Tanpa Dasar Pro-Kontra RKUHP

Tanpa Dasar Pro-Kontra RKUHP

Read Time:4 Minute, 59 Second

 

Tanpa Dasar Pro-Kontra RKUHP

*Oleh: Yulius Nipu


 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)  mulai diwacanakan pada tahun 2015 dengan semangat dekolonisasi. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh tim perumus—pihak pemerintah dan DPR—bahwasanya RKUHP  harus direformasi sesuai dengan semangat negara merdeka. Pada 21 Januari 2015, draf  RKUHP yang berisi 786 pasal dikeluarkan tim perumus. Namun, dalam draf tersebut terdapat beberapa pasal yang menuai kontroversi. Salah satunya, Pasal 264 yang mengatur soal penghinaan presiden dan wakil presiden dijerat dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (CNN, 2022) 


Peristiwa ini dinilai publik sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Hal ini telah diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang mengatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. 

 

Melihat persoalan di atas, publik menilai bahwa RKUHP tersebut sarat akan kepentingan. Sehingga berbagai bentuk penolakan terus dilakukan oleh publik. Namun, yang mesti dipahami dan ditelusuri bersama adalah apakah semangat dekolonisasi hanya mengubah dan menambahkan pasal-pasal? Kemudian dapatkah menjawab cita-cita bersama terkait pembangunan hukum nasional yang berciri khas ke-Indonesiaan?

    

Pandangan DPR dan Pemerintah serta Respons Publik 

Sebetulnya latar belakang pembaharuan KUHP adalah untuk menjamin kepastian hukum dan KUHP di Indonesia, sehingga semakin berorientasi pada hukum pidana modern. KUHP yang berorientasi pada hukum pidana modern adalah mengedepankan keadilan restorative dan keadilan rehabilitative, serta menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Hal ini tentu merupakan suatu paradigma baru dalam hukum pidana. 


Di Indonesia, paradigma ini telah dimunculkan dalam beberapa ketentuan perundang-undangan seperti dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam UU tersebut, Kejaksaan diberikan peran untuk mengedepankan dan berpedoman pada keadilan restorative dalam penegakan hukum. Dengan begitu,  penyelesaian sengketa alternatif seperti mediasi penal menjadi salah satu wewenang Kejaksaan. Hal ini merupakan perwujudan dari diskresi penuntutan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. (suarabaru.id, 2022)

  

Sementara publik pada umumnya menilai DPR dan pemerintah bertindak tidak transparan dalam membahas Rancangan KUHP, yang mana hal ini dianggap publik sebagai kemunduran demokrasi. Seharusnya, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.  Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal (5) yang mensyaratkan  pembuatan UU harus berdasarkan asas keterbukaan. Akibat tindakan Pemerintah dan DPR yang tidak transparan inilah yang menciptakan pasal-pasal krusial. 


Masalah Sistem Hukum Indonesia

 Sistem hukum yang dianut negara Indonesia adalah sistem hukum eropa kontinental (civil law system). Prinsip utama yang menjadi dasar sistem itu ialah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. 


Sampai sejauh ini perdebatan mengenai sistem hukum tersebut belum ada titik temu, apakah tepat sistem hukum eropa kontinental dijadikan sebagai sistem hukum Indonesia. Sebab, dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan tindak pidana, hakim kadangkala mengambil keputusan berdasarkan keyakinannya atau keputusan-keputusan hakim terdahulu (yurisprudensi). Seharusnya, keputusan yang diambil mesti berdasarkan undang-undang yang berlaku sesuai sistem hukum eropa kontinental. Hal inilah yang menjadi pertanyaan apakah sistem hukum eropa kontinental, sistem hukum anglo saxon ataukah sistem hukum adat yang tepat untuk Indonesia?


