*Peringatan: Tulisan mungkin memicu rasa emosional bagi sebagian pembaca.
SK Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual UIN Jakarta telah ditetapkan pada 30 Juni lalu. Namun sampai hari ini, aturan itu masih menjadi hitam di atas kertas.
Cimel—bukan nama sebenarnya—begitu gembira kala mengetahui dirinya lolos seleksi penerimaan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai mahasiswi baru, ia bertekad untuk giat berkecimpung dalam berbagai kegiatan organisasi.
Cimel mulai mendaftar sejumlah organisasi: luar kampus, ia mengikuti salah satu media diskusi yang berada di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta. Tatkala mengikuti proses wawancara perekrutan anggota baru di media diskusi tersebut, ia bertemu dan berkenalan dengan salah satu senior berinisial TA.
TA tampak berusaha mendekati Cimel melalui hubungan komunikasi kemudian berlanjut ke pesan singkat melalui WhatsApp. Kemudian hari, TA pun mengirim pesan singkat kepada Cimel.
“Aku hampir turned on kalo ngeliat kamu.”
Setelah mendengar pesan singkat itu, Cimel mencoba untuk mengalihkan pembicaraan dengan TA. Namun, hal tersebut malah membuat perasaan trauma dan takut seakan semakin menghantui pikirannya.
Tak menjelang lama, TA berusaha mengajak Cimel untuk pergi menonton film bersama. Namun, Cimel menolak dengan alasan memiliki kegiatan rapat organisasi—dalihnya agar tak bertemu TA. Namun apa daya, kehidupan Cimel dan TA justru membuat pertemuan tak terhindarkan.
Berada di lingkungan yang sama, tak jarang Cimel tanpa sengaja bertemu dengan TA. Situasi tersebut membuat Cimel kerap dirundung rasa takut. “Aku selalu ngerasa takut tiap ketemu sama TA,” tuturnya.
Victim Blaming dan Budaya Patriarki di Kasus KBGO
Kejahatan dalam bentuk digital dapat dilihat dari lahirnya fenomena KBGO atau Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online. Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2021 menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 241 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020.
Fenomena KBGO ini menunjukkan bahwa budaya patriarki dan victim blaming juga terjadi di ranah digital. Kepala Subdivisi Digital At-Risks SAFEnet Indonesia, Ellen Kusuma menganggap teknologi digital dapat dilihat sebagai medium yang digunakan masyarakat untuk berinteraksi satu sama lain. Oleh karenanya apa yang menjadi nilai di masyarakat tetap akan muncul dalam interaksi tersebut.
Selain itu, ia juga melihat kerentanan perempuan dan kelompok minoritas lainnya terkait keamanan platform digital. Baginya, isu keamanan mesti dilihat secara menyeluruh. Di satu sisi, teknologi digital membawa banyak manfaat, tetapi di sisi lain ada risiko-risiko yang muncul. Dalam hal ini, perempuan dan kelompok minoritas lainnya memiliki kerentanan tersendiri ketika menggunakan platform digital, seperti menghadapi KBGO, ancaman doxing, perundungan, dan lainnya.
Lebih lanjut, Ellen menganggap pelbagai kerentanan tersebut bisa sangat kontekstual. Kerentanannya akan meningkat ketika identitas sebagai perempuan dan kelompok minoritas secara berlapis mendapat penolakan dari masyarakat. “Misalnya, menjadi perempuan dewasa yang memiliki ekspresi gender berbeda dari ekspektasi masyarakat, akan memiliki kerentanan yang lebih tinggi,” ujarnya, Kamis (24/11).
Ellen mengatakan sudah seharusnya platform digital mengembangkan fitur-fitur keamanan yang bisa melindungi pengguna dari pelbagai risiko yang muncul. Platform mesti mendorong fitur-fiturnya bisa menjadi lebih terlihat. Ini menjadi tugas platform digital untuk bisa mengomunikasikan fitur-fitur keamanan yang mereka miliki, sehingga banyak pengguna platformnya paham dan sadar cara melindungi diri sendiri saat menggunakannya. Termasuk tahu kategori apa saja yang bisa digunakan untuk melapor.
