Oleh: Nurul Sayyidah Hapidoh*
Dilansir dari kompas.com, Selasa (15/2) balita berusia empat tahun beberapa kali menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh mantan ayah tirinya sejak Oktober 2021 di Koja, Cilincing, Jakarta Utara. Hal ini diketahui oleh kerabat korban setelah menemukan keganjilan dan membujuk korban untuk bercerita, ia mengaku ayah tirinya sering bertindak tidak senonoh.
Berdasarkan hasil visum, teridentifikasi bahwa pemerkosaan itu sudah lama terjadi. Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) beserta keluarga tengah melakukan pemulihan terhadap korban, khususnya terkait psikologisnya.
Indonesia mempunyai catatan hitam terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Berdasarkan laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak terbanyak adalah kekerasan seksual.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendata jumlah kasus kekerasan seksual pada anak mencapai 859 kasus selama 2021. Aduan tertinggi kasus kejahatan seksual terhadap anak berasal dari jenis anak sebagai korban pencabulan sebanyak 536 kasus (62%) dan anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan 285 kasus (33%).
Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual. Hal ini disebabkan anak diposisikan sebagai sosok yang lemah atau tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Siapa pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Secara umum kekerasan seksual dilakukan oleh orang dewasa yang memiliki pengetahuan lebih dari anak dan memanfaatkannya untuk kesenangan seksual.
Pedofil atau orang yang memiliki kelainan seksual melibatkan anak-anak untuk mencapai gairah dan kepuasan seksual. Tentu, hal ini merupakan aktivitas seksual yang abnormal. Ada banyak faktor yang menjadikan seseorang memiliki preferensi seksual terhadap anak-anak dan praremaja. Pedofilia bukanlah preferensi seksual. Psikiater lebih menganggap hal tersebut sebagai gangguan mental.
Pambudi Rahardjo dan Kaniya Puri dalam penelitiannya yang berjudul Pelaku Pedofilia (Tinjauan Dari Faktor Penyebab dan Aspek Dinamika Psikologis) mengungkap faktor utama yang menjadi penyebab perilaku pedofilia. Pertama, kurangnya kasih sayang dari keluarga serta kegagalan dalam menjalin hubungan dengan pasangan. Kedua, lingkungan yang kurang baik dan kurang harmonis termasuk rendahnya taraf ekonomi dan pendidikan sehingga kurang mendapat pendidikan atau pemahaman mengenai seks. Ketiga, pernah menjadi korban pelecehan seksual dan memiliki pengalaman seks pra-remaja, pernah mengalami kekerasan fisik (korban bullying) ataupun memiliki kelainan seksual.
Sayangnya, pelaku pedofilia sulit dikenali. Mereka sangat ahli dalam membangun hubungan dengan target sehingga memunculkan kepercayaan dan rasa aman pada korban. Predator pedofil juga dengan mudahnya memanipulasi, melecehkan dan mengeksploitasi korban. Tak jarang predator merupakan seseorang yang dikenal baik seperti kerabat, pengasuh, tetangga atau bahkan guru dari korban.
Pelecehan seksual pada anak bisa menghancurkan psikososial dan tumbuh kembangnya di masa depan. Oleh karena itu, orang tua sebagai individu yang paling dekat dengan anak semestinya memberikan edukasi perihal seks pada anak secara bertahap. Anak-anak harus mengetahui bagian tubuh mana saja yang tidak boleh disentuh serta sentuhan seperti apa yang harus diwaspadai.
Indonesia telah mengatur regulasi terkait pelecehan dan/atau kekerasan seksual pada anak. Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.
Kemudian regulasi ini didukung oleh UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 82 bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun.
Kekerasan seksual terhadap anak mengakibatkan trauma yang berkepanjangan, bahkan seumur hidup. Hal ini membawa dampak yang luar biasa bagi perkembangan hidup anak hingga dewasa nanti. Kekerasan seksual yang dialami menimbulkan persepsi bahwa kejadian yang menimpanya merupakan aib. Pada akhirnya si anak merasa rendah diri dan menarik diri dari lingkungan sekitarnya.
Upaya perlindungan terhadap anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Mengupayakan perlindungan bagi anak sejatinya adalah investasi untuk kehidupan bangsa dan negara di masa yang akan datang. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya sinergi dari keluarga, masyarakat dan juga negara. Sudah seharusnya penanganan kasus kekerasan seksual itu bersifat holistik dan terintegrasi.
Pembenahan dan penanganan diperlukan dari segala aspek. Hukum yang saat ini berlaku masih terdapat banyak kelemahan mulai dari aspek yuridis serta rendahnya moralitas aparat penegak hukum, karena fakta yang terjadi kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat. Namun, kita tidak bisa terus menerus fokus pada hukuman bagi pelaku. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus mendapatkan penanganan yang serius agar tidak menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat.
Average Rating