Kamis, 9 Desember lalu, di bawah langit senja yang teduh, puluhan pegiat hak asasi manusia (HAM) melakukan Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Kompak dengan pakaian dan payung serba hitam, di sana, mereka konsisten berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. Di segala penjuru tempat aksi berlangsung, sejumlah polisi berseragam abu-abu dan hitam—Samapta Bhayangkara turut datang mengawasi. Kendati demikian, kehadiran polisi itu tak membuat mereka merasa gentar dan seperti sudah menjadi pemandangan yang biasa.
Seorang kakek bertubuh pendek dan bertopi hijau yang turut aksi, terlihat begitu berkoar-koar dihadapan para polisi. Amarah yang sudah terakumulasi itu, tak tahan lagi Ia bendung. Di usianya yang sudah senja, kakek itu tetap berdiri kokoh menyuarakan keadilan untuk anak tercintanya yang hilang tanpa kabar dan petunjuk alias penghilangan paksa. Ia tak menyangka, bila sang anak yang berpamitan untuk kuliah, menjadi detik pertemuannya yang terakhir. “Anak saya ke mana? Di mana kuburannya?,” protes kakek tersebut.
Meskipun berada di radius sekitar 6 kilometer dari gerbang Istana, para pegiat HAM sangat yakin, suatu saat nanti, suara rintihan mereka akan didengar oleh pihak pemerintah. Benang asa keyakinan itu, tak pernah putus sejak 15 tahun yang lalu.
***
Koordinator Aksi Kamisan, Jane mengatakan bila sepanjang tujuh tahun perjalanan pemerintahan Jokowi, masih nampak setengah hati untuk mengusut kasus pelanggaran HAM. Hal ini terbukti dengan baru satu kasus saja yang dalam tahap pembentukan tim penyidikan dari Kejaksaan Agung: Tragedi Paniai, 2014 lalu. “Harapannya tidak hanya kasus Paniai saja yang dikawal namun, kasus-kasus lainnya bisa bernasib baik seperti kasus paniai.” tutur Jane, Kamis (9/21).
Suciwati, istri dari mendiang Munir Said Thalib tampak hadir dalam aksi tersebut. Dalam aksinya, dia menuntut pemerintah Jokowi untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu dan masa kini melalui penegakan hukum secara yudisial. Pelbagai kasus itu rerata belum ada petunjuknya. “Bersihkan pemerintahan dari penjahat HAM serta kawal untuk membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Unit Kerja Peraturan untuk Penanganan Peristiwa HAM Berat (UKP-PPHB).” tutur Suciwati, Kamis (9/21).
Sumarsih, ibu dari mendiang Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan—mahasiswa yang tewas tertembak pada Tragedi Semanggi I, juga hadir ditengah kerumunan massa. Di usianya yang hampir 70 tahun, dirinya berpendirian teguh melanjutkan perjuangan sang anak yang terhenti ditengah jalan: mewujudkan agenda Reformasi ketiga. “Agenda itu bertujuan menegakkan supremasi hukum,” tuturnya, Jumat (10/12).
Sumarsih mengakui bila penegakkan supremasi hukum dan HAM tidaklah semulus yang dibayangkan. Menurutnya bila para petinggi negara dalam melaksanakan tugas dan kewajiban mengacu pada konstitusi, seharusnya para keluarga korban pelanggaran HAM berat tidak perlu menuntut penyelesaian. Kendati sudah ada konstitusinya, hingga kini, masih banyak kasus pelanggaran HAM yang mangkrak. “Sudah 21 tahun UU Pengadilan HAM telah disahkan tetapi berbagai penyelidikan Komnas HAM mangkrak di Kejaksaan Agung,” ucap Sumarsih.
Konstitusi yang dimaksud, termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 I ayat (5), yang berbunyi, “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”
FAL, AC
Average Rating