Menurut Ellen, penanganan KBGO saat ini masih terbatas pada upaya yang bisa dilakukan korban seperti blokir kontak dan lapor kasus, menyesuaikan pengaturan keamanan dan privasi dari setiap akun digital yang dimiliki. “Penting untuk memahami keamanan digital secara personal karena pencegahan jauh lebih bermanfaat. Mulai dengan pahami isu privasi dan data pribadi di dunia digital, “ pungkasnya.
Dosen Psikologi Konseling UIN Jakarta, Mohammad Avicenna mengungkapkan fenomena victim blaming—menyalahkan korban kekerasan seksual—bukan tidak mungkin terjadi di masyarakat patriarkis. Menurutnya, ketika membicarakan kekerasan seksual pada perempuan, seringnya para korban terbebani stigma masyarakat yang masih merendahkan perempuan. “Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Korban mendapati kekerasan seksual, ditambah lagi ia disalahkan,” jelasnya, Rabu (16/11).
Avicenna menuturkan trauma yang dialami oleh korban KBGO juga berpotensi sama seperti yang dialami oleh korban kekerasan seksual di dunia nyata. Kerentanan korban KBGO bahkan bisa jadi lebih tinggi karena efek dari media digital yang semakin pesat. “Kalau misalnya sudah dikirimi video bermuatan seksual, katakanlah foto atau video yang memperlihatkan kemaluan, pasti korban punya traumanya sendiri,” ungkapnya.
Cara Hadapi KBGO
Ellen memberikan sejumlah rekomendasi kepada para korban yang mendapati KBGO. Pertama, mencari pertolongan demi pemulihan diri. Situasi yang dihadapi oleh korban bisa saja mengakibatkan trauma. Segera hubungi konseling psikologis.
Cara lainnya yaitu menyegerakan dokumentasi dengan menyimpan bukti ancaman dan menyusun kronologi. Kemudian bisa juga memutus komunikasi dengan pelaku lewat upaya blokir kontak, dan lapor atau report langsung ke platform. “Jika mengalami kebingungan atau butuh bantuan, silakan cari bantuan sesuai dengan kebutuhan, baik terkait dengan teknologinya atau bantuan hukum,” tangkasnya.
Lempar Pembentukan Unit Layanan Terpadu
Mengenai peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, perguruan tinggi dibawah Kementerian Agama telah lebih dulu punya aturan tersebut. Kemenag telah menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Pedoman itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019.
Selanjutnya, UIN Jakarta menerbitkan aturan pelaksana terkait penanganan dan pencegahan kekerasan seksual melalui SK Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 573 Tahun 2022 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Kemudian dua payung hukum di atas diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama yang ditetapkan pada 5 Oktober 2022 oleh Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas.
Ketua Tim Penyusunan SK Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UIN Jakarta, Afwan Faizin menuturkan Rektor UIN Jakarta, Amany Burhanuddin Umar Lubis belum merespons PMA Nomor 73 Tahun 2022 dengan aturan pelaksana. Secara otomatis, pelaksanaan penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di UIN Jakarta akan menggunakan SK Rektor. “Selagi SK Rektor itu tidak bertentangan dengan PMA, maka kita menggunakan itu sebagai rujukan,” ucap Afwan, Kamis (17/11).
Dalam SK Rektor, ujar Afwan, tercantum pembentukan Unit Layanan Terpadu (ULT). Aturan itu menunjuk Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) sebagai leading sector yang diharapkan menjadi motor penggerak untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di UIN Jakarta. “SK Rektor konteksnya adalah upaya pencegahan dan penanganannya, penindakannya, penanggulangannya melalui ULT, yang kita harapkan di sini adalah PSGA,” jelas Afwan.
