
Ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Melalui aksi 16HAKtP, hadir bentuk perlawanan kolektif untuk menuntut negara bertanggung jawab dan menjamin ruang aman bagi semua perempuan.

Koordinator aksi, Anis sedang berorasi di depan gedung FITK pada Rabu (10/11) dalam rangka memperingati 16 HAKtP.
Laporan Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menunjukan lonjakan kasus kekerasan seksual sepanjang 2024. Total pengaduan mencapai 330.097 kasus, atau naik 14,17 persen dari tahun sebelumnya dengan dominasi kasus di ranah personal.
Di sektor pendidikan, perguruan tinggi tercatat sebagai institusi dengan laporan kekerasan seksual tertinggi, yakni 42 kasus dari total 97 pengaduan yang diterima oleh Komnas Perempuan. Selain itu, laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga memperlihatkan bahwa guru menjadi aktor utama kekerasan dengan angka 49,5 persen.
Di wilayah Banten sendiri, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Banten mencatat, hingga Juli 2025 terdapat 617 kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. Sebagaimana melansir dari detiknews.
Sebagai bentuk respons atas situasi tersebut, Aliansi Perempuan Tangerang Selatan menggelar aksi damai dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKtP). 16HAKtP merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung dari 25 November hingga 10 Desember.
Aksi tersebut berlangsung di depan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu (10/12), bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Aliansi Perempuan Tangerang Selatan terdiri dari berbagai organisasi dan komunitas, antara lain Forumpuan, Lingkar Studi Feminis (LSF), Puantara, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau Network for Education Watch Indonesia (NEW Indonesia), serta Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan-Kembara lnsani lbnu Battuttah (KMPLHK-RANITA).
Koordinator aksi, Anis Fazirotul Mukhtar dari LSF menjelaskan, aksi tahun ini menyoroti kekerasan terhadap perempuan yang dianggap sebagai persoalan sistemik. Menurutnya, negara turut melanggengkan kekerasan tersebut lewat kebijakan dan institusi. Negara dinilai terus melakukan praktik pembangunan yang pada akhirnya mengorbankan hak-hak rakyat secara sistemik.
“Kekerasan terhadap perempuan itu bukan hanya urusan privat atau bukan hanya urusan personal, tapi hari ini, isu-isu terhadap perempuan itu mencakup kekerasan sistemik,” tambah Anis, Rabu (10/12).

Salah seorang massa aksi sedang berorasi di depan gedung FITK pada Rabu (10/12).
Secara bergantian, beberapa peserta aksi menyampaikan poin tuntutan dari aksi tersebut. Mereka menuntut agar kekerasan dan ketidakadilan yang terus dialami perempuan serta kelompok rentan lainnya dihentikan melalui perubahan kebijakan yang tegas dan berpihak.
Mereka juga menuntut negara menghentikan segala bentuk kekerasan serta menciptakan ruang aman, inklusif, dan iklim egaliter di seluruh lingkup pendidikan dan dunia kerja. Mereka juga mendorong pengesahan Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) serta pengawalan terhadap implementasi Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Selain itu, para peserta aksi meminta pemerintah segera menghentikan praktik represi, kriminalisasi, intimidasi, kekerasan, perampasan lahan, dan pembatasan kebebasan sipil yang masih terjadi di berbagai daerah. Mereka juga mendesak negara menghentikan proyek-proyek pembangunan yang dianggap merugikan rakyat dan merusak lingkungan hidup.
Aliansi juga menekankan pentingnya menciptakan iklim demokrasi yang adil dan berkualitas, termasuk memastikan keterlibatan, partisipasi, dan dukungan penuh terhadap perempuan dan kelompok termarginalkan dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Terakhir, mereka menegaskan agar pemerintah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, mengadili para pelaku, dan memastikan tidak ada lagi impunitas bagi para penjahat HAM.
Salah seorang peserta aksi, Dias dari JPPI merasa tidak lagi memiliki ruang aman untuk menyampaikan pendapat. Adanya aksi tersebut menjadi wadah untuk menyuarakan keresahan dan mengajak publik lebih sadar terhadap isu kekerasan berbasis gender.
“Saya berharap masyarakat umum bisa bersolidaritas bersama kita,” harap Dias, Rabu (10/12).
Reporter: Anggita Rahma Dinasih, MHR
Editor: Muhammad Arifin Ilham
