Perundungan atas Nama Jilbab

Perundungan atas Nama Jilbab

Read Time:4 Minute, 27 Second

Perundungan atas Nama Jilbab

Beragam kisah kasus perundungan jilbab terjadi di penjuru masyarakat Indonesia. Pemerintah perlu menyelisik kasus tersebut agar cepat berakhir.


Seorang guru mata pelajaran sejarah naik pitam menengok Sheilana Nugraha yang tak mengenakan jilbab saat sekolah. Guru itu memarahi hingga menunjuki siswi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Sragen tersebut.


“Tidak akan sukses tanpa jilbab,”

“Akan masuk neraka,”


Sheilana mendapat perlakuan seperti itu di depan kelas. Puluhan mata siswa terbelalak menyaksikan kejadian kala itu. Perasaan malu, ingin menangis, dan batin tertekan bercampur dalam benak emosi Sheilana.


Perlakuan-perlakuan serupa kemudian disusul oleh para guru lainnya. Ketiga guru perempuan—mata pelajaran biologi, matematika, dan Bahasa Perancis—ikut mencaci Sheilana. Mereka bertiga kompak bersama guru agama Islam yang kerap menyindir. 


Wali Kelas Sheilana saat itu adalah seorang guru matematika. Oleh wali kelasnya sendiri, nilai pelajaran Sheilana dibikin jeblok lantaran tak berjilbab. Hal serupa juga dilakukan oleh guru kimia—kakak kandung dari ayah Sheilana. Saban kelas kimia, suasana beralih ke pembicaraan soal jilbab.


Tak hanya mendapat perundungan secara verbal, Sheilana juga berurusan dengan perundungan fisik. Guru sejarah menjadi salah satu pelakunya. Pernah suatu hari Sheilana kembali mendapat amarah dari guru itu. Sheilana remaja hanya bisa menunduk dan menangis. Sontak guru sejarah memukul kepala Sheilana.


Perundungan gegara tak pakai jilbab, menjadi makanan empuk di sekolah Sheilana. Sejak dia masuk ke SMAN 2 Sragen pada 2012 silam, sudah ancang-ancang diminta untuk mengenakan jilbab. Tetapi Sheilana menolak permintaan pihak sekolah. Kepala sekolah pun tak berbuat apa-apa selama perundungan berlangsung.


Para siswi beragama Kristen—kurang lebih sepuluh orang—di SMAN 2 Sragen umumnya tak pakai jilbab. Kemudian Sheilana satu-satunya siswi muslimah yang kepalanya tak terbalut jilbab. “Saya lepas jilbab dan berseragam pendek,” tutur perempuan yang kini tengah menyusun administrasi ijazah sarjana di Universitas Gadjah Mada.


***

Kejadian buruk mulai menimpa keluarga Dina Fitriya pada tahun 2000 lalu. Sang ayah, Zubedi Djawahir dan para pengikutnya mulanya diundang menemui puluhan tokoh Islam di Hotel Ayong Linggarjati. 


Sesampainya di hotel, para puluhan tokoh Islam—berjumlah sekitar 100 orang—saling silang pendapat soal keislaman dengan Zubedi. Kendati berisi undangan, tetapi realitasnya penghakiman. Zubedi dianggap sesat oleh mereka. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga segendang seirama: mengeluarkan fatwa sesat terhadap keislaman Zubedi.


Akibatnya, saban Zubedi hendak berdakwah, dia selalu ditolak oleh pihak masjid mana pun di Kuningan. Zubedi tak lekas pasrah. Alhasil, pengikutnya kian bertambah. Hubungan Zubedi dengan MUI cabang Kuningan juga turut meruncing.


Zubedi merupakan seorang guru madrasah milik Persatuan Ummat Islam Cilimus (PUI). Dia juga Ketua PUI merangkap jabatan Sekretaris Panitia Pembangunan Masjid Caracas dan Cilimus.


20 Januari 2010. Kawanan pemotor menyerang dan merusak tempat kediaman Zubedi. Teriakan takbir keluar begitu lantang dari mulut para pemotor. Sembari bertakbir, mereka melempar batu.


“Usir orang sesat,”


Selang beberapa waktu usai penyerangan, tempat tinggal Zubedi dan keluarga lantas disegel. Adapun pihak yang melakukan penyegelan: Pemerintah Kuningan. 


