Oleh: Firda Amalia Putri*
Permasalahan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) menjadi masalah yang menahun di Indonesia. Berbagai kejadian kekerasan antara sipir dengan napi terus mengulang. kebakaran dan overcrowded juga menjadi masalah yang belum terselesaikan. September lalu, Lapas Pemuda di Kota Tangerang terbakar dan menelan sebanyak 41 korban. Setelah peristiwa itu, pembahasan mengenai permasalahan lapas kembali hangat diperbincangkan, tapi lagi-lagi tidak ada solusi dari permasalahan ini.
Ketua Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat dalam acara Mata Najwa mengatakan bahwa setiap perdebatan masalah lapas, argumen dari pejabat terkait selalu tidak tahu, belum menemukan, dan tidak ada. Menurut Henry para pejabat tidak perlu defensif karena bukti lapangannya adalah nyata. Seharusnya yang dilakukan adalah menjelaskan apa solusinya dan mencari jalan keluarnya.
Belum lama kembali terjadi kekerasan dan penyiksaan sipir kepada warga binaan yang terbongkar di Lapas Narkotika kelas IIA Yogyakarta. Terbongkarnya praktek-praktek kekerasan dan penyiksaan ini mencuat setelah beberapa tahanan yang sudah selesai masa hukumannya membuat sebuah gerakan. Gerakan itu bertujuan untuk menyudahi praktek penyiksaan dengan cara melaporkan kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hingga Komnas HAM.
Warga binaan Lapas Kelas IIA Yogyakarta kerap mengalami penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum sipir. Sekujur tubuh para napi itu dipukuli dengan selang atau gesper, dipaksa memakan pepaya busuk yang dipenuhi ulat, hingga dipaksa meminum air urinnya sendiri. Beberapa warga binaan juga mengaku mendapatkan tindakan pelecehan seperti dipaksa masturbasi dengan timun yang diolesi sambal, bahkan ada juga yang dipaksa menelan muntahannya sendiri.
Menurut Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Lapas kelas IIA bukan sekedar pelanggaran SOP tetapi mungkin juga pelanggaran konvensi penyiksaan yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Bahkan kekerasan yang dilakukan sipir terhadap warga binaan itu dekat sekali dengan pelanggaran pidana. Namun Kepala Lapas berdalih bahwa tindakan bawahannya masih tergolong di bawah kategori kekerasan atau penyiksaan. Pernyataan Kalapas tersebut masih sangat ambigu, karena bisa saja para petugas sipir menafsirkan makna dari SOP tersebut secara sepihak.
Semrawut Permasalahan Lapas di Indonesia
Kelebihan kapasitas atau overcrowded yang terjadi di berbagai lapas di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, kapasitas lapas di seluruh Indonesia hanya berkisar 125 ribu jiwa, tapi kenyataannya penghuni lapas di Indonesia mencapai 249 ribu napi, atau kelebihan kapasitas sebesar 99 persen. Kelebihan kapasitas itu sering menyebabkan kasus tahanan/narapidana kabur akibat kurangnya pengawasan. Overcrowded dapat menyebabkan kurangnya pemenuhan hak para warga binaan, sipir yang bekerja tidak profesional, aktivitas jual beli narkoba di dalam lapas dan segudang permasalahan lainnya.
Mengutip dari laporan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Overcrowded pada Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia: Dampak dan Solusinya, penanganan overcrowded harus ditujukan pada semua subsistem yang ada dalam Sistem Peradilan Pidana terpadu. Diperlukan perbaikan ketentuan ancaman pidana, khususnya bagi tindak pidana ringan agar tidak lagi diancam oleh pidana penjara dan diproses menggunakan hukum acara biasa. Hal ini dapat dilakukan melalui pembahasan RUU KUHP yang saat ini sedang dibahas antara DPR dan Pemerintah Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga sudah mengeluarkan grand designpenanggulangan overcrowded ke Rutan dan Lapas melalui Permen Hukum dan HAM Nomor 11 Tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. Sudah semestinya Permenkumham ini tidak hanya dijadikan peraturan semata tanpa adanya realisasi yang nyata.
