Perlu Evaluasi PSGA UIN Jakarta

Perlu Evaluasi PSGA UIN Jakarta

Read Time:3 Minute, 43 Second
Perlu Evaluasi PSGA UIN Jakarta

Kasus KS di UIN Jakarta masih terus terjadi. Hal itu membuat mahasiswa menuntut adanya evaluasi PSGA UIN Jakarta agar terciptanya pencegahan dan penanganan kasus KS yang lebih efektif. 


Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022 menerangkan, segala bentuk tindakan merendahkan, melecehkan, atau menyerang fisik dan fungsi reproduksi seseorang dikategorikan sebagai Kekerasan Seksual (KS). 

Dalam ranah pendidikan tinggi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) juga mengeluarkan peraturan menteri Nomor 55 Tahun 2024 tentang  Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai upaya untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan yang ramah, aman, inklusif, setara, dan bebas dari kekerasan. 

Hal serupa juga terjadi pada ranah Kementerian Agama (Kemenag). Demi melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di satuan pendidikan pada kementerian agama secara cepat, tepat, dan terintegrasi, Kemenag mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. 

Meski demikian, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dalam siaran pers pada April 2025 menyebut, terdapat 82 laporan kasus KS di perguruan tinggi sepanjang tahun 2021–2024.  Kata Devi Rahayu, Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan, hal itu menunjukkan perlunya evaluasi dan penguatan mekanisme perlindungan di perguruan tinggi. 

Hal serupa turut terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam laporan Institut berjudul Teror Predator Seksual Kembali Merajalela di Instagram pada Februari 2025, terdapat kasus KS yang belum terselesaikan hingga pelaku tetap menjalani wisuda. Kasus tersebut terjadi meski UIN Jakarta telah memiliki Satuan Tugas (Satgas) PPKS di bawah lembaga Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA).  

Dalam feeds Instagram @psgauinjkt dan website lp2m.uinjkt.ac.id tertera, PSGA bertujuan untuk melakukan penelitian terkait isu gender dan anak, edukasi dan pelatihan terkait kesetaraan gender, dan advokasi perlindungan anak dan perempuan. Mengutip dari fah.uinjkt.ac.id, UIN Jakarta telah mengadopsi regulasi PPKS dengan membentuk satgas di setiap fakultas yang terkenal dengan sebutan Rumah Ramah Rahmah (ERTRI).  Satgas itu berisikan Wakil Dekan (Wadek) 3 bersama dosen dari setiap fakultas.

Namun, beberapa mahasiswa masih mengeluhkan pihak PSGA yang dinilai kurang efektif dalam menangani kasus KS di kampus. Salah satunya, mahasiswi Program Studi (Prodi) Hukum Tata Negara (HTN), Zaskia Nabila yang mengeluhkan terkait efektivitas pelayanan PSGA. Menurutnya, sikap kurang tegasnya PSGA dalam mengusut kasus KS serta minimnya sosialisasi rutinan membutuhkan banyak evaluasi. Kata Zaskia, hal itu berkaca dari banyaknya kasus yang terjadi belakangan ini. 

“Mungkin masih perlu banyak evaluasi ya dari kasus-kasus yang ada sejauh ini, terutama dari edukasi ataupun sosialisasi tentang hal-hal kayak gini,” ucap Zaskia, Rabu (12/11).

Setara dengan Zaskia, mahasiswi Prodi HTN Aisyah Ghaziyah berpendapat perihal keterlibatan mahasiswa dalam pembentukan satgas PPKS di setiap fakultas. Menurutnya, hal itu perlu guna mempermudah proses pengaduan. Aisyah menilai pelibatan mahasiswa dalam menerima laporan kasus lebih efektif ketimbang melapor kepada satgas yang terdiri dari unsur dosen seperti Wadek 3. “Penting sih untuk melibatkan mahasiswa, tapi tetap dengan standarisasinya, jadi gak melibatkan sembarang mahasiswa gitu,” ucap Aisyah, Rabu (12/11).

Wiwi Siti Sajaroh, Kepala PSGA UIN Jakarta menjelaskan, lembaga yang ia kepalai itu sudah melakukan sosialisasi secara masif semenjak 2023. Biasanya, sosialisasi berlangsung saat PBAK secara online, serta dalam rapat dosen. “Kami selalu menitipkan pesan yang berbentuk vidio maupun Power Point (PPT) kepada pimpinan fakultas untuk diberi dan disampaikan kepada para dosen atau mahasiswa ketika PBAK, kemudian ketika rapat dosen,” ucap Wiwi, Jumat (14/11).

Dalam sosialisasinya, PSGA juga menjelaskan mekanisme pelaporan kasus KS di lingkungan kampus. Wiwi menyebut pelaporan dapat dilakukan melalui Wadek 3 sebagai bagian dari satgas ERTRI. “Jika ada korban, pelapor bisa melapor kepada Wadek 3 sebagai bagian dari satgas juga, atau kepada dosen yang sudah ditugaskan, atau kepada ketua prodi, atau kepada dosen penasehat akademik, atau dosen yang memang korban merasa nyaman untuk menyampaikan,” ucapnya.

Wiwi juga menginformasikan, PSGA UIN Jakarta tidak berwenang untuk memberikan sanksi terhadap para pelaku KS. Kewenangan PSGA, hanya memberikan layanan pengaduan dan bimbingan terhadap korban. “Yang harus diketahui dan harus kami informasikan bahwa PSGA itu tidak punya hak dan tidak punya wewenang untuk memberikan sanksi. Juga sebetulnya kami lebih mengutamakan memberikan pendampingan psikologis kepada korban,” katanya.

Lanjut, Wiwi sangat mendukung keterlibatan mahasiswa dalam membantu proses pengawasan atas tindak KS di lingkungan kampus. “Nanti mungkin bisa diusulkan kepada Wadek 3 untuk membentuk satgas dari mahasiswa. Dan kalo ada teman-teman mahasiswa punya tim yang peduli dalam hal ini, bikin lah tim, kalau perlu lapor ke kita nanti kita akan bekerja sama,” ucapnya.

Reporter: EP
Editor: Muhammad Arifin Ilham

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Water Drinking Fountain Tidak Berfungsi Optimal Previous post Water Drinking Fountain Tidak Berfungsi Optimal