Kuasa Oligarki dan Aktivisme Kelas Menengah

Kuasa Oligarki dan Aktivisme Kelas Menengah

Read Time:4 Minute, 32 Second

 

Kuasa Oligarki dan Aktivisme Kelas Menengah

Oleh: Syifa Nur Layla*


Pada 24 September 2019 silam, lautan manusia menggerogoti jalanan Senayan menuju gedung bak batok kura-kura yang terbelah itu, mulai pagi hari. Latar belakang mereka beragam, ada yang dari mahasiswa hingga koalisi masyarakat sipil. Mereka melakukannya dengan tujuan: menyampaikan ketidaksetujuan soal revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sejumlah UU lainnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Atribut bertuliskan “Reformasi di Korupsi” dan “Mosi Tidak Percaya” yang digandeng oleh sejumlah pedemo, kemudian meramaikan pandangan mata di pelbagai sudut jalanan Senayan hingga jagat maya.

Sesampainya di depan gerbang Gedung DPR, dengan kobaran api semangat para orator mulai naik ke atap mobil komando guna berorasi. Dengan gerbang setinggi tiga meter yang tertutup rapat dan dijaga ketat oleh aparat, seluruh pedemo berharap mereka yang disebut-sebut wakil rakyat itu dapat menemui 58 moderamen mahasiswa dari pelbagai almamater untuk audiensi. 

Namun hingga petang, hal tersebut nampaknya sia-sia. Sejumlah pedemo yang mulai gerah dengan penantian tak berujung itu, sontak naik ke gerbang dan ingin merobohkannya agar menerobos masuk.

Alhasil, aksi demo akbar yang semula berjalan mulus tetiba ricuh pada petang hingga malam hari. Suasana kian mencekam, tatkala para aparat mulai bertindak semana-mena: memukul dengan tongkat hingga menembakkan gas air mata. Para pedemo pun berlarian kocar-kacir entah berantah guna menyelamatkan diri. Di antara mereka ada yang bernasib malang. Mulai dari jatuh pingsan sampai ada yang bersimpah darah akibat tindak agresif aparat. Pada hari itulah menjadi pucuk rentetan dari aksi “Reformasi di Korupsi” sejak empat hari belakangan.

Nampaknya dari sekian ragam penolakan UU yang telah disampaikan, tidak sepenuhnya dipenuhi oleh DPR. Hal ini terbukti dengan mereka yang tetap bersikukuh mengetok palu untuk revisi UU KPK.

Sebelumnya, pada 19 September 2019, beberapa moderamen mahasiswa berhasil melakukan kesepakatan dengan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. Isi kesepakatan itu: Indra berjanji bakal menghelat pertemuan antara mahasiswa dengan dewan DPR sebelum tanggal 24 Desember. Nantinya, pertemuan tersebut akan menyoal sejumlah UU yang dinilai kontroversial lantaran tidak berpihak pada rakyat.  

***

Sekilas, para pedemo yang telah dinarasikan di atas merupakan bagian dari kelas menengah. Dalam literasi politik, kelas menengah dapat diartikan sebagai masyarakat yang turut andil dalam dinamika sosial politik. Dengan kata lain, mereka itulah yang kritis dan peka terhadap situasi genting di negaranya.

Sebenarnya diskursus ihwal kelas menengah di Indonesia sudah hadir usai peristiwa Reformasi 1998. Hal itu berangkat dari masyarakat yang sudah muak dengan keotoriteran kekuasaan Soeharto. Bagaimana tidak? Titahnya untuk menginjak-injak mulut pers hingga aktivis, membuat semua akar rumput menginginkan sebuah sistem politik baru: Reformasi. Hal ini senada dengan hasil penelitian dari Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wasisto Raharjo Jati pada 2017 lalu, bahwa kelas menengah di Tanah Air dapat berperan sebagai aktor demokrasi dalam arus politik.