Selain masalah kelebihan kapasitas, pelayanan lapas di Indonesia juga masih di bawah standar. Warga binaan hanya diberi jatah makan senilai Rp20 ribu setiap harinya. Sementara untuk tanggungan kesehatan, setiap napi hanya diberi jatah senilai Rp1000/hari. Berbeda dengan negara tetangga, Australia, mereka menempatkan lapas di posisi ketiga dalam hal prioritas anggaran setelah sektor kesehatan dan pendidikan.
Perbandingan jumlah sipir dengan warga binaan juga sangat jauh dan tidak berimbang. Di Indonesia, satu orang sipir bisa mengawasi hingga 60 warga binaan. Adalah sangat wajar jika pembinaan para napi tidak berjalan maksimal mengingat terlalu timpangnya jumlah sipir dengan warga binaan.
Sesuai dengan namanya fungsi Lapas bukan hanya menghukum tapi juga membina. Masalahnya, bagaimana mereka bisa dibina jika satu ruangan yang seharusnya diisi 17 orang saja, malah diisi 65 orang? Bagaimana mereka bisa dibina, jika tidur saja masih berdiri, bergantian satu jam sekali, supaya yang lainnya bisa tidur meskipun dalam keadaan berdiri?
Pada dasarnya telah terdapat instrumen internasional yang mengatur aturan minimum standar untuk perawatan tahanan, yaitu Nelson Mandela Rules. Nelson Mandela Rules melarang perlakuan dan hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia bagi para tahanan yang berada dalam penjara. Para tahanan, meski kebebasan mereka dirampas, hak-hak mereka yang lain pun tetap harus dipenuhi oleh negara.
Masalah klasik lainnya yang sering terjadi di lapas di Indonesia adalah penggunaan, peredaran, bahkan pembuatan narkoba yang terjadi di Lapas. Lapas menjadi tempat paling nyaman untuk kegiatan jual beli narkoba. 90 persen bisnis narkoba melibatkan lapas, diakui langsung oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) periode 2018-2021, Heru Winarko. Lagi-lagi, fungsi lapas sebagai tempat bertaubat dan menyesali perbuatan kembali dipertanyakan.
Mengutip artikel Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kemenkumham, Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Bagian dari Penegakan Hukum,proses pembinaan warga tahanan sampai ia selesai menjalani hukuman, akan menjadi manusia yang lebih baik dan tidak akan mengulangi kesalahan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 1 ayat 2.
Untuk menangani permasalahan lapas, tidak bisa hanya diselesaikan di hilirnya saja. Masalah overcrowded, dan masalah-masalah lainnya, mustahil dapat diselesaikan jika hulunya tidak dibenahi. Apa itu yang di hulu? Yaitu visi perundang-undangan di Indonesia yang masih bernuansa penjara.
Apa Jalan Keluar dari Permasalahan Ini?
Paradigma visi undang-undang yang tidak lagi bertujuan memenjarakan bisa dijadikan salah satu jalan. Jika melihat dari kinerja pemerintah hingga saat ini, belum ada regulasi yang bisa membawa permasalahan ini lebih baik. Untuk itu, salah satu alternatif lainnya adalah dengan memprivatisasi lapas.
Permasalahan lapas tidak boleh dipandang sebelah mata, pemerintah harus berupaya semaksimal mungkin guna meningkatkan pembinaan dan pemberdayaan para tahanan. Memanusiakan manusia di dalam lapas adalah tugas negara dan pemerintah, jika negara sudah tidak mampu menjalankan fungsi dari lapas, yaitu membina dan memberdayakan para tahanannya, maka privatisasi bisa dijadikan opsi untuk keluar dari semrawut permasalahan ini.
Perlu dicatat, privatisasi lapas harus bertujuan bukan hanya tempat untuk mempertanggungjawabkan perbuatan dan hukuman, tetapi juga dijadikan tempat untuk mempersiapkan diri menjadi manusia yang lebih berdaya guna dan melatih diri untuk menjadi lebih baik lagi.
Para tahanan janganlah dianggap sampah masyarakat, mereka sudah direnggut hak kemerdekaannya dengan mendekam di jeruji besi. Sudah sepatutnya mereka mendapatkan pembinaan yang humanis dan mendidik. Hukum memang harus ditegakkan, yang bersalah dan menimbulkan kerugian dan bencana, pantas diadili. Tapi janganlah lupa, terdapat keadilan juga bagi para napi dan tahanan, yaitu keadilan untuk diperlakukan secara baik.
*Penulis merupakan mahasiswi jurusan Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta
Average Rating