Oleh: Hany Fatihah Ahmad, Firda Rahma
Ketua Majelis Partai Masyumi Abdullah Hehamahua mendeklarasikan berdirinya kembali Partai Masyumi pada Sabtu (7/11), bertepatan dengan 75 tahun peringatan lahirnya partai tersebut. Pendeklarasian bertajuk “Masyumi Reborn” ini tentu menjadi pusat perhatian dunia perpolitikan Indonesia.
Partai Masyumi lahir pada 1943 sebagai organisasi Islam bentukan Jepang. Namun setelah Indonesia Merdeka—tepatnya pada 7 November 1945, Masyumi hadir sebagai partai politik yang memeriahkan kontestasi dinamika perpolitikan Indonesia. Tak berselang lama, Partai Masyumi berhasil menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Hal tersebut tak lepas dari sosok Muhammad Natsir yang dapat menarik benang merah nilai ke-Islaman dengan demokrasi.
Era kejayaan Partai Masyumi terlihat pada masa demokrasi liberal dengan banyaknya anggota partai yang menduduki parlemen atau menjabat sebagai perdana menteri. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, Partai Masyumi berhasil menjadi empat partai besar dengan hasil suara terbanyak. Hal ini bisa terjadi karena sebelum era reformasi, arah perpolitikan di Indonesia terkelompokan kedalam golongan nasionalis, agamis, dan komunis. Partai Masyumi pun dianggap merepresentasikan Islam dan memiliki pendukung yang banyak.
Setelah masa kejayaannya, Partai Masyumi pernah dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas tuduhan terlibat pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1960. Namun, Partai Masyumi sempat muncul kembali pada Pemilu 1999 dan gagal lolos dalam pemilu 2004.
Partai politik berideologi Islam di Indonesia setelah reformasi pada umumnya selalu memeroleh suara yang kecil dibanding partai-partai nasionalis lainnya. Dilansir dari cnnindonesia.com, pada Pemilu 1999, terdapat tujuh belas partai Islam dari 48 partai politik yang memperoleh 36 persen suara. Pada Pemilu 1999, Partai Masyumi meraih 456.718 suara dan Partai Masyumi Baru meraih 152.589 suara. Pada Pemilu 2004, terdapat tujuh partai Islam dengan total perolehan suara 38,33 persen. Kemudian pada pemilu tahun 2009, terdapat sembilan partai Islam dengan perolehan suara 29,16 persen.
Partai Masyumi harus siap menghadapi permasalahan yang tak sama dengan era saat mereka pertama kali berdiri. Kini 2020, Partai Masyumi hadir kembali di tengah-tengah maraknya gerakan populisme Islam, salah satunya gerakan 212. Keadaan masyarakat yang memiliki paradigma ajaran Islam yang berbeda-beda memicu terpecahbelahnya umat Islam. Golongan Islam di Indonesia belum bersatu, maka sasaran pemilih partai ini dapat dikatakan belum jelas. Tentu ke depannya, hanya beberapa golongan Islam saja yang akan menjadi pemilih Partai Masyumi.
Belum lagi, masyarakat golongan milenial yang dianggap memegang suara terbanyak pada pemilu tahun 2024 nanti tidak mengenal sejarah Masyumi di masa lampau. Kemunculan nama Masyumi menjadi asing layaknya partai yang baru memulai karirnya. Hal tersebut membuat langkah Masyumi semakin berat. Kemungkinan terburuknya, suara pemilih Masyumi hanya dari golongan-golongan yang beranggapan partai itu akan berjaya kembali—alias golongan-golongan nostalgia.
Masyumi perlu memperhatikan cara-cara yang diperlukan untuk mengambil suara masyarakat. Adalah keharusan memetakan potensi suara pendukung supaya partai ini dapat menerapkan cara-cara kampanye yang tepat. Contohnya jika ingin mengambil suara masyarakat golongan milenial, Masyumi harus memaksimalkan media teknologi atau memiliki tokoh muda yang terkenal di kalangan milenial.
Selain itu jika Masyumi tidak ingin bernasib sama seperti partai-partai Islam sebelumnya, mereka dapat menggeser fokus yang tak hanya eksklusif pada umat Islam, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Masyumi juga harus mampu menjelaskan kepada masyarakat terkait indikator-indikator yang jelas mengenai beberapa istilah Islam yang mereka gunakan. Tujuannya tidak lain adalah agar visi misi partai ini dapat dipahami dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Average Rating