Keluarga Zubedi kemudian terpaksa mengungsi ke Jakarta. Namun Dina, memutuskan untuk mengungsi ke kontrakan di wilayah lain di Kuningan.


Saat Dina mengambil barang-barangnya di rumah yang tersegel, dirinya diintimidasi warga sekitar. Mulai dari paku yang tersebar di jalan menuju rumah segel agar truk pembawa barang tak bisa lewat, hingga jalan ditutupi pohon tumbang.


Februari 2010. MUI cabang Kuningan mengeluarkan fatwa: Zubedi, para pengikutnya, dan pengajiannya Millah Ibrahim dinilai sesat.


Zubedi pun tak gentar menghadapi pelbagai perlakuan buruk. Sejak 2011, dia mulai membuka topik ihwal jilbab bukan suatu kewajiban melainkan sekadar budaya. Hal itu disampaikan kepada sanak keluarga, termasuk anak-anaknya. 


Dina sudah berjilbab sejak kelas lima sekolah dasar—tahun 1991. Lantaran pemikiran jilbab dari sang ayah, Dina memutuskan melepas jilbab pada 2011. Kecuali saat bersekolah lantaran semua kartu pengenal Dina mengenakan jilbab. Kala itu, kampanye jilbab tengah menjalar di masyarakat. “Saya juga tak mau menjadi bagian dari orang-orang yang kampanye,” tutur Dina.


Pada 2013, Zubedi dan keluarga berusaha membeli rumah di Perumahan Griya Wisata, Bandorasa Wetan, Kuningan. Apalah daya, warga di sana tak menerima mereka. Keluarga Zubedi diusir.


Hingga akhirnya topik jilbab bukan kewajiban diumumkan ke publik pada 2019. Zubedi dan keluarga kian dihadapkan berbagai ragam tekanan dan intimidasi. 


Cirebon, Juli 2021. Zubedi tutup usia. Serangan jantung menjadi penyebabnya. “Tekanan kepada keluarga dan pengikutnya belum berakhir,” ucap Dina.


Para pengikut Millah Ibrahim pernah dipaksa bersyahadat. Tak tanggung-tanggung, paksaan itu dilakukan di depan publik. Ada juga pengikut seorang pegawai negeri, dipindah tugas dan dinonaktifkan.


Sarat Perundungan

Kamis (21/6), Human Rights Watch (HRW) merilis laporan tentang perundungan jilbab di Indonesia sepanjang 2021. Hasil laporan menyatakan lebih dari 100 perempuan pernah mengalami intimidasi dan kekerasan jangka panjang karena menolak memakai jilbab. 


HRW mendokumentasikan pelbagai kasus perundungan terhadap perempuan dan anak perempuan. Mereka dipaksa untuk berjilbab. Terdapat 24 dari total 34 provinsi di Indonesia, membuat anak perempuan terpaksa meninggalkan atau mengundurkan diri dari sekolah. Dilanjut beberapa pegawai negeri perempuan yang juga terpaksa mengundurkan diri. Mereka berakhir dengan kehilangan pekerjaan.


Adapun biang masalah dari perundungan itu terjadi: peraturan daerah tentang  jilbab. HRW menilai peraturan itu diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan. Kementerian Dalam Negeri mempunyai wewenang untuk membatalkan peraturan daerah yang bertentangan dengan konstitusi.


Direktur HRW Asia, Elaine Pearson mengatakan pemerintah Indonesia lekas mengambil keputusan untuk menyudahi kasus perundungan, intimidasi dan kekerasan yang berkenaan dengan jilbab. Pemerintah perlu menyelidiki kasus-kasus tersebut dan meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang bersangkutan. “Presiden Joko Widodo harus segera membatalkan keputusan daerah yang diskriminatif dan melanggar hak perempuan dan anak perempuan,” ucap Pearson.

Reporter: Syifa Nur Layla

Editor: Syifa Nur Layla

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Antisipasi Bencana Melalui Manajemen Kebencanaan Previous post Antisipasi Bencana Melalui Manajemen Kebencanaan
Jilbab: Antara Syariat atau Tradisi Next post Jilbab: Antara Syariat atau Tradisi