Stigma negatif masyarakat tentang penggunaan ganja masih melekat. Legalitas penggunaan ganja medis di Indonesia belum menemui titik terang.
Komunitas Lingkar Ganja Nusantara (LGN) berlokasi di Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan memiliki cabang regional di beberapa daerah nusantara. Komunitas ini berfokus pada bidang pergerakan sosial, advokasi hukum, dan riset yang berlandaskan pelegalan ganja pertama di Indonesia. LGN mengembangkan Yayasan Sativa Nusantara pada 2015 untuk memenuhi fungsi edukasi dan advokasi. Setelah itu, LGN mendirikan LGN Shop sebagai penggerak perekonomian.
Berawal dari sebuah lingkaran pertemanan yang memiliki visi untuk menolak pembatasan penggunaan ganja, mereka mendeklarasikan diri menjadi komunitas pada 19 Juli 2010. UU No. 35 Tahun 2009 mengenai larangan penggunaan ganja untuk tujuan medis melatarbelakangi berdirinya LGN. Sejak saat itu, mereka mulai melaksanakan beberapa program kerja rutin, satu diantaranya adalah long march—kampanye berjalan dengan jarak tempuh yang cukup jauh—di beberapa jalanan Jakarta hingga istana negara.
Ketua Umum LGN, Riyadh Fakhruddin menyatakan upaya pelegalan yang mereka lakukan adalah untuk ganja medis. Sebagai contoh, Yayasan Sativa Nusantara membantu advokasi hukum beberapa pengidap Cerebral Palsy—penyakit yang membutuhkan ganja untuk meminimalisir efek sampingnya. Salah satu kliennya adalah Santi, ibu dengan anak pengidap Cerebral Palsy yang memperjuangkan legalitas penggunaan ganja untuk kebutuhan medis buah hatinya.
“Kita memikirkan bagaimana agar tanaman ganja bisa dimanfaatkan anak-anak mereka yang mengidap cerebral palsy, tanaman ganja itu bisa dimanfaatkan, tapi kenapa dilarang?” kata Riyadh, Jumat (17/3).
Menurut Riyadh, kualitas sumber daya manusia dalam komunitas LGN harus terus ditingkatkan. Selain peningkatan keterampilan individu, LGN juga memfasilitasi pelatihan untuk meningkatkan pemahaman anggota seputar legalisasi tanaman ganja. “Tahun ini, kami akan mengadakan Pelatihan Legalisasi Ganja (PLG) setelah pelantikan pengurus pusat. Modelnya seperti diklat untuk melatih anggota pusat maupun di regional,” tuturnya, Jumat (17/3).
Inisiator Penggerak Lingkar Ganja Nusantara, Dhira Narayana berpendapat ganja memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan oleh orang cerdas dan pemikir. Ia berharap generasi penerusnya dapat bersatu untuk melanjutkan perjuangannya. “LGN dari awal kan semangatnya dari grassroot—gerakan masyarakat di sebuah distrik, kata Dhira, Sabtu (25/3).
Salah satu anggota LGN asal Cianjur, Nando mendapat edukasi tentang manfaat tanaman ganja dan menghapus stereotip buruk dari tanaman ganja. Ia membandingkan regulasi mengenai pemakaian ganja di Indonesia dan luar negeri yang memperbolehkan penggunaan ganja medis. “Saat ganja sudah legal nanti, peraturannya harus diperketat lagi dan pemakaiannya harus tepat sasaran terutama dalam hal medis,” ungkap Nando, Sabtu (25/3).
Salah satu masyarakat yang mengetahui adanya komunitas ganja, Rian Setiawan mengatakan masyarakat memandang ganja sebagai hal negatif. Sepengetahuannya, ganja bisa digunakan untuk meminimalisir gejala beberapa penyakit seperti cerebral palsy, autis, dan epilepsi, bukan hanya untuk rekreasi—menggunakan secara ilegal—semata.”Jangan jadikan ganja itu menjadi hal yang tabu pembicaraannya, tetapi jadi suatu hal yang bisa didiskusikan dari segi manfaatnya,” pungkasnya, Sabtu (25/3).
Reporter: IHPA
Editor: Nurul Sayyidah Hapidoh