
“Masih banyak daerah terpencil Indonesia yang belum terjamah. Pameran Jejaring Warga hadir guna menginspirasi pengunjung untuk menghidupkan daerah-daerah pelosok yang terpinggirkan.”
Pameran seni yang bertajuk “Jejaring Warga: Merajut Akses Internet Berbasis Komunitas yang Bermakna di Indonesia” digelar di Bentara Budaya Jakarta, Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pameran ini diselenggarakan oleh Common Room Network Foundation yang berkolaborasi dengan Kedutaan Besar Inggris dalam mengembangkan infrastruktur akses internet berbasis komunitas terpencil (remote area) di daerah-daerah Indonesia.
Pameran itu resmi dibuka oleh Samuel Hayes selaku Kepala Digital dan Urusan Sosial di Kedutaan Besar Inggris pada Jumat (2/5), dan berakhir pada Jumat (9/5). Pameran tersebut merupakan capturing program kerja Common Room, yang selama lima tahun terakhir mempunyai program bernama Sekolah Internet Komunitas (SIK).
Pameran Jejaring Warga jadi salah satu rangkaian dari inisiatif SIK bersama Digital Access Programme (DAP). Terdapat dua belas wilayah pada sebelas provinsi di Indonesia yang mempunyai program SIK. Dengan adanya SIK, Common Room berusaha untuk mengatasi kesenjangan digital di wilayah pedesaan dan daerah terpencil.
Manajer Media dan Kerja Sama Common Room, Tisha Amelia menjelaskan, Pameran Jejaring Warga merupakan salah satu bentuk apresiasi bagi orang-orang yang bekerja di wilayah-wilayah SIK. Lewat pameran tersebut, mereka bisa memamerkan hasil kerja kerasnya agar terlihat oleh orang banyak. “Kami ingin teman-teman yang datang tahu, bahwa kerja-kerja mereka patut diapresiasi dan mungkin bisa direplikasi atau multiplikasi di wilayah lain,” jelas Tisha, Jumat (9/5).
Tisha menambahkan, dalam penerapan SIK, mereka tidak hanya memberikan literasi digital secara langsung, tapi melakukan pendekatan lewat budaya, seperti mempromosikan tarian atau benda adat dari wilayah-wilayah tersebut. Sebab terdapat beberapa wilayah yang masih kental akan budaya, seperti di Ciptagelar, Pulo Aceh, dan Sumba. “Hampir semua wilayah di Indonesia punya ciri khas budaya tersendiri, sehingga pameran ini berusaha untuk meng-capture budaya-budaya dan juga mentransformasikan digital di wilayah-wilayah tersebut,” tambahnya.
Melalui pameran itu, Tisha pun ingin memberitahu pengunjung, jika masyarakat di wilayah terpencil dibina dengan baik, mereka juga akan memanfaatkan internet dengan baik. Internet memiliki dua mata pisau, karena ada yang berdampak negatif dan positif. “Kami berusaha meminimalisir dampak negatif dengan melakukan beberapa pelatihan untuk warga, supaya mereka nantinya bisa menggunakan internet dengan penuh makna dan bisa meningkatkan taraf hidupnya juga,” lanjutnya.
Sebenarnya hal tersebut merupakan tugas pemerintah untuk menutup kesenjangan digital di Indonesia, tapi wilayah Indonesia yang sangat luas, sehingga tugas itu tidak cukup hanya dengan pemerintah saja. Maka dari itu, menurut Tisha harus ada mitra-mitra yang mendukung, seperti Common Room yang juga berkolaborasi dengan banyak mitra.
Common Room berharap kerja-kerja mereka bisa dilanjutkan ke depannya, karena masih banyak desa yang masih belum terjamah akses internet. Dari pameran itu Common Room pun berharap agar pengunjung punya semacam harapan atau terinspirasi untuk membuat pameran serupa di wilayah-wilayah lain. Common Room menunjukkan, bahwa sebuah desa yang tadinya terpencil dan tidak ada akses internet, dapat menjadi lebih berdaya ke depannya.
Reporter: NF
Editor: Muhammad Arifin Ilham
