
Meski bukan pasar konvensional yang ramai pengunjung, Pasar Barang Antik Cikini tetap memiliki pesonanya sendiri. Keunikan dan cerita sejarah dari barang-barang yang dijual membuat tempat ini menjadi lokasi yang wajib dikunjungi bagi pecinta seni dan kolektor.
Jalanan Ciputat terasa sepi Sabtu siang itu (3/5). Jalanan yang biasanya padat kini hanya dilalui beberapa kendaraan di setiap ruasnya. Saya pergi menuju pasar barang antik di Jakarta Pusat dengan menunggangi motor berwarna biru. Sepanjang jalan, sesekali saya memperhatikan gawai yang tertaruh di penyangga dekat spion sebelah kiri. Gawai itu menampilkan aplikasi Google Maps yang menjadi pemandu saya untuk sampai ke Pasar Barang Antik Cikini.
Saya terus menyusuri jalan sambil mendengar lagu yang mengiringi lewat perangkat jemala. Meski jalanan Ciputat cukup sepi, jalanan kota Jakarta tetap sama seperti hari biasanya; penuh dengan kendaraan. Mobil warna-warni memadati jalanan. Sesekali terdengar suara klakson dari mobil-mobil tersebut. Para pemotor bergabung dalam kepadatan itu dengan merayap di ruas jalan sebelah kiri.
Tak terasa, Google Maps di gawai menunjukkan bahwa saya sudah sampai. Pasar itu berlokasi di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat. Lantas, saya memarkirkan motor tepat di pinggir jalan dekat salah satu ruko di sana. Sepanjang trotoar, berjejer berbagai macam barang antik yang siap dijual.
Mesin tik, topeng, keris, telepon jadul, gramofon (pemutar piringan hitam), guci, dan juga lampu-lampu antik tersusun rapi di depan ruko milik seorang pria bernama Maksudi. Ia berusia 58 tahun. Badannya tidak terlalu besar. Atasan biru dan celana krem selutut menutupi tubuhnya. Maksudi berdomisili di Jakarta Pusat dan sudah berjualan di Pasar Barang Antik Cikini hampir dua dekade lamanya. Ia memasok barang antik jualannya dari orang-orang yang menitipkan barang antiknya untuk dijual. Sebagian lainnya merupakan peninggalan dari ayah dan kakeknya.
“Orang-orang mampir ke sini buat jual barang lama yang mereka punya, untuk saya jual lagi. Tapi pas awal-awal berdagang sebagian barangnya peninggalan dari bapak dan kakek saya,” ucap Maksudi, Sabtu (3/5).
Mulai dari remaja, dewasa, turis lokal hingga mancanegara sering mampir ke lapak Maksudi, baik untuk membeli atau hanya sekadar melihat barang antik yang ia miliki. Menurutnya, barang antik bisa dinikmati oleh siapa saja, baik orang yang tidak mengerti hingga orang yang paham betul tentang estetika dan cerita dari barang antik tersebut.
Meski beberapa barang antik memiliki harga yang tinggi, kegiatan yang digeluti Maksudi itu tak selalu mengenakkan. Tak jarang lapaknya sepi pengunjung, atau terkadang barang yang diinginkan konsumennya cukup langka, sehingga sulit ditemukan. Namun demikian, itu semua sebanding dengan keuntungan yang ia dapat.
“Kalau keuntungan tiap hari alhamdulillah bisa menghidupi keluarga. Paling sedikitnya Rp300 ribu, kadang kalau ada barang bagus yang kejual bisa sampai Rp2 juta-an,” ungkap Maksudi.
Meninggalkan lapak milik Maksudi, saya kembali menyusuri trotoar sambil memperhatikan barang unik yang dipajang di depan para pedagangnya. Hanif, seorang remaja yang saya temui di salah satu ruko tak jauh dari ruko milik Maksudi, datang bersama kedua temannya untuk melihat koleksi yang barang antik yang dimiliki pemilik ruko.
Mereka berasal dari Jakarta Barat. Ketiganya sengaja datang ke pasar barang antik itu karena penasaran dengan koleksi yang ada di dalamnya. “Iseng aja, sekalian mengisi waktu liburan bareng temen-temen, dan juga ingin tahu koleksi apa saja yang ada di ruko-ruko ini,” kata Hanif, Sabtu (3/5).
Meskipun tidak seramai pasar pada umumnya, pasar barang antik justru memiliki daya tariknya sendiri. Barang unik yang jarang dijumpai sampai barang yang tidak pernah kita lihat sama sekali terpajang di sana.
Melansir dari KCIC.co.id, Pasar Barang Antik Cikini juga memiliki cerita yang panjang. Tempat itu berdiri sejak tahun 1970 di masa kepemimpinan gubernur Ali Sadikin. Pedagang pasar barang antik awalnya adalah sekumpulan pedagang yang tidak mendapatkan kios di pasar rumput. Para pedagang ini akhirnya direlokasikan ke Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat oleh Ali Sadikin.
Reporter: Ilham Hidayat
Editor: Inda Bahriyuhani