Terkait pelaporan, Afwan menjelaskan korban dapat langsung melaporkan kasusnya ke PSGA melalui ULT yang dibentuknya. “Nanti mereka-mereka (pihak PSGA) akan memanggil kita sebagai pihak terkait untuk bagaimana bersama-sama menangani kasus itu.”
Afwan juga menyinggung kendala yang dihadapi timnya dalam pengimplementasian SK tersebut. Baginya sosialisasi mengenai SK Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UIN Jakarta belum sepenuhnya masif, sehingga berdampak pada korban yang masih enggan mengadu.
Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta, Ulfah Fajarini menuturkan pembentukan Unit Layanan Terpadu (ULT) masih dalam proses. Ia menyayangkan kepada pihak kampus yang tak memberikan anggaran untuk proses pembentukan ULT. “Dana buat bikin ULT itu besar, kampus belum ngasih dana itu,” ucapnya, Senin (21/11).
Ulfah menganggap pembentukan ULT adalah tanggung jawab semua pihak kampus. Ia menampik penunjukkan PSGA sebagai leading sector. Baginya, urusan pembentukan ULT bukan hanya tugas PSGA. “Tim leader nya bukan PSGA tapi langsung rektor,” terangnya.
Pos Pengaduan dari Dema
ULT yang tak kunjung dibuat oleh PSGA memantik Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Jakarta untuk membentuk pos pengaduan kekerasan seksual. Di bawah program kerja Bidang Pemberdayaan Perempuan Dema UIN Jakarta, pos pengaduan KS dibentuk melalui rekrutmen terbuka pada 1 Oktober lalu.
Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Dema UIN Jakarta Jihan Lutfiyah menuturkan, pihak kampus lamban dalam pembuatan ULT untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus, padahal payung hukum sudah ada. “Sebenarnya di tataran kampus yang punya wewenang untuk mendirikan pos pengaduan KS adalah PSGA. Tapi sejauh ini, PSGA ngga ada gerakannya untuk mendirikan ULT,” ucapnya, Senin (5/12).
Lebih lanjut, Jihan menuturkan, pihaknya akan berusaha melakukan audiensi dengan PSGA untuk segera mendesak pembuatan ULT. Baginya, ULT yang dibentuk oleh PSGA harus tetap ada. “Kalau PSGA sudah membentuk (ULT), koordinasi akan lebih mudah terjalin,” jelasnya. Jihan berharap, nantinya jika ULT telah terbentuk, pelaporan KS harus dirancang dengan sistem yang menjamin kerahasiaan korban.
Harapan tersebut juga disampaikan Cimel. Ia berharap pihak kampus dapat menangani laporan kekerasan seksual tanpa banyak birokrasi yang mempersulit korban. Hal itu belum ia dapati sekarang. Baginya, kampus belum menjadi ruang aman untuk korban kekerasan seksual. “Kampus belum bisa membuat para korban KS itu percaya,” jelas dia.
Cimel tahu dirinya menjadi korban KBGO oleh senior di kampusnya. Walau SOP Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual UIN Jakarta sudah ada, namun ia enggan melapor. “Aku takut kalo ngelapor ke pihak kampus bakal menghadapi birokrasi yang panjang. Kalo dengar cerita yang udah-udah sih, korban yang melapor ngga dapet keadilan, yang ada (kampus) malah balik nyalahin korban,” pungkasnya.
Reporter: Anggita Raissa Amini
Editor: Permata Adinda—Project Multatuli
Syifa Nur Layla
Liputan berita Kekerasan Seksual (KS) sudah berdasarkan persetujuan korban. LPM Institut terbuka dengan segala masukan dari mereka. Oleh karenanya kami memutuskan untuk tidak terburu-buru dalam menerbitkan berita yang bertalian dengan KS.
Liputan ini didukung oleh beasiswa peliputan “Yang Muda, Yang Mewartakan” yang diadakan oleh Rutgers Indonesia dan Project Multatuli.