
Menteri Agama berencana menjadikan KUA tempat pelayanan dan pencatatan nikah seluruh agama di Indonesia. Perlu pengkajian lebih dalam secara regulasi, SDM, maupun kelengkapan rohani.
Kantor Urusan Agama (KUA) dikenal sebagai tempat yang melayani pencatatan, persiapan, dan penyelenggaraan pernikahan bagi umat Islam. Hal ini selaras dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016 bahwa KUA Kecamatan menjadi tempat pelayanan dan bimbingan masyarakat Islam di suatu wilayah. Terbaru, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas mencanangkan KUA menjadi sentral pelayanan dan pencatatan nikah semua agama, Jumat (23/2).
Melansir dari bimbinganperkawinan.kemenag.go.id, Kementerian Agama (Kemenag) memiliki regulasi terkait persyaratan pendaftaran nikah untuk enam agama yang diakui di Indonesia. Dengan kata lain, langkah Kemenag untuk mengatur pernikahan semua agama bukan hal yang baru. Akan tetapi, pencatatan pernikahan non-Muslim bukan dilakukan oleh Kemenag melainkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).
Wakil Rektor Bidang Akademik, Ahmad Tholabi Kharlie menyambut baik rencana KUA sebagai tempat pelayanan bagi semua agama. Rencana itu mendukung esensi Kementerian Agama sebagai organisasi negara yang melayani seluruh umat beragama. “Gagasan out of the box ini sangat rasional karena sejatinya Kemenag adalah kementerian untuk semua agama,” paparnya, Kamis (29/2).
Perlu adanya konsolidasi dalam berbagai aspek, ujar Tholabi, baik regulasi, organisasi, maupun kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk merealisasikan rencana tersebut. Dari segi regulasi, secara eksplisit maupun implisit masih menempatkan pencatatan pernikahan di dua klaster, yakni muslim dan non-Muslim. Misalnya, Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 yang hanya mengatur pencatatan pernikahan agama Islam.
Selain itu, Tholabi menjelaskan, perlu adanya peningkatan kapasitas SDM untuk mendukung rencana tersebut. “Apabila ke depannya diperlukan penambahan SDM, tidak masalah untuk menambahkan petugas dari agama lain,” ungkapnya.
Untuk merealisasikan rencana ini, Tholabi juga memandang perlu adanya pengkajian secara mendalam dengan para tokoh agama di Indonesia. Selain itu, para akademisi maupun pejabat terkait juga perlu terlibat di dalamnya. “Karena ini bukan agenda dadakan,” ungkapnya.
Kepala KUA Ciputat Timur, Ahmad Jayadi mengatakan, rencana Kemenag tersebut bertujuan melakukan pencatatan nikah semua agama melalui satu pintu. Akan tetapi, selaras dengan Tholabi, ia memandang perlu adanya kajian lebih lanjut terkait persyaratan untuk pencatatan serta tempat pelaksanakan pernikahan tersebut. “Mungkin yang dimaksud Kemenag di sini agar urusan pencatatan nikah seluruh masyarakat dapat dilakukan oleh KUA saja, namun tetap harus melewati pengkajian lebih dalam,” paparnya, Jumat (1/3).
Di sisi lain, Jayadi mengaku belum pernah dilibatkan dalam pembuatan keputusan oleh pemerintah pusat, khususnya terkait regulasi pelayanan dan pencatatan pernikahan tersebut. Oleh karena itu, KUA sebagai eksekutor hanya menunggu keputusan yang dikeluarkan oleh Kemenag. “Namanya level bawah, enggak pernah diajak untuk mengambil keputusan,” ungkapnya.
Penganut Agama Kristen Protestan, Zevanya Praja Syaharani (19) mengaku setuju dengan rencana Menteri Agama itu. Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam budaya, agama, dan ekonomi yang berbeda. Pencanangan KUA menjadi tempat pencatatan pernikahan untuk umum dapat membantu masyarakat non-Muslim untuk melangsungkan pernikahan.
Zevanya menerangkan, pemberkatan nikah biasanya terjadi di gereja maupun di lokasi lain dengan mendatangkan pendeta. Apabila rencana ini berlaku, ia berharap KUA dapat mengakomodasi kebutuhan pernikahan enam agama yang diakui di Indonesia. “KUA dapat menyediakan pendeta untuk pasangan kristen, romo untuk pasangan katolik dan seterusnya,” ungkapnya, Jumat (1/3).
Di sisi lain, Putra Hamonangan Ritonga (21), penganut agama Kristen Protestan lainnya mengaku pesimis setiap KUA dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh agama. Kebutuhan dalam hal itu termasuk pemuka agama serta kelengkapan rohani seperti mimbar atau dupa dalam prosesi pernikahan. “Saya berharap jika rencana ini dilaksanakan segala persiapan dan perkara teknis disiapkan, agar pasangan non-Muslim merasa tetap dihargai,” sebutnya, Sabtu (2/3).
Selaras dengan Zevanya, Yudha Harton (25), seorang penganut agama Buddha menilai rencana ini merupakan suatu kemajuan yang progresif. Jika hal tersebut terealisasi, ia berencana melangsungkan pernikahan di KUA. “Memang sudah sepatutnya KUA menaungi seluruh agama di Indonesia, termasuk agama lokal seperti Kejawen atau Sunda Wiwitan,” tutut Yudha, Sabtu (2/3).
Seperti yang diajarkan oleh Bikkhu—pemuka dalam kepercayaan Buddha—Thitasaddho kepada Yudha bahwa tidak ada keharusan untuk menikah dalam agama Buddha. Bagi kepercayaan Buddha, kemudahan dalam legalitas wihara dapat berpengaruh lebih signifikan. “Yang lebih penting disini agar tidak perlu ada penegakkan Sima–wilayah atau tempat suci dan dibebaskan dari pajak– lagi,” ungkap Bikkhu, Sabtu (2/3).
Reporter: HUC
Editor: Shaumi Diah Chairani