Isu Radikalisme kembali mencuat di tengah publik. Terlepas dari stigma negatif yang mengarah kepada pemuda good looking, Menteri Agama hendak melakukan sertifikasi penceramah untuk menangkalnya.
Pernyataan good looking Menteri Agama Fachrul Razi menjadi sebuah polemik baru kala itu. Sehingga, terlampau patut ditingkatkan kewaspadaan terhadap orang berpenampilan baik sebagaimana topik yang Fachrul Razi bahas.
Dalam gagasan yang Fachrul Razi utarakan, good looking dan radikalisme memiliki keterkaitan. Seorang yang good lookingmemiliki penguasaan bahasa Arab serta hafiz Alquran mulai terjun kedalam lingkungan hingga mendapatkan simpati masyarakat agar memperluas paham radikal dengan berpenampilan baik.
Namun, stereotip good looking belum bisa dikatakan sebagai modus penyebaran radikalisme. Lantas, apa yang dimaksud terkait konteks good looking? Berikut hasil wawancara Reporter Institut Amrullah dengan anggota Dewan Penasihat (Advisory Board) Center for Study of Relegion and Culture Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Irfan Abu Bakar, Rabu (30/9).
Bagaimana tanggapan Anda mengenai pernyataan Fachrul Razi terkait radikalisme yang datang dari pemuda good looking dan fasih berbahasa Arab dan kasusnya?
Dalam riset-riset tentang radikalisasi di kalangan pemuda Muslim di Indonesia belum atau tidak ada variabel pemuda good looking sebagai modus dalam memengaruhi target, begitu pun dengan berbahasa Arab. Di beberapa kasus karakteristik para perekrut umumnya berpenampilan sopan, rajin ke masjid, ramah kepada tetangga dan tidak ada indikasi mencurigakan.
Sementara kasus lain, beberapa jihadis pria ada yang mengenakan celana cingkrang dan wanitanya ber-burqah. Selain itu, kalangan ideolog radikal umumnya mampu menyampaikan hadis-hadis serta ayat alquran dalam bahasa Arab dengan baik. Sebagian ada yang mahir bercakap, sebagian lagi biasa saja, dan sisanya tidak bisa sama sekali.
Akan tetapi, persoalan good looking terdengar baru di telinga sebagai daya tarik perekrutan paham radikal. Sedangkan, studi kasus di Jerman memang ada beberapa para rekruter Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menggunakan modus “memacari” remaja perempuan Jerman yang broken home sebagai taktik radikalisasi.
Apakah solusi yang diberikan Fachrul Razi (melibatkan pemerintah dalam kepengurusan masjid dan mengadakan sertifikasi penceramah) sesuai dengan misi Kementerian Agama yakni mewujudkan moderasi beragama?
Mewujudkan moderasi beragama dalam sikap dan perilaku keberagamaan masyarakat Muslim merupakan program yang memiliki tujuan dan dampak jangka panjang. Untuk menjalankannya perlu melibatkan banyak pihak, terutama organisasi massa seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi termasuk Dewan Masjid Indonesia beserta takmir masjid. Sementara itu, Kementerian Agama (Kemenag) dalam hal ini berperan menjadi fasilitator dalam menjalankan kegiatan dakwah Islam Washatiyyah.
Menurut saya Kemenag dapat memberikan otoritas kepada kampus-kampus karena sifatnya netral untuk ikut merumuskan dan menyeleksi juru dakwah mana yang layak diberikan sertifikasi. Dengan melibatkan stakeholder moderasi Islam di masyarakat dan kampus.
Apa saja dampak yang mungkin terjadi jika pernyataan Fachrul Razi tersebut diterapkan?
Pernyataan Fachrul Razi perihal good looking bisa berdampak produktif dan kontra produktif. Produktif, apabila dapat memantik suatu dialektika dan debat publik yang berujung mendorong penguatan moderasi beragama atau Islam Wasatiyah. Kontra produktif, yakni pernyataan Fachrul Razi tersebut hanya menimbulkan kesalahpahaman dan distorsi dalam opini publik. Dimana kasusnya berhenti pada klarifikasi Kemenag mengenai pernyataan tersebut tanpa ada upaya menjelaskan kembali hal yang lebih fundamental, yaitu debat mengenai stategi moderasi beragama di Indonesia.
Menurut Anda, hal-hal apa lagi yang dapat mewujudkan moderasi beragama?
Moderasi beragama dapat diukur dari sikap toleran kepada penganut agama lain. Perilaku tersebut dibuktikan dengan menurunnya aksi kekerasan atas nama agama kepada kelompok minoritas baik antar agama maupun inter agama. Aparat dan masyarakat harus bersikap tegas dengan kelompok ekstrimis, dan aparat menetapkan hukum seadil-adilnya jika kelompok tersebut membuat kerusakan antar agama dan anarkis, seperti penyerangan rumah ibadah agama lain. Indikator lain, kampanye Pemilu dengan memanfaatkan isu suku, ras dan agama oleh sekelompok politisi untuk mobilisasi politik, maka publik harus menunjukkan sikap ketidakpedulian terhadap kampanye seperti itu.
Amrullah
Average Rating