Flexing dan Krisis Diri

Flexing dan Krisis Diri

Read Time:3 Minute, 7 Second
Flexing dan Krisis Diri

Pada era digital saat ini, tren flexing kerap dianggap lumrah. Padahal, hal itu dapat memicu berbagai gangguan psikologis untuk pelaku maupun penonton.


Media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjadi platform berbagai latar belakang pengguna berinteraksi secara aktif, sehingga ikut mendefinisikan struktur sosial masyarakat. Di sisi lain, berbagai fitur media sosial memungkinkan orang-orang untuk dengan bebas berekspresi. Dengan publisitas yang masif, para pengguna media sosial dapat mengekspresikan dirinya kepada banyak orang.

Penggunaan media sosial populer di berbagai kalangan, terutama generasi Z. Melansir dari GoodStats, berdasarkan survei Jakpat yang dilakukan pada 6–9 Desember 2024 dengan melibatkan 1.155 responden berusia 15–27 tahun, sebanyak 63% dari mereka lebih memilih untuk melakukan scrolling media sosial saat mengisi kekosongan. Aktivitas ini menjadi paling dominan dibandingkan dengan kegiatan lainnya.

Hal itu menimbulkan fenomena-fenomena populer, salah satunya adalah flexing. Menurut Cambridge Dictionary, flexing adalah tindakan untuk menunjukkan sesuatu yang dimiliki, akan tetapi dengan cara yang dianggap orang lain tak menyenangkan. 

Istilah flexing pertama kali ditulis oleh Thorstein Veblen dalam bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions pada tahun 1899. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa flexing adalah suatu kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial. Kemudian, tindakan ini dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. 

Berdasarkan Jurnal Studi Pemuda yang ditulis oleh Langit Gemintang Muhammad Hartono dengan judul Individualitas yang Terawasi: Dinamika Flexing pada Pemuda Generasi Z di Instagram, flexing sering diasosiasikan dengan insecurity dan fear of missing out (FOMO). Insecurity merujuk pada rasa ketidakamanan seseorang karena merasa lebih inferior daripada orang lain. Sedangkan FOMO merujuk pada sikap takut tertinggal, seperti seseorang melewatkan suatu konser atau terlambat diterima kerja daripada kawan-kawan seumurannya. 

Najwa Zahira Mahmudi, seorang mahasiswi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) mengaku pernah mengalami hal serupa. Meskipun dirinya jarang melihat konten-konten flexing, menurutnya tidak bisa dipungkiri bahwa konten tersebut mudah ditemukan di media sosial. “⁠Sewajarnya manusia yang pengen untuk jadi sempurna dan gak pernah puas kalau liat orang lain, tapi mau gimana pun kita gak bisa maksa. Kalau terlalu larut sama rasa insecure aku rasa malah menguras energi,” katanya dalam keterangan via WhatsApp, Selasa (6/5).

Psikolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Mohamad Avicenna memaparkan, orang melakukan flexing karena ingin dianggap memiliki citra yang positif oleh orang lain. Namun hal itu dilakukan secara berlebihan. Terkadang, seseorang yang mengalami ketidakpercayaan diri ekstrem juga cenderung melakukan flexing untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. “Atau bisa saja ia melakukan flexing untuk menarik banyak orang agar berinvestasi kepadanya,” jelas Avicenna, Kamis (1/5).

Ia mengatakan, biasanya orang yang melakukan flexing erat kaitannya dengan narsistik, sehingga ia kurang memiliki empati dan tidak memikirkan keadaan orang lain. Hal itu bisa menyebabkan orang lain mengalami gangguan psikologis, salah satunya yaitu social comparison atau membandingkan diri dengan orang lain. “Sehingga, jika jarak antara real self dengan ideal self terlalu jauh dapat membuat tubuh lelah dan menimbulkan masalah seperti depresi, tidak percaya diri, cemas, dan sebagainya,” lanjutnya.

Sementara itu, Ahmad Abrori, Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengaitkan orang yang sering membandingkan dirinya dengan teori deprivasi relatif Karl Marx. Menurutnya, perasaan orang yang menganggap ketimpangan sosial sebagai suatu ketidakadilan adalah perasaan yang dimiliki oleh masyarakat kelas bawah. “Jadi gampang banget terusik gitu perasaannya, walaupun bukan orang miskin, mungkin mentalnya yang miskin,” ungkapnya pada Rabu (23/4).

Lebih lanjut, menurutnya orang yang melihat tren flexing tersebut harus bisa memfilter atau membatasi diri dengan cara mendefinisikan dirinya sendiri. Hal itu adalah upaya bertahan hidup di dunia digital agar tidak terganggu. “Jadi dengan mendefinisikan diri, kita bisa menyadarkan siapa kita. Kita memiliki kehidupan sendiri dan tidak harus sama dengan orang lain,” pungkas Abrori.

Reporter: Naila Asyifa
Editor: Inda Bahriyuhani

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Soroti Wajah Komersialisasi Pendidikan Previous post Soroti Wajah Komersialisasi Pendidikan
Pasar Antik Bikin Melirik  Next post Pasar Antik Bikin Melirik