e-KTP dan Lambat Laju Digitalisasi di Indonesia

e-KTP dan Lambat Laju Digitalisasi di Indonesia

Read Time:3 Minute, 19 Second

Oleh: Fayza Rasya*

Dunia semakin hari terus dihadapkan dengan digitalisasi yang tiada habisnya. Digitaliasi tersebut dipengaruhi oleh pekembangan ilmu pengetahuan oleh para peneliti dari berbagai belahan dunia. Tidak luput pula digitalisasi dalam bidang administrasi. Data kependudukan menjadi sorotan dalam setiap negara di dunia karena diperlukan regulasi khusus dalam pelaksanaannya.  Digitalisasi hadir sebagai jalan keluar untuk mempermudah administrasi di beberapa negara. Estonia menjadi negara dengan sistem identitas digital tercanggih di dunia.

Tampaknya Indonesia akan menyusul negara lain dalam urusan dokumen elektronik sebagai bentuk digitalisasi dan menggiatkan kampanye go green. Dimulai dari Februari 2011, saat Kementerian Dalam Negeri meluncurkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) di beberapa kota percobaan, diantaranya adalah Yogyakarta, Padang, Makassar, dan Denpasar. Diharapkan dengan adanya percobaan itu mampu dijadikan sebagai acuan kota lain untuk melancarkan proyek ini.

Diharapkan E-KTP bisa meminimalisir data penduduk yang ganda, palsu, dan banyak disalahgunakan serta kepraktisan informasi data seseorang. Masyarakat juga diimbau untuk segera merekam data E-KTP di kecamatan sekitar yang meliputi biodata, pas foto, tanda tangan, dan sidik jari yang akan dimasukkan ke dalam chip yang tertanam di dalamnya.  Hal in sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan.

Namun yang disayangkan, tujuan dari pengadaan E-KTP tersebut tidaklah sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Masih banyak instansi yang meminta fotokopi dari E-KTP dalam pengurusan berkas seperti Surat Izin Mengemudi (SIM) dan perbankan. Dengan adanya chip berisi rekam data seseorang yang tertanam dalamnya bisa dibaca menggunakan card reader, seharusnya dalam pengurusan berkas dokumen lain tidak diperlukan lagi fotokopi E-KTP. Terutama dalam instansi pemerintahan, berdalih sebagai bukti fisik untuk arsipan. Ujung-ujungnya juga menjadi kertas gorengan, sekalipun dokumen itu yang bersifat rahasia negara.

Dilansir dari tirto.id, Malaysia, yang menamakan kartu identitas penduduknya dengan MyKad, bisa digunakan multifungsi sebagai surat izin mengemudi, imigrasi, dompet elektronik, kartu transportasi, perbankan, dan informasi kesehatan. Sejak 2005. Jadi, tidak perlu lagi membawa banyak kartu. Cukup dengan satu kartu, semuanya tercangkup. Resident Identity Card (RIC) yang dimiliki oleh warga Tiongkok diwacanakan akan digantikan dengan aplikasi pesan terpopuler di sana, WeChat, yang tidak akan berlaku bagi imigran atau pendatang.  

Sebaiknya Indonesia dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam satu kartu itu mempunyai banyak fungsi. Jikalau tidak bisa karena anggaran dalam proyek E-KTP ini sudah dikorupsi oleh Setya Novanto, sehingga terjadi banyak kendala dalam pelaksanaannya. Masih menjadi pertanyaan, mengapa dalam pengurusan dokumen lain seperti SIM, perbankan, perpajakan, dan lainnya masih harus menggunakan fotokopi dari E-KTP? Lalu, apa gunanya embel “E” dalam KTP itu? Apakah Indonesia masih sulit lepas dengan kebiasaan itu?

Tidak hanya itu, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) masih kental dengan arsipan berbentuk berkas fisik. Sebuah akun Twitter, @rezaprabowo, menuliskan cuitan “6 tahun di Singapore, sekali-kalinya harus fotokopi dokumen dan kartu identitas itu kalo pas di KBRI.” Mobile Digital ID, kartu identitas milik Singapura dinilai lebih praktis karena data diri dimasukkan dalam kartu SIM telepon genggam dan tidak perlu repot mengganti model yang lama, National Registrasion Identity Card (NRIC) dengan kartu baru yang ditambah chip.

Sebenarnya, apa yang salah dari regulasi penerapan dokumen elektronik di Indonesia? Dilansir dari liputan6.com, Direktur Jenderal Penduduk dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrullah, menganggap bahwasanya lembaga atau instasi yang masih meminta fotokopi E-KTP itu belum bekerja sama dengan Ditjen Dukcapil. “Contohnya saja BPJS Kesehatan, BRI, BCA, Bank Mandiri, BNI, dan Dukcapil Pasar Minggu sudah menggunakan E-KTP dengan cara di-tap dengan card reader,” imbuhnya dalam keterangan tulis, Kamis (4/3).

Lalu, langkah apa yang harus dilakukan Kemendagri setelah mengetahui faktanya? Apakah harus mengimbau kepada para instansi untuk bekerja sama dalam administrasinya? Atau dengan kesadaran diri dari instansi yang berkaitan untuk mengajukan diri dalam sisi keefektifan dan upaya go green? Apakah harus ditegur dulu oleh generasi milenial yang sudah melek dengan digitalisasi dan muak dengan pengurusan berkas luring? Semuanya bisa berjalan sesuai harapan jika semua pihak menjalankan porsinya masing-masing dengan penuh tanggung jawab.

*penulis merupakan Mahasiswi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Semester 2 

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Menilik Setapak Food Estate Previous post Menilik Setapak Food Estate
Antara Etika dan Tekanan Batin Next post Antara Etika dan Tekanan Batin