ditangkal dengan narasi yang positif dan lebih damai dengan istilah moderasi agama. Istilah moderasi agama masih diterima oleh masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut upaya pemerintah dalam deradikalisasi juga dapat berujung kepada negara yang mengarah radikal. Hal ini diungkapkan oleh Heru Susetyo, Dosen Hukum Universitas Indonesia yang dikutip dari laman tirto.id bahwa radikal juga bisa dilakukan oleh negara. 
Dalam artikelnya Sudah Tepatkah Istilah Radikalisme, Heru beranggapan radikalisme tidak melulu berhubungan dengan agama. Terkait dengan negara yang melakukan aksi radikal, menurutnya bisa berupa pada tindakan-tindakan negara yang mengarah pada kekerasan negara yakni pemerintah mempekerjakan kelompok teroris ataupun pemerintah bertindak melawan warga negara.
Rizki Dewi Ayu & Hidayat Salam

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Situs Batujaya: Sisa Peninggalan Tarumanegara Previous post Situs Batujaya: Sisa Peninggalan Tarumanegara
Geliat Radikalisme di Media Sosial Next post Geliat Radikalisme di Media Sosial