Dalam buku bertajuk Hukum Adat, karya Suriyaman Mustari Pide, menjelaskan bahwa menurut Cornelis Van Vollenhoven, seorang pakar hukum adat yang melakukan penelitian mengenai hukum adat di Indonesia (pra-kemerdekaan) bahwa hukum adat (adat recht) merupakan nomenklatur yang menunjukkan sebagai suatu sistem hukum asli yang sesuai dengan alam pikiran masyarakat yang mendiami seluruh penjuru Nusantara. (Pide.M.S, 2014: 2)


Latar Belakang Peraturan Perundang-undangan  

Mengutip dalam buku karya Abintoro Prakoso; tentang Pengantar Hukum Indonesia, bahwa di Indonesia terdapat berbagai peraturan perundang-undangan. Mulai dari jaman penjajahan sejak berakhirnya hak monopoli, hak oktroi (hak dagang) dari VOC tanggal 31 Desember 1799, dimulainya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tanggal 1 Januari 1800, hingga masuknya tentara Jepang tanggal 9 Maret 1942. Begitu banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. (Prakoso, 2017: 10)  

 

Berdasarkan latar belakang peraturan perundang-undangan di atas, jika dikaitkan dengan misi dan semangat RKUHP yang hanya mengubah dan menambahkan pasal-pasal maka ada dua kemungkinan: pertama, minim pemahaman akan sejarah dan kedua, minim pemahaman akan ilmu hukum. 


Mempertegas poin kedua,. Jimly Asshiddiqie mengatakan dunia hukum di Indonesia menjadi kering karena perdebatan hanya bersifat normatif pada pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tanpa dilandasi kerangka teoritis. Di samping itu, menurut Abintoro Prakoso, Indonesia pacsa kemerdekaannya peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya, Undang-Undang Dasar 1945 masih terdapat anasir-anasir peraturan Kolonial Hindia Belanda. Jadi, norma pertama dalam tata hukum Indonesia sebagai pengantar untuk dapat menunjukkan norma-norma lainnya pada saat itu bersumber dari peraturan Kolonial Hindia Belanda. Kemudian diperjelas Abintoro, terdapat norma-norma yang bersifat memutuskan berlakunya norma-norma lama yakni dalam lapangan hukum tata negara, hukum tata usaha negara dan hukum antar negara. Sedangkan yang bersifat meneruskan berlakunya norma-norma lama itu terdapat dalam lapangan hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang dan hukum acara. (Prakoso, 2017, 12-16) 

    

Lalu, polemik terkait RKUHP apabila dianalisis berdasarkan alam pikir Cornelis Van Vollenhoven, bahwa hukum asli orang Indonesia adalah hukum adat. Maka, pembangunan hukum nasional yang telah dicita-citakan dan diaplikasikan salah satunya dalam RKUHP, justru melenceng jauh. Sebab, ruang lingkup perubahan hanya terjadi dalam pasal-pasal. 


Oleh karena itu, apabila semangat RKUHP adalah dekolonisasi atau pembangunan hukum nasional yang bangunan hukumnya benar-benar bersumber dari bumi Indonesia, maka perubahannya tidak secara sempit hanya pada tataran pasal-pasal tersebut. Namun, jauh daripada itu, perlu dipikirkan untuk dilakukan perubahan secara menyeluruh apabila yang dicita-citakan bersama adalah pembangunan hukum nasional yang berkepribadian Indonesia. Sebab, UUD 1945 yang memuat ketentuan-ketentuan dasar dan merupakan kerangka dari hukum Indonesia, masih terdapat anasir-anasir kolonial. Ditambah lagi, sistem hukum Indonesia belum memiliki pendirian pasti sebagaimana yang diuraikan diatas. 


*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Denpasar & Anggota Biasa PMKRI Cabang Denpasar Sanctus Paulus 

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Urgensi Mengenal Pajak Internasional Previous post Urgensi Mengenal Pajak Internasional
Mazhab Ciputat: Dobrakan Baru Pemikiran Islam Indonesia Next post Mazhab Ciputat: Dobrakan Baru Pemikiran Islam Indonesia