Hiruk-pikuk Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) sempat terdengar merdu di telinga mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kendati lini masa Pemilwa yang tersebar belum resmi ditetapkan, beberapa mahasiswa senior sempat melancarkan aksinya: meminta data Nomor Induk Mahasiswa (NIM) dan kata sandi Academic Information System (AIS).
Sejak dimulainya Pemilwa dengan sistem pemilihan elektronik atau e-voting pada 2020 lalu, gaya baru meminta data pribadi seolah-olah menahun. Bak menghalalkan seribu satu cara, para mahasiswa senior itu mau lakukan apa saja agar calon pasangan yang didambanya bisa menang di pemilihan.
Hal ini terbukti lewat postingan akun Instagram @lambeeeuin, Kamis, 20 Januari lalu. Postingan itu memperlihatkan tangkapan layar percakapan mahasiswa senior menghubungi salah satu mahasiswa juniornya lewat pesan. Si senior itu, meminta data NIM serta kata sandi AIS dengan dalih meminimalisir peretasan. Jika permasalahan peretasan itu terjadi, maka pihak senior tersebut bakal menyelesaikan permasalahan itu dengan cepat.
Salah satu sumber Institut di salah satu Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Tata Negara, Maya–nama samaran—membeberkan bila ulah mahasiswa senior itu terjadi di jurusannya. Pelaku berinisial A, ucap Maya, bertipu muslihat dengan menggaet beberapa mahasiswa junior yang dinilai bisa mempengaruhi teman-teman sekitarnya.
Pelaku A itu membidik mahasiswa baru dan mahasiswa yang tak aktif berorganisasi sebagai sasaran empuk. Hal ini lantaran para sasarannya itu dianggap lugu perihal politik kampus. “Mereka (para sasaran) untungnya cenderung abai terhadap pesan tersebut,” kata Maya, Kamis (3/2).
Menurut Maya, pesan yang diberikan pelaku A terdapat unsur pemaksaan. Dalam pesan tersebut tertera diksi “harus”. Tak tanggung-tanggung si pelaku juga mengirim pesan ke sasarannya berulang kali dan tiada henti. “Itu sudah cukup spam dan mengganggu,” tutur Maya dengan nada kesal.
Maya dan koleganya sebagai jajaran petinggi di HMPS Hukum Tata Negara, langsung sigap menindak pelaku. Kemudian pelaku A mengakui ulahnya dan meminta ampun. Si pelaku juga meminta ulahnya tidak perlu dibawa serius.
Pelaku, lanjut Maya, menyayangkan bila tanggapan layar percakapan dengan mahasiswa junior tersebar di jagat maya. Namun bagi Maya, itu merupakan hal lazim agar tidak kembali memakan korban. “Sebagai sanksi sosial bagi pelaku,” tuturnya.
Bagi Maya, meminta data pribadi mahasiswa UIN Jakarta tatkala sebelum Pemilwa menjadi perkara permainan politik kotor. Terlebih lagi menubruk asas demokrasi: Langsung, Umum, Bebas (Luber) dan Jujur, adil (Jurdil). “ Tindakan semacam itu secara sadar sudah merebut hak kebebasan dalam memilih pasangan calon,” kata Maya.
Pernah Terjadi
Berdasarkan penelusuran Institut, kasus mahasiswa senior yang meminta NIM dan kata sandi AIS ternyata bukan hal baru. Terbukti hal ini terjadi pada salah satu Mahasiswi Hukum Tata Negara, Dhea–bukan nama sebenarnya, pada 2020 silam.
Saat itu Dhea merupakan mahasiswi baru di UIN Jakarta. Nuansa kampus kala itu sedang hangat menjelang Pemilwa. Dirinya mendapat pesan WhatsApp yang berisi pengumpulan data pribadi akun AIS. Pesan itu menuliskan maksud pengumpulan itu: agar akun tidak diretas. “Ngumpulin email ke senior. Nanti senior yang isi akun Pemilwa,” jelas Dhea Senin (31/1). Namun mahasiswi angkatan 2020 ini menolak memberi data pribadinya.
Kisruh ihwal pemberian data pribadi tersebut menjadi ramai diperbincangkan oleh mahasiswa satu angkatan Dhea. Saking ramainya, kisruh itu menggema hingga ke kalangan dosen Hukum Tata Negara. Salah satu dosen pun memberi imbauan. “ Email dan kata sandi AIS banyak identitas pribadi. Jangan dikasih (ke sembarang orang),” ucap Dhea menirukan perkataan sang dosen.
Reporter: Febria Adha Larasati, Alfiarum Cahyani
Editor: Syifa Nur Layla
Average Rating