
Krisis lingkungan dan perubahan iklim yang tak menentu berdampak pada kesehatan mental. Upaya perbaikan kondisi lingkungan sangat diperlukan untuk meminimalisir munculnya kecemasan pada seseorang.
Dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim kerap memicu kekhawatiran pada seseorang. Fenomena eco-anxiety—kecemasan terhadap isu lingkungan—muncul pada individu yang resah terhadap keadaan tersebut. Dilansir dari liputan6.com, studi yang diterbitkan The Lancet menunjukkan 84 persen individu berusia 16-25 tahun mengalami rasa khawatir dengan perubahan iklim.
Salah satu siswa—Mentee—The Climate Reality Indonesia, Muhammad Salman Al Farisi menjelaskan, eco-anxiety merupakan keresahan yang disebabkan faktor isu lingkungan yang memengaruhi psikologis. “Seseorang yang mengalami eco-anxiety ditunjukkan dengan peningkatan emosional akibat sistem iklim dan isu lingkungan,” ungkap Salman, Minggu (26/11).
Salman menyatakan, gejala yang timbul akibat eco-anxiety berupa ketakutan kronis, bingung, resah, khawatir, marah, dan perasaan bersalah. Ia menilai, seseorang perlu mengubah pola pikir dan mulai melakukan aktivitas yang mendukung kelestarian lingkungan untuk mengurangi gejala tersebut. “Salah satunya menerapkan gaya hidup rendah karbon, misalnya menggunakan transportasi umum,” ujarnya.
Kepala Bidang Advokasi Lingkungan Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Kembara Insani Ibnu Batutah (KMPLHK Ranita), Kori Saefatun menjelaskan pemahamannya terkait eco-anxiety. Ia mengatakan, eco-anxiety merupakan kecemasan yang berlebihan ketika dihadapkan dengan situasi lingkungan yang buruk. “Rasa cemas itu dapat dikontrol dengan pergerakan positif terhadap lingkungan, contoh sederhananya seperti mengurangi sampah plastik,” jelas Kori, Minggu (26/11).
Kori mengaku sangat khawatir terhadap isu lingkungan dan mencegahnya dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan. Menurutnya, lingkungan perlu dijaga dengan baik agar generasi penerus tidak merasakan dampak buruk akibat kecerobohan kita saat ini. “Generasi muda perlu meningkatkan literasi terhadap isu-isu lingkungan. Hal ini dapat menumbuhkan rasa kesadaran akan pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan sekitar,” tuturnya.
Selaras dengan Kori, Mahasiswa Program Studi (Prodi) Jurnalistik, Sabila Aqiilahnur Fitrah mengaku pernah merasa khawatir terhadap isu lingkungan. Ia mengatakan, kecemasan yang muncul akibat kerusakan lingkungan dapat diatasi dengan menjaga kondisi lingkungan sekitar. “Kontrol aktivitas itu penting untuk menjaga kondisi lingkungan. Contohnya seperti membuang sampah pada tempatnya, menggunakan produk daur ulang, dan tidak membakar sampah,” ucapnya, Senin (27/11).
Dosen Bidang Psikologi Lingkungan Universitas Brawijaya, Intan Rahmawati mengungkapkan, perubahan iklim menjadi salah satu poin utama dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Intan mengatakan, istilah eco-anxiety muncul seiring konsep SDGs banyak digaungkan. “Remaja sering mencari tahu informasi tentang lingkungan, pemahaman tentang kerusakan lingkungan itulah yang menyebabkan mereka rentan mengalami eco-anxiety,” ucap Intan, Sabtu (25/11).
Intan menyarankan, generasi muda perlu melakukan kegiatan yang berpengaruh terhadap krisis lingkungan untuk mengurangi intensi kecemasannya. Mereka dapat menjadi relawan lingkungan, mengikuti Komunitas Zero Waste dan memanfaatkan produk daur ulang. Kegiatan tersebut akan berdampak pada pemahaman seseorang mengenai pengelolaan lingkungan. Ia menekankan, perubahan lingkungan baik yang akan memengaruhi kesehatan fisik dan mental
Selain itu, ujar Intan, sesuai dengan The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), eco-anxiety belum termasuk ke dalam gejala klinis. Namun, pihak profesional dapat menangani jika rasa cemas itu sudah muncul berlebihan dan butuh penyembuhan. “Mengelola pola pikir yang positif dan suka mencari informasi lingkungan dapat membuat kondisi psikis lebih terkontrol dalam menghadapi isu lingkungan,” pungkasnya.
Reporter: RIN
Editor: Shaumi Diah Chairani