
Keberadaan stan produk boikot di dalam kampus UIN Jakarta mendapat penolakan dari sejumlah mahasiswa pada akhir Oktober lalu. Hal tersebut dinilai dapat mencederai nilai kemanusiaan yang diperjuangkan mahasiswa.
Akhir Oktober lalu, Nescafe sempat melakukan kerja sama bisnis dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah berupa pendirian stan di samping taman Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) serta taman Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Keberadaan stan Nescafe menuai sorotan sejumlah mahasiswa karena tergolong produk boikot yang terafiliasi Israel. Mengutip masjidalaqsa.com, Nescafe berada di bawah perusahaan Nestle. Nestle sendiri masuk dalam daftar produk boikot dari Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) sebagaimana keterangan detik.com.
Penolakan tersebut datang dari mahasiswa Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Syahid dan Komunitas Jumatan Sore-sore (JSS). Mereka menyuarakan keberatan tersebut melalui poster seruan boikot serta broadcast WhatsApp. Mereka mendesak pihak kampus agar lebih selektif dalam menjalin kerja sama dengan pihak eksternal.
Muhammad Syauqi Mubarak dari LDK Syahid mengatakan, penolakan tersebut bukanlah spontanitas belaka, melainkan bagian dari komitmen organisasi dalam membela isu kemanusiaan di Palestina. Menurutnya, pemahaman internal LDK Syahid tentang keterkaitan Nescafe dengan Zionisme Israel menjadi alasan utama penolakan itu terjadi. Sebab itu, keberadaan stan Nescafe dianggap sebagai bentuk kelalaian kampus dalam memahami nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh mahasiswa.
Syauqi menambahkan, LDK Syahid belum sempat menyampaikan penolakan secara resmi kepada pihak kampus karena stan tersebut sudah lebih dahulu pergi tidak sampai satu pekan berjualan. Meski begitu, protes yang dilakukan LDK Syahid menuai banyak dukungan dari mahasiswa dan dosen atas upaya mereka menyuarakan isu Palestina di lingkungan kampus.
Selain menyerukan boikot, LDK Syahid juga aktif melakukan berbagai kegiatan terkait isu kemanusiaan di Palestina. Kegiatan tersebut meliputi edukasi, seruan internal, dan penggalangan donasi. “LDK Syahid punya gerakan namanya LDK Syahid for Palestine dan kita suka ada X-banner yang berisi QR untuk donasi, bikin booth khusus Palestina di acara besar, dan stan di setiap fakultas untuk impact ke Palestina,” ujar Syauqi, Selasa (11/11).
Senada dengan Syauqi, Pegiat Jumatan Sore-sore (JSS), Sayyid Ahmad Muzammil dan Muhammad Rafli juga menyampaikan penolakan terhadap keberadaan stan tersebut di lingkungan kampus. Mereka berpendapat bahwa kehadiran stan itu tidak sejalan dengan nilai kemanusiaan maupun nilai keislaman yang seharusnya dijunjung oleh kampus UIN Jakarta.
Keduanya menginisiasi komunitas JSS yang berfokus menyuarakan isu Palestina melalui orasi, diskusi, dan edukasi setiap Jumat sore di depan Halte UIN Jakarta. Melalui komunitas tersebut, mereka meminta pihak kampus untuk mengambil langkah tegas. “Pihak kampus seharusnya peka dan segera bertindak, jangan sampai ketidakpekaan menjadi bumerang. Perlu ditinjau ulang, diaudit, dan ada kejelasan sikap UIN Jakarta,” pungkas Sayyid, Jumat (7/11).
Menanggapi penolakan tersebut, Kepala Pusat Pengembangan Bisnis (Puspenbis) UIN Jakarta, Asep Syarifuddin Hidayat menyampaikan, pihaknya selalu terbuka terhadap masukan dan saran. Namun, ia menilai penting untuk mengetahui terlebih dahulu apakah produk yang diboikot tersebut dijual oleh mahasiswa atau pihak eksternal. “Jangan sampai karena satu produk, menghalangi program dan semangat entrepreneurship dari teman-teman mahasiswa UIN,” jelas Asep via WhatsApp, Rabu (12/11).
Reporter: MHR
Editor: Anggita Rahma Dinasih