Lebih lanjut, dalam penelitiannya yang bertajuk Memaknai Kelas Menengah sebagai Aktor Demokrasi Indonesia itu, Wasisto mengemukakan tiga premis soal karakteristik kelas menengah. Pertama, mereka itu responsif lantaran pergerakan mereka selalu menyesuaikan dengan situasi politik teranyar kala itu. Kedua, ada perasaan emosional yang dalam artian, mereka memiliki perasaan yang senasib. Terakhir, egaliter, yang berarti ada kedudukan yang seimbang dalam hal memperjuangkan aspirasi politik mereka.

Kendati Ibu Pertiwi tengah berada dalam usia Reformasi, bukan berarti semua masalah selesai dan kelas menengah hanya duduk terdiam. Hal ini terlihat pada periode kedua pemerintahan Jokowi ini: pelbagai kebijakan UU yang dianggap memanjakan para oligarki, memberikan gejala pergerakan yang responsif kepada kelas menengah. Selanjutnya, pelbagai elemen masyarakat menilai (dibaca: berperasaan senasib) jika kebijakan seperti revisi UU KPK misalnya, justru akan melempem Reformasi khususnya dalam pembantaian korupsi.

Penilaian tersebut lantas berimbas pada berkumpulnya kesatuan masyarakat dalam jumlah besar untuk melawan dan menyampaikan aspirasi mereka kepada pemegang kursi tampuk kekuasaan. Terbukti, 19-24 September 2019 menjadi peristiwa demo terbesar sejak 23 tahun Reformasi (dibaca: egaliter). Kira-kira seperti itulah analisis Saya soal kemunculan kelas menengah, jika melihat realitas di Indonesia dengan meminjam premis dari Wasisto.

***

Sadar atau tidak, aksi #Reformasi Dikorupsi memberikan sebuah sinyal kepada kita. Yakni aspirasi kelas menengah seolah-olah tidak begitu didengarkan oleh penguasa. Seperti penolakan revisi UU KPK, kemudian UU Cipta Kerja dan Omnibus Law yang turut mengiringi perjalanan akhir tiga tahun ini, tetap disahkan oleh pemerintahan Jokowi.

Kalau tak ada api, masakan ada asap. Kejadian di balik sinyal tersebut bukanlah tanpa sebab. Koran Tempo dalam salah satu rubrik yang bertajuk Menyusun Kekuatan Masyarakat Sipil mewartakan bila Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), menerbitkan buku refleksi dari para ilmuwan soal demokrasi kiwari di Indonesia. Dalam buku tersebut dituliskan, jika masyarakat sipil (dibaca: kelas menengah) belum begitu mampu menandingi kekuatan konsolidasi oligarki.

Jika membaca berita tersebut, rasanya kita perlu menyusun kembali taktik yang tepat untuk menundukkan oligarki. Menguatkan koordinasi sesama masyarakat, memperkaya literasi, dialektika dan diskusi soal isu-isu terkini barangkali bisa menjadi salah satu alternatif. Tak semata-mata turun ke jalan, menentang pemerintah dapat pula dilakukan lewat jagat maya. Bahkan yang teranyar dua pekan belakangan ini ialah menentang dengan mural.

Bukankah kita rindu dengan detik-detik Soeharto dulu disingkirkan? Belum terlambat bagi kita untuk kembali menampar penguasa dan oligarki yang tidak menuruti kemauan rakyat. Bagaimanapun juga, Indonesia adalah negara demokratis. Sehingga hakikat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat harus ditancapkan ke setiap sanubari penguasa (yang bisa jadi dikendalikan oleh oligarki) dalam merawat Ibu Pertiwi. Oleh karenanya, kelas menengah diharapkan dapat memberikan uluran tangan untuk demokrasi di Indonesia yang lebih progresif––menuju perbaikan.

* Penulis merupakan mahasiswi jurusan Pendidikan IPS Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta dan Staf Redaksi LPM Institut 2021/2022

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Merayakan Sastra di Era Digitalisasi Konten Previous post Merayakan Sastra di Era Digitalisasi Konten
Merawat Ingatan untuk Munir Next post Merawat Ingatan untuk Munir